“Jika aku memandang wajahmu, aku teringat bahwa aku tengah mencintai kebijaksanaan. Kamulah kebijaksanaan yang tak pernah kumiliki tetapi selalu hidup untuk mengajari.”
Aku ingin engkau menanyakan kepadaku, “Siapakah aku dalam hidupmu?”. Maka, aku akan dengan nyaring berkata, “Engkau adalah kebijaksanaanku.” Aku pikir itu jawaban yang tak terbesit dalam benak pria manapun dalam hidupku. Boleh jadi, itu jawaban yang gila, bukan? Dan tentu saja, itu terdengar mengada-ada. Sayangnya, engkau tak pernah bertanya demikian. Jangankan pertanyaan itu, bahkan engkau nyaris tak pernah mengajukanku pertanyaan. Untuk itulah aku merasa tidak perlu berlama-lama duduk bertamu. Dan memang benar keputusanku. Beberapa klise senja terekam langkahku menyapamu yang tengah mendengar lagu di pelataran rumahmu yang berteduhkan pohon-pohon randu. Namun, engkau hanya menengok dan mengisyaratkan senyum. Kita tidak lagi seperti dahulu, dan cukup masuk akal, karena waktu terus melangkah maju, satu per satu perlahan mendebu.
“Terkadang, engkau harus membaca lebih dari kemampuan membaca huruf.” “Jadi?” “Kalaupun di pelatarannya terpampang ‘open house’, ya memang open house, tapi open untuk siapa? Kamu kah? Dia kah?” Aila benar. Seharusnya aku lebih jeli membaca.
Aku pernah bertamu ke rumahmu, tapi dingin sekali wajahmu meskipun ramah sambutmu. Ah, tidak, matamu juga enggan melihatku. Selalu engkau melihat ke daun pintu, seperti menanti ia berdecit. Aku membisu setelah ucap dariku hanya kau balas senyuman tipis, benar-benar tipis. Bahkan, kakiku yang semula berdecak-decak di atas ubin, kini terhenti dan memilih pergi.
“Loh, mau ke mana?” “Hanya pulang, karena ini memang bukan rumahku ‘kan?” Jawabku sembari menengok ke arahmu. Sekelumit air mata mulai membasahi tipis bulu mataku. Tapi, aku sengaja tidak menyeka di hadapanmu. Aku berpura-pura, titik air hujan turun, aku harus pulang sebelum jemuranku tertangkap basah kuyub. Engkau tertawa dan mengangguk.
Aila menertawakanku, dia tergelitik melihat mataku memerah menahan pedih yang masih tersisa uap didihnya. “Masih cinta, tapi pintu tidak dibuka.” “Sial!” Umpatku sambil mengucek mataku, berusaha menghapus gurat-gurat kemerahan di mataku. “Kalau kebijaksanaan adalah yang kau cintai, maka seharusnya dia, tergolong sebagai kebijaksanaan itu.” Aku tertegun. “Gimana, gimana?!” “Mencintai dia sebagaimana mencintai kebijaksanaan.”
Jika aku memandang wajahmu, aku teringat bahwa aku tengah mencintai kebijaksanaan. Kamulah kebijaksanaan yang tak pernah kumiliki tetapi selalu hidup untuk mengajari. “Foto siapa itu?” Tanya Aila mengejutkanku. “Kebijaksanaan.” Aila tersenyum, lalu menepuk-nepuk pundakku.
“Jadi?” “Aku telah menyerahkannya pada takdir, dan mencoret namaku dari risalah rindu. Aku mau, aku, juga dia, bersekatkan kepalsuan.” “Hmm?” “Sebab, hanya kepalsuan yang memungkinkan menjembatani cinta yang tak pernah bisa kumiliki.” “Sungguhkah ia tak pernah kau miliki?” Aila tercengang. Aku mengangguk.
Wajahmu teduh, seperti ada yang memayungimu. Aku tahu, decit pintu yang kau nanti itu adalah payung. Berarti, aku tidak berbohong tentu titik air hujan itu kan? Aku mulai mempertanyakannya dan mencoba kubawa ke pelataran rumahmu. Kulihat, engkau bergeming memandangi langit. Beberapa kaki air hujan sudah menghentak atap rumahmu. Engkau melihat ke arahku dengan curiga. Pasti engkau menduga air hujan itu adalah aku. Aku berlari sampai aku kuyub oleh rindu dan palsuku.
Sukoharjo, 1 Agustus 2021. Pukul 9:02 PM.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com