Aku memggeram kesal dan kembali menatap senja di taman. Namun kali ini dengan tatapan sayu yang kentara. Mata berkedut, dengan bibir yang menipis selalu menjadi ciri khas diriku.
“Lihatlah, kamu tidak pernah berubah Dra.” Seseorang berbicara di sebelahku. Tubuhnya yang kecil dan kurus terlihat semakin kurus. Bukankah dulu dia tidak sekurus ini?
“Berhenti bicara padaku,” kataku menggeram kecil. Aku berdecak, perempuan ini masih sama. Selalu tidak bisa membaca situasi di sekitarnya. “Tidak bisa. Aku sudah berjanji padamu. Disini, tepat disini. Sepuluh tahun yang lalu,” perempuan di sebelahku berbicara ringan. Amat ringan. Tanpa rasa bersalah.
Aku menatap kesal sosoknya yang menatap wajahku. Wajahnya yang kecil namun chubby. Bibirnya yang kecil dan penuh. Alisnya yang terangkat menatapku intens. Aku terdiam. Kembali merasa seperti dulu. Seperti saat aku tidak bisa mengendalikan diriku yang mengagumi sosoknya. Menyukainya dan berharap selalu bisa melindunginya.
Ah, sial. Seorang Eirish Putri memang selalu berhasil membuat Indra Pradita terlena.
Aku mengalihkan wajah darinya. Berdeham kecil dan berkata, berusaha dingin, “pergi dari sini, Rish. Aku gak mau liat kamu.” “Kamu malu,” katanya pelan dengan pipi yang merona. Melenceng dari topik pembicaraan. Tangannya terkatup di balik punggungnya. Wajahnya berusaha menatap mukaku.
Aku semakin menjauhkan wajahku darinya, “urus saja urusanmu sendiri. Pergi dan jangan pedulikan aku. Seperti dulu, kan?” Aku meneguk ludah. Memang benar. Eirish Putri akan selalu menatap Alan Mackenzie. Bukan aku, Indra Pradita.
Perempuan itu, Eirish, tampak gusar dan mengerutkan alisnya kecil. “Aku gak pernah gak peduli sama kamu ya, Indra Pradita. Nyatanya, aku peduli sama kamu. Sama pedulinya aku dengan Alan,” perempuan itu berkata kesal dengan nada meninggi. Aku mengabaikannya. Berusaha mengabaikannya. “Cih, terserahlah.”
“Indra!” “Apa?” Kataku menatap langsung dirinya. “Apa?” Tanyaku lagi dengan intens menatap matanya. Eirish bungkam, terlihat linglung. Perempuan itu seketika terlihat baru-baru, “aku harus pergi. Sekarang,” katanya cepat, tersengal. Aku menatap sosoknya yang berbalik arah dariku. Langit terlihat sudah gelap dan udara menjadi dingin. Aku menatap bingung.
“EIRISH, TUNGGU!” Kukejar dirinya dan menarik pelan tangannya. “Apa sih? Kenapa baru-baru?” Eirish tidak menatap mataku. Barangkali tidak sudi. “Bukannya kamu tadi yang menolak kehadiranku? Sekarang aku mau pergi. Seperti yang kamu mau,” katanya datar. “Lepaskan tanganku.” Ultimatum itu membuatku merelakan tangannya. Tangan yang dulu sering menjahiliku. Tangan yang dulu sudi berdiri berdampingan denganku. Tangan yang dulu selalu menarik bajuku khawatir ketika aku terkena masalah.
Aku menarik napas panjang. Benar, ini yang aku mau. Ini yang aku harapkan. Mengapa aku harus merasa sedih dan tidak rela? Eirish sudah menyakitiku, seharusnya aku tidak mengasihaninya. Ini yang aku mau.
Atau mungkin bukan.
“Selamat ulang tahun, Indra.” Aku menatap kaget. Mulutku terbuka lebar, bingung. “Ayo kita berpisah. Benar-benar berpisah. Seperti katamu dulu.” Aku ternganga. Walau merasa tidak terima, aku merasa itu adalah hal yang pantas dilakukan. Itu adalah hal yang harus dilakukan. Sejak dulu.
Ayo, Bisikku dalam hati mengiringi langkahnya yang menjauh. Yah, mungkin ini sudah jadi takdirku. Takdir seorang bintang. Bintang yang tidak akan pernah bisa menggapai semesta.
Dan bintang itu adalah aku. Indra Pradita.
TAMAT
Cerpen Karangan: Rin-A1
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 31 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com