Pagi yang cerah bagiku, meskipun sebenarnya petir terdengar di mana-mana dan tetes air hujan pun turut mengguyur bagian dalam rumahku lewat sela-sela atap yang bocor. Tapi, aku tak peduli. Hujan sederas apapun pagi ini, tetaplah terang bagiku, karena hatiku sedang berawan.
Lekas semua aktifitas pagiku selesai sebelum jam 04.00, sekarang aku bergegas untuk pergi ke kampus yang sudah menjadi naunganku menimba ilmu selama dua tahun terakhir. Aku menyambar sepeda mini kesayanganku, baru menyadari bahwa ibu dan adikku menatap heran. Aku hanya menanggapinya dengan kedikan bahu dan akan mulai mengayuh ringgo (nama sepedaku) ketika terdengar percakapan kedua hawa itu tentangku.
“Mas Juna ada yang aneh, bu.” Ujar adikku. Menikmati sambal terong yang sengaja aku sajikan sebagai menu spesial pagi ini. Ibu yang terbaring lemah karena kakinya lumpuh sejak 2 tahun lalu tersenyum simpul. Sekali lagi menatapku, seolah berisyarat agar segera menghampirinya. “Cinta memang mampu membuat siapapun berubah. Itulah pengaruh kekuatannya.” Ibu meremas jemariku. Tak ayal, aku memang tak bisa mengelak dari kebenaran ini. Putri. Terlintas satu nama tanpa dikomando, menyeruak begitu saja dipikiranku. Membuatku bangkit dan tak sabar untuk segera menemuinya di kelas. Aku mengaku, akhir-akhir ini cewek itu selalu hadir memenuhi benakku. Membuatku tak bisa mengendalikan semangat yang luar biasa.
Aku melirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. 06.15. Biasanya aku baru membangunkan adikku, tapi sekarang aku sudah berada di atas sepeda, mengayuh ringgo yang warna hitam putihnya mulai memudar dan menyelesaikan pekerjaan rumah lebih pagi dari biasanya. Dalam hati aku tersenyum. ‘Aneh juga’ pikirku. Petir kembali menyambar, mengagetkanku yang masih santai dengan khayalan konyol di pagi buta. ‘Putri!’ pekikku. Nama itu menyadarkanku akan misi hari ini. Kembaliku menembus hujan beserta angin yang mengibaskan jaket dan merusak style rambut baruku. ‘Aish,!!’
—
“Juna! Dipanggil dari tadi nggak nyahut-nyahut. Waahh, bunganya indah tapi sayang nggak asli.” Ejek Diana. Teman seangkatanku. Raut mukanya kembali jengkel setelah mengaduh padaku bahwa dia kehabisan suara gara-gara memanggilku. “Bunga ini sengaja aku pilih, ibarat cintaku yang nggak akan pernah layu seperti bunga ini.” “Tapi, kan murahan Juna.” “Bukan harganya, tapi sejuta makna yang tersirat di balik bunga plastik ini. Tentang perasaan yang sebentar lagi akan terkuak.” Aku menghirup aroma minyak wangi yang sengaja aku oleskan ke setiap kelopaknya. “Terserah deh! Gue cuma mau ngasih ini.” Selembar kertas berwarna merah jambu mampir di bangkuku. “Makasih, Di.” Ujarku, mataku mulai celingukan mencari sosok yang kunanti. “Semoga sukses, Juna. Dia adalah cewek yang beruntung telah mendapatkan cinta lo!” Diana berlalu. Aku masih tersenyum. Semakin merekah. Dan senyumku semakin merekah. Putri & Arjuna. Dua nama yang menurutku begitu serasi.
‘Aku semakin yakin kalau hari ini memang harus menembakmu, Putri.’ Tekadku membulat. Tapi, tak bertahan lama. Satu… Dua… Tiga detik kemudian senyumku lenyap. Senyumku tak kembali. Kupaksakan, masih tak mau kembali. Suasana sunyi, sekalipun tak ada yang tau aku menangis. Tuhanku mengetahuinya. Sekalipun tiada yang tahu aku marah dengan meremas undangan ini kemudian membuangnya jauh-jauh dari hadapanku, tapi Tuhan melihat yang kulakukan. Sama saja, aku lebih memilih malu di hadapanNya. Dan Aku lebih memilih diam. Berusaha meredam emosi yang tak terkendali. Menerima dengan lapang dada yang telah terjadi. Tuhan, adakah kesalahan masa lalu yang membuatku menerima karma?.
Sania Putri & Syahrul Anwar. Aku mengenal mereka. Kedua-duanya berarti bagiku. Perempuan yang kuinginkan & sahabat dekat yang lama berpisah. Tapi, kini dia kembali. Menghadirkan luka baru yang pernah kualami. Dan untuk kedua kalinya dia terlibat dalam drama cintaku.
Cerpen Karangan: Rista Dwi Anggraini Blog / Facebook: Rista Dwi Anggraini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com