“Kita mampir di cafe depan ya.” Ucap seorang gadis kepada teman yang memboncengnya menggunakan sebuah motor matic.
Lindu, ialah nama gadis itu. Selain haus dan letih selepas berkeliling kota bersama Sekar temannya, ada sesuatu yang mendorong hatinya untuk memilih cafe itu menjadi tempat rehat mereka. Entahlah, mungkin bagi Lindu terlalu banyak kenangan di kota ini, salah satunya cafe tersebut.
Setelah masuk ke dalam ia dipesankan minuman dan beberapa makanan ringan oleh Sekar. Sementara Lindu matanya asik menerawang seluruh sudut cafe ini. Tak banyak berubah, masih sama seperti terakhir Lindu ke sini 7 tahun lalu. Sontak, ingatan Lindu seperti api yang tak sengaja tersiram gasolin. Berkobar secara tiba-tiba, meledak dan memutar balik episode-episode lama dalam hidup Lindu yang telah lalu.
Semua itu tentang satu lelaki. Iya, seorang lelaki yang pernah menyatakan cinta untuk Lindu di cafe ini 10 tahun yang lalu. Lelaki aneh dengan berjuta keabsurdannya, tapi di mata Lindu ia sosok unik yang selalu membuatnya tak berkutik. Bukan tentang ketampanannya, apalagi kekayaannya, tapi tentang kepribadiannya. Dia berbeda dari Lelaki-lelaki lain; mulai dari penampilanya, hobinya, prinsip hidupnya dan bagaimana ia memperlakukan wanita. Mungkin semua itu terlihat tak lazim di mata orang-orang kebanyakan, tapi tidak dengan persepsi Lindu. Justru itu semua yang membuat Lindu tertarik padanya. Bahkan sampai sekarang tak pernah Lindu temukan sosok seperti dia pada diri orang lain. 2 tahun berpacaran denganya, telah cukup banyak kenangan yang terpatri dalam ingatan Lindu. Sampai akhirnya ada suatu hal yang membuat mereka berdua berpisah.
“Hei bengong mulu!”. Tiba-tiba suara sekar mengagetkan Lindu yang sedari tadi memikirkan makhluk dari masa lalu bernama ‘mantan’. “Mikirin apa sih Lin?” Tanya Sekar sedikit penasaran. “Nggak.” Jawab Lindu pelan, seraya menikmati minuman yang telah tinggal separuh.
Bagi Lindu mungkin tak perlu menjawab dengan jujur pertanyaan dari Sekar. Toh, ia ke kota ini bersama kedua orangtuanya bertujuan mengundang secara langsung sanak famili untuk menghadiri acara pernikahan Lindu dengan tunangannya Edo, yang akan dilaksanan tanggal 22 bulan depan. Dan hari ini, Lindu memang berniat benostalgia dengan kota ini. Ia mengajak sahabat kecilnya Sekar untuk bertemu teman-teman lama atau sekedar mengujungi tempat-tempat hangout yang dulu sering ia datangi waktu Lindu masih tinggal di kota ini. Jalanan kotanya yang tak begitu ramai, trotoarnya yang rapi dan bersih, penduduknya yang ramah-ramah. Sungguh, Lindu merindukan itu semua.
“Eh Kar, si Gigih itu sekarang di mana ya?” Nggak tau kenapa lidah Lindu tiba-tiba menayakan Gigih, Gigih Bimo Wicaksono orang yang sedari tadi Lindu pikirkan. “Oh gigih mantanmu dulu?” Tanya Sekar “Udah nikah tahun kemaren dia Lin. Kenapa emang Lin?” Jawab Sekar berbicara tanpa jeda. “Ngga apa-apa kok Kar cuma nanya aja.” Jawab Lindu. “Cie keinget mantan, gagal move on ya!” Goda Sekar sambil tertawa. “Ngga lah Kar!” Dijawab Lindu dengan tegas.
Memang benar adanya; perasaan Lindu untuk Gigih memang telah sirna dengan berjalanya waktu. Sehebat apapun Gigih, Lindu telah ikhlas jika memang mereka berdua tak berjodoh. Telah lama ia berhasil merelakan, sampai ia menemukan Edo tunangannya sekarang yang akan menikahinya sebentar lagi. Perihal ia sempat memikirkan Gigih tadi, Lindu anggap sebagai refleks otak. Toh, mustahil jika seseorang bisa melupakan kisah yang telah lalu kecuali dia amnesia.
‘Aku hanya kangen kenangannya, bukan orangnya’ gumam Lindu dalam hati.
Tak terasa Lindu dan Sekar telah cukup lama berada di cafe itu. Minuman dan makanan yang telah habis serta hari yang mulai sore seolah menyuruh mereka untuk pergi. Selepas membayar semuanya mereka bergegas ke tempat parkir untuk segera pulang.
Tanpa disangka waktu mereka berdua belum lama keluar dari area parkir. Dari arah berlawanan Gigih dan Istrinya melaju melewati Lindu dan Sekar. Gigih menatap Lindu, tatapan kosong, tatapan kaget, sebuah tatapan yang sulit didefinisikan.
“Eh eh itu Gigih!” Mendadak sekar memberi tahu Lindu dengan heboh. Betul sekali itu Gigih bersama Istrinya berboncengan dengan motor tua kesayangan Gigih yang juga dulu sering untuk membonceng Lindu. “Iya itu Gigih, beginilah kini kita.” Jawab Lindu sayu tapi wajahnya tak menunjukan sebuah ekspresi kesedihan. Kemudian yang tersisa hanya hening. Motor matic yang dikendarai Sekar membelah angin sore itu, membawa mereka berdua pulang.
‘Beginilah kini kita, mempunyai kenangan yang sama tapi dengan perasaan yang telah berbeda Beginilah kini kita, pernah merangkai mimpi berdua tapi akhirnya tak bisa bersama Beginilah kini kita, dua asik yang sekarang menjadi asing Beginilah kini kita, ganjil yang ingin menggenapkan, kembali ganjil dan harus mencari genap yang baru Ya beginilah, beginilah kini kita Terimakasih atas segala rasa. Kenang, kenang aku sebagai orang yang pernah mencoba mati-matian membahagiakanmu. Dulu’
Cerpen Karangan: Yuddy Disorder Facebook: facebook.com/xogyfx2
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 14 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com