Pemuda berambut cepak itu duduk di bubungan atap gedung sekolah. Tatapannya kosong ke bawah, mengamati lalu lalang siswa yang baru datang. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menikmati awal harinya seperti ini. Terus mengabaikan dering alarm ponsel dari sakunya. Jam tangannya menunjuk angka tujuh lebih sepuluh. Masih ada dua puluh menit lagi.
“Mereka bilang kamu di sini.” Panggilan itu membuat Dirgantara terlonjak, menatap pada sosok gadis yang berdiri beberapa kaki di sebelahnya. “Maaf aku terlambat.” Dua tangannya masih disembunyikan dibalik saku sweaternya, tapi terlihat mengepal kuat. “Duduk dulu!” Dirgantara membersihkan tempat di sebelahnya. Tatapannya sekarang menjauh ke arah langit dimana matahari merangkak naik. “Mataharinya indah ya, Arunika. Sama seperti namamu.” Dirgantara melirik Arunika yang memasang senyum simpul, menampilkan lesung pipitnya. “Aku kira, Dirgantara cuma laki-laki dingin, ternyata bisa gombal juga.” Arunika tertawa setelahnya, disusul Dirgantara. “Dua tahun lalu, kamu cuma Dirgantara yang sombong, yang bahkan engga mau sekedar membalas sapaanku.” Matanya mungkin bertemu dengan Dirgantara, tapi jauh di sana, Arunika mengingat pertemuan pertama mereka.
Dirgantara. Namanya tersebar luas ke seluruh angkatan SMA. Siapa yang tidak kenal dengan ketua tim futsal itu? Tampan, baik hati, juga pintar dalam akademik. Kemudian namanya semakin dibicarakan ketika tersebar rumor ia dekat dengan Arunika. Seorang gadis periang di sekolah, kekanakan, tapi juga sosok yang peduli terhadap orang lain.
Entah bagaimana caranya, Arunika berhasil melunakan Dirgantara. Gadis itu mengajarkan banyak hal baru untuk seorang Dirgantara. Bagaimana caranya menyapa, membalas sapaan, sekedar berbalas senyum atau mengangguk sopan. Dirgantara sebagai sosok dingin perlahan hangat untuk teman-temannya.
Semua orang berharap pasangan itu bersama selamanya. Hal itu juga yang diharapkan Dirgantara. Perasaannya benar-benar terpaku pada gadis mungil di sebelahnya. Dirgantara tidak bisa menarasikan betapa cantiknya Arunika. Rambut pendeknya yang dikucir satu, bubuhan poni, senyumnya, juga binar bola mata biru milik gadis itu.
“Dua tahun lalu, Arunika cuma perempuan periang, dan ramah. Bisa bucin juga ternyata,” balas Dirgantara tak mau kalah. Arunika, Dirgantara baru tahu nama gadis itu tiga bulan setelah muak terus diganggu. Selama tiga bulan itu juga, Dirgantara berjalan memutar, berharap tidak bertemu Arunika yang selalu menunggunya di gerbang utama. Dirgantara tidak munafik. Tiga bulan itu berhasil membuatnya jatuh cinta dengan gadis yang belum ia ketahui namanya. Hari dimana ia tahu nama gadis itu adalah Arunika, Dirgantara membawanya ke tempat ini. Di bubungan atap gedung sekolah ini, Dirgantara mengungkapkan perasaannya. Beruntung, jawabannya adalah yang ia harapkan.
“Kamu yang bikin aku bucin,” tegasnya. Mereka kembali tertawa setelahnya, sebelum bel masuk menyadarkan mereka bahwa sedang berada di sekolah. “Yuk, masuk! Bakal ada pemberitahuan buat acara kali ini, kan?” Dirgantara hanya mengangguk, berdiri lebih dulu dan menggandeng tangan Arunika yang sama mungilnya. Sesaat, mereka menjadi pusat perhatian seisi sekolah. Sungguh pasangan yang tepat di akhir kehidupan mereka sebagai siswa SMA. Tinggal menunggu kelulusan dan masa kuliah, mereka bisa hidup bersama selamanya.
Tapi mungkin, takdir sedang senang mempermainkan mereka. Dering telepon bergema setelah Arunika masuk ke kelas. Dirgantara menjauh, memastikan tempatnya cukup sepi untuk menerima panggilan itu. Pagi ini, Dirgantara kembali ditelepon ibunya, memberitahunya untuk segera meninggalkan Arunika. “Dirgantara!” Suara lantang itu berhasil memekakan telinga Dirgantara. Ia tahu ibunya marah kalau Dirgantara terus dekat dengan Arunika. Ibunya terus melontarkan kalimat-kalimat yang berhasil membuat lukanya kembali terbuka. “Kamu jangan jadi anak pembangkang! Apa perempuan itu lebih penting dari masa depan kamu? Jangan sia-siakan beasiswa yang kamu dapat, Dirgantara! Tinggalkan perempuan itu atau kamu pergi dari rumah!” Setelahnya hanya bunyi ‘tut-tut’ yang terdengar.
Dirgantara tidak menangis sepenuhnya. Ia cukup kuat menahan sakit hatinya pagi ini. Ibunya mungkin benar perihal pendidikan itu, tapi apakah harus mengorbankan perasaannya? Dirgantara juga tidak siap melihat gadis periang itu menjadi gadis pemurung. Masa lalu Arunika, ia tahu semuanya. Meninggalkan Arunika berarti membawa gadis itu kembali dalam belenggu masa lalunya.
Dirgantara menepuk dadanya kuat-kuat, berharap memberinya ketegaran lebih. Pelupuknya yang penuh air mata ia seka, menyisakan merah pada bola matanya. Setelah satu hirupan napas dalam, Dirgantara berlalu, meninggalkan kamar mandi tempatnya mengangkat telepon. Sayangnya, tidak sepenuhnya pembicaraannya menjadi rahasia.
“Lo bakal ninggalin Arunika gitu aja?” Sesosok jangkung berdiri tepat di luar kamar mandi. Dirgantara tahu itu Jonathan, teman satu kelasnya. Sekarang, semua rahasianya diketahui Jonathan, penjaga gawang tim futsalnya. “Kenapa engga lo coba buat ngasih tau dia sebelum pergi?” “Gue engga bisa, Jo.” Dirgantara tertunduk pada kelemahannya tidak bisa memberitahukan hal ini ke Arunika. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, menarik napasnya dalam-dalam. “Gue engga bisa lihat Arunika sedih lagi.” Satu cengkeraman kuat menusuk kerah seragamnya. Tatapan Jonathan siap membunuh Dirgantara saat ini juga. Jonathan mendengus, membuang napas kasar ke arah lain. “Jadi lo pikir Arunika bakal seneng kalau dia engga tau? Lo bukan Dirga yang gue kenal. Dirga yang gue kenal bisa ngambil keputusan!” Cengkeraman itu perlahan melemah. Jonathan meminta Dirgantara untuk kembali memikirkan jawabannya.
Dirgantara marah. Ia marah pada semua orang, marah pada Tuhan, marah pada Jonathan, marah pada Arunika yang tidak tahu menahu soal apapun. Dirgantara kembali menjadi Dirgantara dua tahun lalu. Ia menjadi sosok yang sombong, menjadi sentimen terhadap orang lain, menjadi Dirgantara yang individualis. Dirgantara tidak munafik, ia merindukan Arunika yang sudah tidak ia temui dua bulan terakhir.
Sering kali, Dirgantara mendapati Arunika menunggunya di gerbang utama. Ia kembali memutar, sama seperti tiga bulan pertama Arunika terus menyapanya. Nomor Arunika di kontaknya juga tidak ada, semua yang berkaitan dengan Arunika ia hapuskan. Mau bagaimana lagi? Dirgantara tidak ingin Arunika tahu soal ini. Jahat bukan, Dirgantara? Ia bahkan tidak memikirkan perasaan Arunika yang pasti sedang mencemaskannya.
Sore ini, entah kesekian kalinya Dirgantara masih menemukan Arunika menunggunya di gerbang sepulang sekolah. Gadis itu terlihat semakin tidak terurus. Rambutnya yang biasa rapi dikucir, sekarang diurai berantakan. Senyum yang biasa ia lontarkan perlahan hilang. Tatapannya kosong, mencari-cari keberadaan Dirgantara yang bersembunyi.
Arunika berulang kali mencari Dirgantara di kelasnya, tapi hasilnya nihil. Dan selama itu juga, Arunika diberikan banyak alasan kenapa tidak bisa bertemu Dirgantara. Beberapa mengatakan Dirgantara sibuk dengan futsalnya, Arunika bisa terima. Kemudian alasan lain, Dirgantara sedang dipanggil guru, Arunika bisa menerimanya. Putus asa, Arunika hanya bisa berharap bertemu Dirgantara di sini, di gerbang utama setelah pulang sekolah.
Dirgantara terdiam. Siapa yang memutuskan ini baik untuk mereka berdua? Bukankah ini memperburuk keadaan? Dirgantara merasa bersalah atas perubahan Arunika. Ia yakin Arunika kembali terbelenggu kehidupan masa lalunya, karena Dirgantara. Dirgantara memang marah, tapi tidak seharusnya memperburuk keadaan. Pikirannya terus melayang kemana langkah selanjutnya pergi. Tentang Arunika, pendidikannya, masa depannya. Semua.
Sebelum meninggal, ayahnya pernah mengatakan, “Laki-laki harus memilih jalannya sendiri. Tidak terpaku pada ucapan orang lain, dan pandangan orang lain. Kalau itu baik menurutmu, lakukanlah, tapi bukan berarti mengabaikan saran orang lain.” Apakah ini saat yang tepat memberitahukan semuanya pada Arunika? Apakah Arunika siap menerima semua keputusannya? Dirgantara menghela napas, mengusap wajahnya sekasar mungkin. Sore ini, mau tidak mau, siap tidak siap, Dirgantara harus menyampaikan semuanya. Termasuk alasannya menghilang dua bulan ini.
“Arunika?” Kata yang menyebut nama gadis itu berhasil membuat Arunika menoleh. Tatapannya teduh, tidak menyiratkan amarah apapun pada Dirgantara. Senyumnya mengembang sempurna, masih dengan lesung pipit sebagai ukiran indah pada wajah Arunika. Secara tidak sadar, hal itu juga berhasil mengembangkan senyum Dirgantara.
“Dirgantara,” ucapnya dengan suara parau. Arunika ingin sekali menangis, memeluk erat tubuh pemuda di depannya, tapi tidak mampu. Kakinya terlalu kaku untuk melangkah, ia sangat bahagia. Bisa kembali melihat sosok yang cintai berdiri dekat dengannya. Pelupuk matanya mulai dipenuhi air mata, Arunika tidak kuasa menahan semua perasaannya yang selama ini ia pendam.
Dengan gerakan cepat, Dirgantara membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya. “Arunika, aku minta maaf.” Diam, membiarkan mereka menikmati suasana hangat sore ini. Membiarkan Arunika melampiaskan semua perasaannya. Gadis terus menangis, membasahi sedikit demi sedikit seragam putih yang Dirgantara kenakan. Terasa gelengan lembut Arunika pada tubuhnya. Dirgantara benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri setelah ini. Ia pernah berjanji tidak akan membuat Arunika menangis, tapi kenyataannya, Dirgantara sendiri yang membuat Arunika meneteskan air mata.
“Bukan salahmu, Dirga. Keputusan masih ada di tanganmu. Aku tau, masa depanmu lebih penting daripada aku.” Arunika melepas pelukannya. Dengan ibu jarinya sendiri, ia menyeka air mata agar tidak lagi membasahi pipinya. Gadis itu menatap lekat Dirgantara di hadapannya. Sebuah senyum ia berikan pertanda Arunika baik-baik saja. “Kamu kejar masa depanmu, Dirga. Aku…” “Kamu tau dari siapa?” Pertanyaan itu memotong kalimat Arunika selanjutnya. Hanya ada satu yang Dirgantara tahu tentang rahasianya. Dirgantara tidak mau gegabah dan menuduh Jonathan tanpa bukti. Mungkin Jonathan marah padanya. Pada keputusan yang ia ambil untuk membiarkan Arunika melupakannya selama dua bulan, tapi gagal.
Dirgantara meraih lembut tangan Arunika. Ia ingin Arunika memberitahunya siapa yang membocorkan hal ini pada orang yang ia cintai. Matanya penuh keyakinan, apapun yang terjadi, Dirgantara tidak akan melakukan apapun pada orang itu. Dirgantara hanya ingin tahu, kenapa orang itu begitu jahat membuat Arunika mendengar kebenaran, selain dari mulutnya sendiri. Arunika kembali menggeleng. “Engga penting siapa yang ngasih tahu, Dirga.” “Penting! Kenapa kamu engga mau ngasih tau aku?” “Dirga, aku mohon, pilih masa depan kamu! Lupain aku! Aku engga mau jadi alasan penghalang masa depanmu. Aku engga mau itu, Dirga.” Arunika kembali menteskan sisa air matanya. Pipinya mulai terasa lengket. Ia tidak bisa lagi terisak. Arunika menatap Dirgantara sekali lagi, memastikan pemuda itu sudah memutuskan jawabannya. “Aku mohon.”
Dirgantara tertunduk. Ia kembali teringat ucapan ayahnya. Apakah kali ini ia harus memutuskan salah satu? Dirgantara sendiri tidak tahu pilihan mana yang paling tepat. Merelakan seseorang yang ia cintai, atau masa depannya yang sudah pasti? Dirgantara terjebak diantara pilihan itu. Ia menghirup napas dalam, menatap gadis mungil di depannya yang sudah menunggu keputusannya.
“Arunika, aku minta maaf. Aku belum bisa jadi seseorang yang selalu ada buat kamu. Aku belum bisa megang janjiku buat engga bikin kamu nangis. Aku minta maaf, Arunika.” Suara parau Dirgantara terasa menebas perasaan Arunika sekarang. Ia tahu yang dirasakan Dirgantara, karena dulu, Arunika merasakan yang sama. “Biar bagaimanapun, Arunika adalah bagian dari Dirgantara, iya, kan?” Celetuk Arunika tiba-tiba. “Bukannya arti namamu itu segala sesuatu yang ada di bumi sampai ke luar angkasa? Sementara aku, Arunika, cahaya matahari yang baru saja terbit. Sejauh apapun kita, aku masih bagian dari kamu. Percayalah, Dirga.”
Dirgantara masih merasa pilihannya salah. Untuk kali ini saja, Dirgantara ingin melangkah pada pilihan yang dipaksa, kemudian akan kembali pada pilihannya, Arunika. Arunika sudah menjadi pilihannnya sejak pertama mereka bertemu. Dirgantara menaruh harapan, masa depan, semua keinginannya pada Arunika. Karena itu ia berharap bisa bersama dengan Arunika.
Kali ini, Arunika memeluk Dirgantara erat. Memberinya perpisahan membekas yang ia harap tidak akan dilupakan Dirgantara. Arunika mencintainya, lebih dari siapapun yang ia miliki sekarang. Kalaupun bukan Dirgantara orangnya, Arunika tetap bahagia. Ia pernah menjadi prioritas seorang Dirgantara dalam hidupnya.
“Kalapun bukan kamu, aku harap kamu masih mau ketemu aku sepuluh tahun lagi. Di tempat pertama kali kamu ngungkapin perasaanmu. Janji?” Arunika membisikan kalimat itu tepat di telinga Dirgantara. Suaranya mulai kembali, hatinya mulai mengikhlaskan kepergian Dirgantara. “Aku janji.” Dirgantara mengatakan itu dengan sepenuh hati. Dirgantara akan mengambil kesempatan sepuluh tahun mendatang. Ia berharap, Arunika masih memiliki perasaan yang sama.