Alam, maaf. Aku tidak pandai dalam menyimpan rahasia. Semua yang kupendam begitu saja terlontar dengan mudahnya. Semua yang disimpan begitu lama terbuka dalam sekejap. Bukan hanya sesal yang ada, lega juga. Alam, aku minta maaf lagi.
“Senang kamu bisa tunjukkin ke semua orang?” Itu kamu, Alam. Bertanya dengan dingin melebihi Gegerkalong kala itu. “Gak sekalian seluruh dunia aja?” Aku masih diam. Bingung harus jawab apa. “Lagian, untuk apa kamu ungkapin perasaan kamu lewat poster-poster bodoh itu?! Mungkin kamu emang berniat menyimpannya. Tapi orang lain kan …” Kamu menghela napas sebelum kembali marah. “Argh, Sirla.”
Alam, bukannya aku takut dengan omelanmu. Aku takut dengan kata-kata yang hampir saja membuat keadaan semakin runyam. Takutnya, jika terlanjur dikatakan, akan salah, dan kamu semakin marah. Alam, diamku ini untuk hal yang benar.
Untuk ukuran orang marah, kamu tidak terlihat begitu. Matamu tidak merah membelalak. Tanganmu tidak terkepal, melainkan tersimpan di dalam saku celana. Suaramu tidak menggelegar, hanya terdengar lebih tegas dari biasanya.
“Sirla, aku tanya. Untuk apa?” “Alam—” “Iya, Sirla. Aku Alam yang lagi nanya sama kamu dan nunggu dirinya dijawab.”
Jujur, aku merasa malu sekali, Alam. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Jika saja aku menunduk sedikit lagi, mungkin akan jatuh menetes ke rok sifon yang kukenakan hari itu. “Rasanya seperti berada di atas perosotan dengan pemandangan dan udara yang indah.”
Kamu mengeryit. “Aku gak lagi bercanda, Sirla.” “Aku juga. Dengerin aku dulu. Tapi tunggu—” Ini darurat. “—Aku mau nangis dulu. Habisin air mata yang udah menggenang aja. Gak kuat.” “Jangan nangis sekarang. Selesain ngomong, baru kamu boleh nangis sepuasnya. Sama aku.”
Benar, Alam. Aku bukan perempuan lemah yang akan menangis hanya karena dipermalukan oleh perasaannya sendiri, pertama kali dalam kehidupannya yang mengenaskan. Mulailah aku bicara setelah meneguk air putih yang kamu sodorkan untuk menenangkan diri.
“Ketika berada diatas sana, kamu akan terbuai dengan indahnya penampakan disekitar. Dengan angin yang membelai pipimu lembut, juga. Hingga kamu mulai menikmati dan tak sadar, telah terjun ke bawah. Semua terjadi begitu cepat bukan?” Aku merasa napasku yang tadinya tercekat kembali lancar. Berkat air putih yang kamu beri, sepertinya.
“Awalnya, aku cuma berniat mencapai ujung. Tapi siapa sangka kalo akan melewati batas? Terjadi begitu cepat. Bagaimana aku menumbuhkan perasaan ini, menyimpannya, menikmatinya, dan juga menyampaikannya dengan cara yang gak aku inginkan. Alam, untuk kesekian kali, aku minta maaf.” “Aku mau tepatin janji. Sekarang, kamu boleh nangis.”
Sebenarnya, aku sudah tak ingin menangis lagi. Namun ketika kamu bicara begitu, air mata bodohku kembali datang entah dari mana.
“Sirla, aku belum pernah bales kebaikan kamu, kan? Sekarang aku mau bales, ya.” “Maksudnya?” “Aku kasih pelukan buat kamu selama kamu nangis. Boleh?” Kamu bertanya. Tapi tanpa menunggu jawaban dari bibirku yang kelu, kamu sudah membawaku ke dada bidang yang hangat itu. Ada rasa bahagia yang menjalar dengan ceopat ke seluruh saraf di tubuhku. Dipeluk kamu, efeknya bisa sebesar ini, Alam.
“Maaf ya, Alam.” “Jangan kebanyakan minta maaf. Cukup puas-puasin nangis aja. Apa yang kamu lalui, itu berat, Sirla.”
“Aku mau tanya,” kataku di tengah isak yang tidak terlalu berat. “Apa Alam Bhumi masih tetap jadi sahabat aku setelah ini?” “Masih dan akan terus jadi sahabat kamu.” “Tapi—” “Apa?” “Bahkan setelah aku mencoreng nama kamu? Setelah ini, kamu akan dikenal sebagai Alam Bhumi yang dicinta Sirla Si Bodoh.”
Ada lagi yang mau kukatakan, jadi aku lanjutkan. “Apa kamu tau, Alam? Saat semua terbongkar, aku merasa dilecehkan hatiku sendiri. Dan rasanya lebih menderita dibanding jika orang lain yang melakukan.” “Kenapa kamu malah ngomong lagi? Nangis aja.” Aku terkekeh. Kamu benar, seharusnya aku menangis saja. Tak perlu mengoceh. “Gak tau. Setiap kali nangis, akan bertambah banyak hal yang mau aku ucap.”
“Giliran aku, ya, Sirla. Ada yang mau kutanya sekaligus katakan ke kamu.” “Sambil dipeluk begini atau ditatap aja?” “Dipeluk.” Aku tersenyum sekilas ketika mendengar jawabanmu yang sama seperti yang hatiku inginkan.
“Kamu tau, apa yang aku rasain saat semuanya terbongkar? Aku merasa digosipin sama semua orang. Mereka tau apa yang aku belum tau. Mereka tau lebih dulu apa yang harusnya aku udah tau. Aku merasa dipermalukan oleh semua orang. “Sirla, ketika kita dibicarakan di belakang oleh orang dan kita akhirnya mengetahuinya, hal yang pasti terpikir, ‘kalo aja bilangnya langsung, gak akan seperti ini.’ Dan, ya, Sirla. Aku lebih pengin kalo kamu ungkapin perasaan itu langsung ke aku. Diantara tatapan-tatapan kita, aku yakin, ungkapan perasaan itu selalu tertahan. Ya kan?” Kamu tahu, Alam. “Sirla, setelah semua terjadi. Apa yang mau kamu lakuin?” “Tadinya aku mau menghilang aja dari bumi. Tapi gak mungkin. Bapak masih mau pulang.” “Pulang?” “Iya. Berpetualang naik kereta itu pulangnya Bapak. Jadi karena itu aku gak bisa menghilang dari bumi. Dan yang bisa kulakuin, menghilang dari semua orang. “Kamu juga bisa aja kalo pergi dari semua orang disini. Kita pergi ke tempat yang berbeda. Di tempatku, aku dikenal sebagai Sirla. Dan kamu, disana, sebagai Alam yang keren.” Pelukan yang hangat ini, terasa tak nyaman karena perkataanku sendiri.
Kamu menggeleng. Aku tahu dari gerakan dagumu di kepalaku. “Dimanapun kamu berada nantinya, semua orang di dunia harus kenal kamu bukan cuma Sirla aja. Tapi Sirla yang disayang Alam.” “Serius?” “Aku emang sayang kamu, Sirla.” “Jangan berhenti sahabatan ya, Alam Bhumi.”
Begini lebih baik. Perasaan yang diungkap tak selalu berarti akan mencapai mimpinya. Akan ada jalan lain untuk mewujudkannya. Entah dalam bentuk merelakan atau melupakan. Untuk kasusku ini, aku memilih merelakan. Aku tak mau memikirkan terlalu jauh lagi. Jikalau nantinya aku berubah pikiran dan ingin melupakan, waktu berpetualang bersama Bapak cukup untuk membuatnya terjadi.
SELESAI
Cerpen Karangan: Maulida Z Azizah Blog: maumenuliskata.blogspot.com Instagram: @maulidaza Wattpad: @maulidaza Youtube: Catatan Kejora
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com