Malam semakin larut, kegelapan telah menyapa dengan tawa menggelakkan. Kepekatan malam merambat ke setiap sisi rumah membuat kami mengunci pintu rapat-rapat. Kami enggan keluar, bahkan dengan terpaksa menutup kedai makan, bukan karena kami tak lagi butuh uang namun kami berusaha menghindar dari arwah penasaran. Sudah 7 hari ini kami hidup dalam kecengkaman arwah tuan tanah yang pelit itu.
“Gruakk.. gruak.. gruak” “Woarmmm.. woarrrmm.. woarrrmm” “Itu suara Tuan Wu, entah apa lagi yang dirusaknya” ucap ayahku sambil meringkuk di ruang bawah tanah. Di rumahku memang ada ruang bawah tanah, tujuannya untuk menyimpan hasil panen namun sejak kakek buyutku meninggal sudah tidak ada lagi yang bisa bertani karena ayahku lebih suka membuka kedai makan di rumah daripada bercocok tanam di sawah. Sehingga, sejak arwah Tuan Wu muncul kami bahu membahu membersihkan ruang bawah tanah itu.
“Tapi kita tidak mungkin terus diam bertahan di sini ayah” ucapku mulai geram namun takut menjadi korban keganasan arwah Tuan Wu. “Iya.. iya.. ayah tahu, ayahpun juga sama denganmu tak bisa terus seperti ini apalagi kedai makan kita paling ramai pada saat malam hari, jelas pendapatan kita merosot deras sejak arwah Tuan Wu muncul” ucap ayah
“Ayah, bagaimana kalau kita meminta bantuan seorang pendeta untuk mengusir arwah Tuan Wu atau setidaknya arwah Tuan Wu ditunjukkan ke jalan yang semestinya?” ucapku “Lalu pendeta mana yang kau rasa mampu mengatasi arwah Tuan Wu?” Tanya ibuku dengan gemetar. “Bu, aku dengar di kampung sebelah ada seorang pendeta bernama Pendeta Chu, orang bilang dia sangat hebat dalam mengatasi masalah perarwahan” ucapku mantap “Kalau begitu besok kau harus menemuinya” ucap ayahku “Iya ayah” ucapku mantap
Keesokan paginya, ibu telah menyiapkan sarapan untukku dan ayah namun mereka tak lagi mau membereskan barang-barang yang telah dirusak oleh arwah Tuan Wu. “Apakah kau akan mencari rumah pendeta itu hari ini?” Tanya ibuku “Iya bu. Aku sudah tak tahan lagi dengan arwah si tuan tanah pelit itu, masih hidup menyusahkan ketika jadi arwahpun masih menyusahkan juga” ucapku mulai geram “Iya, ayah tahu namun kau jangan berkata seperti itu pada keluarga Tuan Wu ataupun pada orang lain, cukuplah kau berkata sedemikian di rumah saja” ucap ayahku “Iya ayah aku tahu, maka dari itu aku ingin segera ke rumah Pendeta Chu” ucapku “Iya pergilah” ucap ayah dan ibu
Seusai sarapan, aku pergi mencari rumah Pendeta Chu dengan penuh semangat, harap-harap arwah si pelit itu segera kembali ke jalannya. Kalaupun ia harus menerima siksaan dari yang maha kuasa ya harusnya ia terima sendiri jangan menyusahkan orang lain apalagi orang yang pernah disakitinya.
Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu ayah pernah bekerja di toko tuan Wu, ia berjanji pada ayah akan membayar 2 kali lipat dan setiap akhir tahun akan diberi upah tambahan namun semua itu hanya omong kosong belaka. Ayah hanya menerima upah separuh saja dan tanpa upah tambahan akhir tahun padahal ayah telah bekerja di tempat tuan Wu selama 1 tahun, bahkan pernah suatu ketika ayah meminta izin tidak masuk kerja pada tuan Wu karena aku sakit, gaji ayah oleh Tuan Wu langsung dipotong separuh dengan alasan ia tak mau merugi karena ada pekerjanya yang tak masuk. Itulah sebabnya ayah memilih membuka kedai makan di rumah daripada harus bekerja pada Tuan Wu.
Aku masih melanjutkan perjalananku mencari rumah Pendeta Chu, sesampai di gapura desa aku bertanya pada seorang pedagang ikan di pasar. Pedagang itu ternyata mengenal Pendeta Chu dengan baik. “Jadi kau mencari rumah Pendeta Chu?” Tanya pedagang ikan “Iya betul tuan. Dimanakah rumahnya?” tanyaku “Kenapa kau tak ikut saja dengan dia, dia ini adalah murid peneta Li” ucap pedagang ikan itu sambil menunjuk seorang pemuda berbaju biru. “Apakah benar anda murid Pendeta Chu?” tanyaku “Iya benar. Hai, perkenalkan namaku Feng, aku adalah murid pendeta Chu” ucap pemuda berbaju biru padaku “Hai juga aku Anming” ucapku “Ayo aku antar ke rumah guru” ucap Feng.
Kamipun berjalan ke rumah pendeta Chu, jarak antara pasar dengan rumah pendeta Chu cukuplah jauh kira-kira sekitar 2 km. Dari pasar kami menyusuri jalan berliku dan ada banyak bangunan di sini. “Kampung di sini ramai ya?” ucapku “Iya. Di sini penduduknya banyak. Oh iya kalau boleh tahu ada apa kau mencari guruku?” Tanya Feng padaku “Sudah 7 hari ini kampungku hidup dalam kecengkaman arwah penasaran Tuan Wu. Gara-gara dia, kami merugi banyak” ucapku “Memang apa saja yang dirusak oleh arwah itu?” Tanya Feng “Kursi, meja dan peralatan kedai lainnya, belum lagi kami harus terpaksa menutup kedai lebih awal karena takut menjadi korban keganasan arwah Tuan Wu. Hahh” keluhku “Aku rasa kau datang pada orang yang tepat. Guruku sudah seringkali menangani masalah arwah penasaran seperti yang kau ceritakan. Oh iya, itu rumah guruku” ucap Feng
“Guru.. guru.. guru.. ada tamu” ucap Feng pada seorang paruh baya seusia ayahku. Pria itu terlihat amat sabar dan cekatan. Pria paruh baya itu kemudian mendekatiku dan tersenyum padaku. “Kau siapa anak muda?” Tanya pria paruh baya itu “Perkenalkan saya Anming. Apakah benar tuan adalah pendeta Chu?” tanyaku “Iya, kau benar. Ada yang bisa aku bantu?” Tanya pendeta Chu. Akupun menceritakan segala keluh kesahku padanya, mulai dari perilaku tuan Wu semasa hidup sampai kisah arwah penasarannya yang mengganggu keluargaku belakangan ini.
“Anak muda, malam ini kita harus melakukan ritual untuk mengusir arwah penasaran itu namun sekarang sudah siang sekali, ada baiknya jika kau terlebih dahulu tinggal di sini sebelum sore nanti kita berangkat ke rumahmu” ucap pendeta Chu “Baiklah pendeta Chu, lalu apa yang bisa aku bantu untuk persiapan ritual nanti?” tanyaku “Ikutlah dengan Feng, ia akan mempersiapkan semuanya” ucap pendeta Chu
Matahari telah bergeser sedikit ke arah barat, aku, pendeta Chu dan Feng bersiap untuk ritual mengusir arwah tuan Wu di rumahku. Aku berjalan penuh semangat walaupun masih lelah, yang penting arwah si pelit itu tak membuat warga sekampung gusar.
Sesampai di kampungku, pendeta Chu terpaku oleh seorang wanita yang dengan tergesa-gesa menutup pintu toko obatnya. “Ada apa pendeta Chu?” tanyaku “Tidak. Siapa wanita itu?” Tanya pendeta Chu “Dia adalah nyonya Jia Li, wanita pemilik toko obat di desa kami. Kau tahu pendeta, hanya dialah yang selamat dari cengkraman arwah tuan Wu” ucapku “Apa maksudmu?” Tanya pendeta Chu “Toko obat milik nyonya Jia Li sangat besar, semua pegawainya telah mati dibunuh oleh arwah tuan Wu, hanya nyonya Jia Li seorang yang sanggup bertahan. Anehnya, dimanapun nyonya Jia Li berada arwah itu tak sanggup membunuhnya bahkan sepertinya nyonya Jia Li memiliki kekuatan khusus” ucapku panjang lebar. “Darimana kekuatan itu berasal?” Tanya pendeta Chu “Dari gelang yang dikenakannya, katanya gelang itu didapatnya dari seseorang” ucapku “Seseorang? Aneh, seseorang siapa yang dimaksud Jia Li? Oh iya dia tinggal bersama siapa?” Tanya pendeta Chu “Dia tinggal seorang diri pendeta” ucapku “Ooo.. kemana suaminya?” Tanya pendeta Chu “Setahuku dia tidak pernah menikah tapi anehnya setiap ia menyentuh gelang itu sepertinya gelang itu pemberian seorang yang berarti baginya. Ada apa pendeta? Apakah kau mengenalnya?” tanyaku penasaran. “Wajahnya mirip seperti kawan lamaku, jika benar aku sangat senang bisa bertemu dengannya” ucap pendeta Chu. Entah mengapa kulihat dari wajahnya seperti ada yang disembunyikan, sepertinya pendeta Chu sangat mengenal nyonya Jia Li.
“Pendeta, inilah rumahku. masuklah kedua orangtuaku telah menanti kedatanganmu” ucapku mempersilahkannya masuk. Kubuka pintu rumahku, kulihat ayah dan ibuku tengah duduk di ruang keluarga. “Ayah, ibu pendeta Chu telah datang” ucapku “Mana dia? Apakah sudah kau persilahkan masuk?” Tanya ibuku “Itu dia di depan bu” ucapku.
Akupun menemui pendeta Chu bersama ayah dan ibu di ruang tamu. “Apakah anda adalah pendeta Chu?” Tanya ayahku “Benar tuan saya adalah Chu. Kata Anming sudah seminggu kampung ini diganggu oleh arwah penasaran” ucap Pendeta Chu “Benar sekali pendeta, saya sekeluarga sudah tidak tahan lagi. Tolong kami pendeta” ucap ayahku “Baik aku akan berusaha, sebentar lagi aku akan memulai ritualnya” ucap pendeta Chu
Tepat ketika matahari telah terbenam, persiapan ritual sudah usai. Seluruh jendela rumahku telah ditempeli jimat yang dibuat oleh Pendeta Chu tadi siang, hanya tersisa pintu saja yang tidak ditempel jimat, sengaja untuk arwah Tuan Wu masuk. Pendeta Chu telah duduk di depan pintu menunggu arwah itu datang dengan memakai baju khas pendeta tao nya.
Srek.. srek.. srekk.. “Dia sudah datang” ucap Pendeta Chu. Kamipun bersigap di belakang pendeta Chu membawa perlengkapan sesuai yang diperintahkan tadi. “Haaarrrmm.. harrrmm.. harrmm” suara arwah Tuan Wu bersiap ingin mencakar pendeta Chu, dengan sigap pendeta Chu langsung mengikat kedua tangannya dengan tali suci namun belum terjikat kuat, tangan arwah itu mampu melepaskannya. Ia semakin marah, meronta ingin membunuh pendeta Chu, tak putus asa pendeta Chu bertarung melawan arwah Tuan Wu. Pukulan demi pukulan diterima oleh arwah Tuan Wu, namun disaat pendeta Chu akan menusuknya dengan pedang suci arwah itu berhasil lari. Kamipun mengejar arwah itu secepat mungkin dengan membawa peralatan tadi. Arwah itu terbang melayang ke arah toko nyonya Jia Li. Dirusaknya pintu toko nyonya Jia Li, nyonya Li tersentak kaget kemudian keluar untuk mencari keselamatan.
“Kakak Chu” ucap nyonya Jia Li tersentak “Iya Li, ini aku” ucap pendeta Chu, belum sempat pendeta Chu menyuruh nyonya Jia Li berlindung di belakangnya arwah itu membuntuti nyonya Jia Li ingin mencengkeram namun terhalang oleh kekuatan dari gelang nyonya Jia Li. Gelang itu bersinar menyilaukan mata arwah tuan Wu.
“Woarrrramm.. woarrmmm” ucap arwah tuan Wu yang masih ingin mencengkeram kami namun masih tersilaukan oleh sinar gelang nyonya Jia Li. Tanpa banyak bicara pendeta Chu langsung menusuk arwah itu dengan pedang sucinya. “Woarrrmm.. woarrmmm” ucap arwah itu kesakitan kemudian ia meledak, tubuh halusnya telah hancur berkeping-keping.
“Syukurlah akhirnya kami selamat. Terimakasih kak Chu.. maksudku pendeta Chu” ucap nyonya Jia Li “Sama-sama. Oh iya boleh aku lihat gelangmu?” Tanya pendeta Chu sambil mengulurkan tangannya “Ini” ucap nyonya Jia Li sambil menyodorkan gelangnya dengan gemetar takut tapi malu. “Kau masih menyimpannya Li?” ucap pendeta Chu tersenyum namun nyonya Li hanya mengangguk takut.
“Dulu, guruku pernah berkata kalau hal yang terberat dari seorang pendeta adalah memiliki gelang suci karena gelang suci hanya dimiliki oleh seorang wanita yang mencintai pendeta tersebut dengan tulus. Jia Li, maukah kau memaafkanku?” ucap pendeta Chu “Sudahlah pendeta, yang lalu biarlah berlalu. Oh iya, bagaimana kabar istrimu? Anakmu pasti sekarang sudah banyak” ucap Nyonya Jia Li “Itulah karmaku Li, saat aku mengakhiri pernikahan kita dan memilih Annchi ternyata dia telah menikah 2 tahun sebelum kita. Waktu itu aku hampir saja mati dibunuh oleh suami Annchi. Maka dari itu hingga saat ini aku hidup sendiri” ucap pendeta Chu
“Emm.. boleh aku memintanya kembali?” ucap nyonya Jia Li “Maksudmu?” Tanya pendeta Chu malu-malu “Gelangku maksudku. Mana?” ucap nyonya Jia Li “Li, kalau aku memakaikan gelang ini di tanganmu maka kau harus menjadi istriku lagi. Apakah kau bersedia?” ucap pendeta chu “Pakaikan gelangnya kak” ucap Nyonya Jia Li dengan senyum merekah. Kemudian pendeta Chu memakaikan gelang itu di tangan nyonya Jia Li.
“Li, kita menikah malam ini yuk” ajak pendeta Chu “Ayo kak” ucap nyonya Jia Li
Malam itu juga upacara pernikahan nyonya Jia Li dengan Pendeta Chu digelar walau dengan sederhana namun, aku bisa melihat gurat-gurat kebahagiaan menghiasi wajah kedua mempelai. Dan ternyata baru aku tahu sekarang manfaat dari arwah si pelit itu. Diam-diam si pelit itu telah mempersatukan pendeta Chu dengan nyonya Jia Li lewat tingkah ganasnya.
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho