Sore itu, di taman bunga ujung jalan kota. “Kenapa?” dia mengernyitkan kening. “Di dunia ini sudah terlalu banyak perempuan yang menangis karena sakit hati. Jadi, aku tak ingin menambahi jumlahnya.” kedengarannya memang aneh, tapi itulah yang kuucapkan saat Dian menyerahkan kotak berwarna merah berisi cincin kala itu.
“Apakah kamu berpikir aku akan menyakitimu Dek??” kulihat wajah lawan bicaraku itu memerah dan menatap tajam ke arahku. Sementara, aku masih dengan sikapku, biasa saja, dengan wajah datar. “Aku tidak bilang seperti itu.” rasa-rasanya aku ingin segera berlari menjauhinya, air yang sejak tadi bersorak di kantung mata sepertinya tidak bisa ditahan lagi. Maafkan aku Dian. “Baik, jika itu maumu. Aku tidak bisa memaksa, semoga kamu bertemu orang yang lebih baik dari aku.” ucapnya sembari berpaling dan masuk mobil. Memang sudah saatnya aku melepaskanmu, daripada semuanya terluka.
Aku pun berlalu bersama hati yang sendu. Kupacu mobilku menuju rumah. “Keputusanmu sudah tepat, iya, sudah tepat.” gumamku dalam hati, sembari mengusap air mata yang membasahi pipi. Andai saja kamu tahu Dian, kamu dan aku sedang menjadi korban drama besar yang tak lain disutradarai keluargamu sendiri. Tapi sayangnya kenapa kamu harus melibatkan aku?? Memang kubilang aku tidak ingin menjadi bagian dari perempuan dunia yang sakit hati, tapi nyatanya aku sudah berada di dalamnya. Lingkaran api yang sangat kubenci. Aku akan keluar dari sana secepatnya. Sesegera mungkin akan kulupakan semua kenangan tentangmu. Jika tidak, aku akan terbakar kesedihan itu.
Andai Dian tahu, apa yang dikatakan Ibunya tempo hari. Kira-kira apa yang akan dia perbuat? Jelas, aku tidak akan mempertahankan perasaan di antara kita, karena itu jauh lebih menyiksa.
Perempuan paruh baya itu menghentikanku, terlihat wajahnya sendu seolah menyimpan masalah yang kian membelenggu. “Nak, lepaskanlah Dian. Bukan maksudku tidak merestuimu, tapi keadaan yang berbicara demikian. Ini bukan masalah kamu atau siapapun, tapi Dian sudah terikat wasiat Ayahnya.” ucapnya sembari mengusap pundakku. “Wasiat?? Tentang apa bu?” “Iya, duapuluh lima tahun yang lalu, kami punya hutang miliaran hingga rumah kami hampir disita. Ayah Dian jatuh sakit dan kritis. Ketika itu, Pak Marto pengusaha kaya itu datang dan memberikan solusi pada kami. Dia bersedia melunasi hutang kami, asalkan Dian dijodohkan dengan putrinya, Amel. Hal itu menyebabkan Ayah Dian membuat wasiat, bahwasanya Dian harus menikahi Amel ketika dewasa.” jelasnya sambil menangis sesenggukan, sontak saja membuatku kaget bukan kepalang. Drama apalagi ini?
“Lalu?? Apa akibatnya jika Dian menolaknya Bu?” tanyaku sedikit iba padanya. “Kami sudah terlanjur menandatangani perjanjian itu. Jika Dian menolak, maka kami harus membayar ganti rugi hingga miliaran rupiah kepada Pak Marto. Itulah sebabnya Nak, Ibu datang dan memohon agar kamu meninggalkan Dian. Maafkan kami Nak,” ucapnya merengek-rengek padaku. Aku tak tahu harus bagaimana, ingin rasanya marah dan kecewa. “Baik bu, jika benar apa yang Ibu ceritakan, tidak perlu pikir panjang, saya tidak ragu melepaskan Dian. Ibu tidak usah khawatir, di antara kita tidak ada apa-apa kok.” jawabku santai, padahal hatiku merintih-rintih. “Terima kasih Nak, Ibu doakan kamu mendapat jodoh yang baik dan sempurna untukmu..”
Teringat ucapan itu, aku tidak ingin lagi menyelidiki faktanya. Ya, aku memang menyerah, kalaupun yang diucapkannya bohong, aku pun tak ingin menggugatnya. Sebab jika benar Ibunya berbohong, berarti ada indikasi dia tidak merestuiku. Lantas untuk apa kupertahankan, bukankah kita takkan bahagia tanpa restu orangtua? Biar saja aku terluka sekarang, asalkan semua menuai kebaikan. Daripada aku memaksa bahagia sesaat, tetapi pada akhirnya menjerat. Aku yakin pilihanku sudah tepat. Dengan begitu, Dian dan keluarganya takkan lagi menanggung hutang dengan menikahi Amel.
Tak perlu kutahu, apa perasaan Dian, setelah perpisahan ini. Katakan pada hatimu, “Perempuan tidak boleh bersedih. Kalaupun lubang luka menjeratnya, ia harus melepaskan diri, pergi, dan berlari ke dermaga kebahagiaan”. Membebaskan hati dari semua ikatan sakit, memang tak mudah, tapi logika kali ini tak boleh menyerah. Tidaklah mungkin, aku harus menggagalkan wasiat itu, demi hubungan ini. Meskipun Dian pasti mau kuajak melakukannya. Tapi setelah itu? Aku dan Dian harus banting tulang membayar hutang Pak Marto. Belum lagi aku harus merelakan harta hasil jerih payahku untuk membayar hutang-hutang itu. Tidak, ini terlalu berisiko.
Senja berselimut kelabu, mengajakku melupakan masa lalu. Tapi, kenapa dia harus datang? “Tak kusangka, engkau menyerah begitu saja.” “Perempuan itu ada kalanya harus realistis. Jangan sampai ia diperbudak perasaan cintanya sendiri hingga bertindak tak masuk akal. Bukankah aku sudah pernah bilang, aku tidak mau menambahi jumlah wanita yang sakit hati karena lelaki di dunia ini?.” aku berkacak pinggang menanggapinya. “Bukankah mungkin saja, lelaki lain juga akan menyakitimu?” pernyataannya semakin membuatku geram. “Perempuan berhak memilih, apa yang terbaik menurut dirinya. Sudahlah, hargai keputusanku, seperti aku menghargai keputusan keluargamu itu.” “Tapi..?” “Tidak ada tapi-tapian, cerita kita sudah usai, cukup sampai di sini. Temukan jalanmu sendiri, akupun akan mencari jalanku sendiri. Sekarang, pergilah dan lakukan yang terbaik untuk keluargamu, jangan hiraukan aku. Aku tidak mengapa.” Dian pun berlalu tanpa meninggalkan luka sendu di hati ini. Aku sudah benar-benar mengikhlaskannya.
Cerpen Karangan: Risma Wigati Blog / Facebook: Risma Wati Menulis bukan sekedar berekspresi. Melainkan cara apresiasi diri dan sarana berkontribusi untuk mengedukasi para pembaca.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com