Apa kau mencintaiku? Setelah semua kenangan manis itu, esok lusa, hari yang ditunggu tiba. Tapi? Apa aku mencintainya? atau apa dia benar mencintaiku? Aku sudah berusaha menghalau pikiran itu. Dia mengatakan kalimat itu, aku juga mengatakannya. Bukankah malah bagus? Bagaimana jika suatu hari nanti rasa itu hilang begitu saja? Bagaimana jika? Ah. Sial. Lusa besok hari yang menyenangkan. Yakinilah itu. Aku berusaha membujuk hati ini untuk tidak mengatakan omong kosong. Tapi ARGH! Bisa mati aku kalau ragu seperti ini. Apa ini cinta? tentu saja. Aku berdebar, rindu, khawatir. Apa lagi? Baiklah. Biarkan aku tidur. Untuk apa aku mencemaskan omong kosong ini? Dan meragukan ini dan itu? Kuharap malam ini berlalu dengan cepat.
15 menit berlalu. Aku masih terjaga. Apa yang harus kulakukan? Ini sudah lewat tengah malam. Aku melirik hp yang tergeletak di meja. Mengambilnya. Menyetel musik. Dan dengan mudahnya melupakan kecemasan dan keraguan itu.
Harusnya aku senang dan berdebar. Hari ini aku akan bertemu dengannya. Tapi yang kurasakan sungguh berbeda. Ada yang aneh. Akankah… rasa itu pergi? Tidak. Aku tidak boleh memutuskan begitu saja. Kemana pikiran tadi malam? Inikah jawabannya? Aku merasa kosong. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana debaran hebat itu? Huh. Masa bodo. Yang penting aku harus bertemu sekarang.
30 menit, aku celingukan mencarinya. Tidak ada. Telepon tidak diangkat. Apa yang terjadi? Seharusnya aku khawatir kan? Tapi kenapa pikiranku malah mengatakan dia sedang sibuk? Atau sedang di toilet. Ah. Pendek sekali pikiranku. Apa yang terjadi denganku hari ini? Aku akan bodoh jika terus berdiam diri seperti ini.
Saat bangkit dari kursi itu, sorot mataku menangkap lambaian tangan seorang laki-laki yang amat kukenal, Ren. Aku tersenyum, balas melambaikan tangan. Ren berlari kecil. Persis saat didepanku, tanpa menoleh dia lewat begitu saja. Aku tersentak. Prank-kah? Aku berlari menghampiri. Menepuk pundaknya. Tapi dia tak menoleh. Aku mengerutkan kening, memanggilnya. Sia-sia. Aku berlari menghadangnya. Tepat saat aku berdiri didepannya, dia memalingkan pandangan.
“Ren? Apa yang terjadi?” Anehnya kau tidak cemas. Hanya ingin tahu saja. Tidak ada jawaban. Aku mulai menatap lamat-lamat lelaki didepanku. Dia kikuk menerima tatapan itu. “Siapa kau?” Suaranya bergetar. Aku bungkam seketika. Jelas dia bukan Ren. Tapi kenapa amat mirip? Kembarannya kah? Hening sejenak. Lelaki itu tiba-tiba menyeringai. “Aku tahu, kau calonnya kan? Menyingkirlah. Aku tak punya urusan denganmu.” Lelaki itu menatap sinis. Aku menelan ludah, “Maaf, kalau boleh tahu, siapa-” “Aku Rey. Dan aku menyuruhmu untuk pergi. Kau mengganggu jalanku. Lihat. Gadis disana menungguku. Kau mau dia salah paham?” Buru-buru aku menyingkir. Menatap tubuh lelaki yang bernama Rey itu. Dia amat mirip. Wajahnya, suaranya, tubunya, dan… Tunggu! Jika Ren punya kembaran, tentu mereka juga punya ciri khas masing-masing. Apa bedanya Ren dengan lelaki itu? Ah. Kenapa juga aku harus mengurusnya?
Aku mengecek hp beberapa menit. Lalu berbalik menghampiri bangku tadi. Ada orang yang mendudukinya. Itu Ren. Dia melihatku, lalu berlari mendekat. Aku berusaha tersenyum. “Maafkan aku. Tadi ada urusan.” Ren tersenyum hangat. Tapi aku rasa itu tidak ada hangatnya bagiku. Segurat kesedihan tampak saat dia mengukir senyuman. Apa lagi ini? “Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja? Apa kau sebenarnya sedang sibuk?” Aku tak tahu kenapa aku blak-blakan seperti ini. Aku senang bisa bertemu dengannya, tapi tidak ada debaran saat ini. Ren menatapku, “Ada yang aneh denganmu.” Aku tak dapat menyembunyikan rasa kaget ini. Segera aku mengukir senyum riang. “Aneh? Apa itu lelucon? Apa ada sesuatu di wajahku?” Wajah Ren berubah suram, “Aku ingin bicara di tempat yang lebih nyaman. Ini terlalu berisik untuk kita. Bukankah kita bertemu bukan hanya melepas rindu?” Dia menggandeng tanganku yang mulai dingin. Pucat. Apa yang ingin Ren bicarakan?
Ren membawaku ke sebuah kafe yang lumayan sepi. “Anne..” Bola mataku membulat. Dia tidak memanggilku seperti biasa. “Tidak. Maksudku, Nae. Apa kau benar mencintaiku?” Suaranya bergetar. Apa maksudnya mengatakan kalimat itu? “Tentu saja. Untuk apa kau menanyakan itu? Apa kau juga mencintaiku?” Ren diam menatapku kosong. Aku mencoba mencerna ini semua. Apa dia menyukai wanita lain? Tak masalah. Baiklah jika kita memang tidak berjodoh. Anehnya aku tidak sakit hati. “Lalu apa kau menginginkan pernikahan besok?” Aku sempurna membeku. Apa dia meragukanku? “Jawab jujur saja. Jika kau jujur, aku juga akan begitu.” Dia menatap sendu.
Aku terdiam sejenak. Mulai mengerti ini semua. Rasa itu lenyap. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas aku tidak merasakan sesuatu yang spesial. Aku menatapnya. Rasa bersalah memenuhi. Tapi ini tidak bisa disembunyikan. Besok adalah hari penting. Aku tak mau melakukannya kecuali perasaan itu kembali. Lalu, kemana perginya rasa itu?
“Maaf, sekarang aku merasa kosong.” “Setelah semua kenangan itu?” Suaranya melemah. “Maafkan aku.” Ren tersenyum tipis, “Pantas kau tidak mengenaliku tadi.” Dia memasang tatapan sinis lelaki yang tadi kutemui. Lalu berubah menatap sedih. Aku tersentak. Laki-laki tadi adalah Ren. Aku sudah membuat perasaan ini tampak tanpa sadar. Tapi kenapa hati ini seperti disayat? Sungguh membingungkan.
“Jika kau ingin acara besok dibatalkan, kita bisa melakukannya. Carilah cintamu yang sebenarnya. Sepertinya hanya aku yang akan terluka. Rasa ini tidak bisa lenyap begitu saja. Tapi itu lebih baik daripada kita melangsungkan acara itu. Pergilah. Aku akan menjelaskan pada orangtuaku.”
Tidak! Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Sekejap rasa takut kehilangan memenuhi. Apa ini semua? Seketika aku lemas. Aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada hati ini. Aku sebenarnya bisa melakukan acara besok dengan terpaksa. Cinta itu pasti datang kembali. Aku paham. Aku merasa kosong dan tidak berdebar karena satu hal, rasa itu tertimbun oleh keraguan yang besar. Rasa khawatir. Pagi ini, keajaiban menutup semua rasa itu. Aku ragu, dan mulai menentukan urusan hati ini seenaknya. Mengatakan omong kosong rasa itu sudah pergi. Padahal akulah yang menguburnya!
Dan sekarang, setelah semua ini berhasil kupahami, setelah urusan ini menjadi kacau, lihatlah. Rasa itu naik ke permukaan. Ah. Sial. Kenapa juga mulut ini tak bisa dibuka.
Ren mengambil hp, menelepon orangtuanya. Mengatakan acara dibatalkan karena suatu masalah. “Anne. Terima kasih. Aku akan bahagia jika kau menemukan orang yang tepat.”
Tidak! Jangan! Bukan! SIALAN! Kau adalah orang yang tepat untukku, tapi aku tidak tepat untukmu. Aku yang mengubur perasaan hebat ini karena ragu. Aku yang sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan hati. Aku… yang bodoh membiarkan orang yang jatuh cinta terluka. Biarlah. Aku tidak layak untukmu.
Cerpen Karangan: Nazai