Pagi itu, suasana begitu cerah. Embun yang masih belum mengering di dedaunan membasahi kerudung Annisa saat ia melewati jalan kecil itu. Tidak seperti biasanya, ia berangkat pagi-pagi sekali menuju kampusnya. Memang, perjalanan kampus dimana Annisa kuliah agak jauh dari rumahnya, sedangkan ia bukanlah orang berada. Orangtuanya hanya bekerja di sepetak sawah milik Mereka, sekedar cukup untuk membiyayainya kuliah dan untuk Mereka makan saja.
Di perjalanan, Ia terlihat diam saja tanpa mengeluarkan suara ataupun bersenandung seperti biasa. Namun saat bertemu persimpangan, Ia sedikit tersentak melihat seorang Cowok berdiri seolah menantinya. Cowok itu menatap kearahnya sambil tersenyum, Tatapannya ramah, sambil melambaikan tangannya kearah Annisa yang sempat terpaku karena kagetnya melihat ada orang yang semalam dipikirkannya terus.
“Ya Tuhan, Mengapa ada Dia di sini, apakah Do’aku terjawab sudah, Apakah Dia… dia masih mengenaliku sebagai Annisanya yang dulu?”, Anisa bertanya-tanya dalam hati sambil tak sadar sedikit mempercepat langkahnya. Namun seperti kebiasaannya, ia tidak sedikitpun memperlihatkan kata hatinya ini. Ia terus berjalan melewati Cowok itu dengan acuh tanpa melihat sedikitpun kearah wajah yang ia rindukan selalu.
Seperti telah mengenal sikapnya, Cowok ini menjajari tanpa berkata. Diam saja, namun tanpa mengurangi jarak sedikit pun sehingga membuat Annisa jengkel sendiri. “Sepagi ini sudah mau mengganggu wanita yang mau belajar!”, ketus Annisa dengan masih tidak melihat kearah wajah Cowok di sampingnya. “oh tidak, Saya hanya ingin memastikan, kalau ini benar-benar Annisa… Annisak… eh… ehm, maksud saya Annisa yang pernah Saya kenal dulu”, jawab Cowok ini dengan sedikit gugup karena sudah dibentak sepagi ini. “pasti bukan itu kan, pasti bukan itu yang ingin Kamu katakan. Annisak-Annisak… kamu pikir namaku Annisak?”, ketus Annisa lagi dan kini menghentikan langkahnya sehingga tidak sengaja mata Mereka saling bersitatap.
FlashBack Permainan itu sangat ramainya, di mana-mana terlihat Anak-anak kecil berlarian ke sana ke mari dan tanpak cukup bahagia dengan permainannya masing-masing. Di satu sudut yang agak sepi, terlihat sepasang remaja yang sedang berbincang-bincang sangat akrabnya. Ceweknya masih sangat imut, kira-kira berusia empatbelas tahun dan Cowoknya juga masih muda belia, kira-kira berusia sekitaran delapanbelas tahun. Entah apa sebabnya, Mereka berdiri dan saling berpegangan tangan sangat erat. Meski pun masih berusia empatbelas tahun, Cewek ini terlihat malu dan menunduk saat Cowok itu tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat.
“Gimana, bukankah Kita sepakat ingin menjadi lebih dewasa?”, suara Cowok itu memecahkan suasana yang sepi karena Mereka saling terdiam ketika saling berpegang tangan. “ah… siapa yang bilang gitu, kan Kakak aja kok?”, suara khas Cewek kecil membuat Si Cowok tersenyum dan melepaskan satu tangannya sambil mengusap kerudung yang dikenakan Cewek di depannya. “loh, kan Kita sepakat tadi, Kita mau lebih dewasa, punya pacar dan jalan-jalan kayak Kakak-kakak yang di sana itu”, Sambil Cowok tersebut menunjuk kearah yang dilihatnya. “hiiii Kakak, itu bukan Kakak-kakak, tapi Kakek-kakek”, si Cewek merengut sambil tertawa dan mencubiti bagian mana saja yang kena dari tubuh si Cowok dengan tangan-tangannya yang kecil.
Cowoknya pun tidak tinggal diam, tangannya langsung jahil menggelitik telapak tangan, pinggang, sehingga membuat Cewek tersebut tertawa lepas dan berlari menjauhi si Cowok dengan tidak lepas memperlihatkan bahwa dia ingin dikejar. Jadilah di malam yang perlahan menjadi sepi itu Mereka berkejaran. Bintang dan Bulan yang terang menjadi sinar menemani Mereka yang bahagia itu. Tanpa mengenal apa itu susah, apa itu sedih, yang ada hanyalah kewajaran dari perasaan Mereka yang timbul saat itu.
Lazimnya Manusia, jika sudah menemukan yang asik, maka waktu yang terlewat tidak akan membuat Mereka terusik. Malam semakin larut, dan Mereka yang berlarian pun semakin berkurang dan akhirnya suasananya tergantikan oleh suara-suara Anak-anak yang bergerombol karena kecapaian habis berlari ke sana ke mari. Cewek ini pun sudah capek berlari, akhirnya dia menyerah dan sengaja menjatuhkan dirinya di rumput yang tebal di depan salah satu rumah di Tempat itu. Cowoknya pun menyusul, dan ia pun mengikuti si Cewek menjatuhkan dirinya, namun sengaja saat jatuh, ia menggeser pinggulnya mendekati si Cewek sehingga di malam yang dingin itu Mereka tetap hangat terpancar dari hawa tubuh-tubuh Mereka yang berkeringat karena bergerak terus saling berlarian dan tertawa-tawa.
Tidak sengaja wajah si Cewek begitu dekat kearah Cowok tersebut. Ia pun langsung terbengong, karena secara jelas, ia bisa melihat seluruh wajah yang begitu didambanya, wajah yang merah karena kecapaian dan berkeringat itu. Matanya tidak lepas-lepas memandangi poni yang terlihat di sana, alis yang melengkung indah, membuat ia terpesona begitu lamanya. Si Cewek bukannya tidak tau dipandangi, ia hanya menunduk malu dan memainkan rumput dengan jari-jarinya yang kecil. Si Cowok ini tersadar dari lamunnanya dan lagi-lagi mengambil tangan si Cewek dengan lembut dan dipegangnya perlahan.
“kenapa sih kakak, kalau duduk suka banget pegang tangannku terus suka mainnin jari-jariku?”, tanya si Cewek dengan nafas yang masih sedikit terengah karena kecapaian tadi. Mendapat pertanyaan tiba-tiba ini, si Cowok terdiam namun senyum tak lepas dari bibirnya yang masih sangat bersih itu. “Entahlah, Aku pun nggak tau. Seperti naluri aja mungkin, aku rasanya ingin terus berdekatan dengan adikku ini.”, katanya dengan masih menatap kearah si Cewek sebelum ia terheran melihat bulan sudah tertutup mendung yang sangat tebal. “ah… beneran adik aja kakaku?”, suara Cewek kecil yang menggoda ini lagi-lagi mampu membuat Si Cowok tersenyum dan sangat ingin ia memeluk orang yang paling disayanginya ini.
Karena tidak mendapatkan jawaban dan ia melihat mata si Cowok ini terus menatap ke atas, si Cewek menatap ke atas dan ia terkejut karena suasana kini menjadi gelap sepenuhnya. Hanya sinar lampu minyak yang masih terlihat samar-samar dari dinding salah satu rumah yang hampir padam terhembus angin yang tiba-tiba berhembus lebih kencang ini.
“Ada apa ya kak, kok hatiku tiba-tiba nggak enak, aku pengen pulang kak… aku tiba-tiba pengen Kita lengkap kakak, ibu dan ayah”, tiba-tiba rengekan itu membuat si Cowok tersadar dan ia memeluk si Cewek ini mencoba untuk menenangkannya. “iya-iya, ayolah Kita pulang, tapi… tapi aku pengen banget mengungkapkan ini sebelum Kita jalan”, tiba-tiba perasaan si Cowok pun menjadi sangat ketakutan, ia mendapatkan firasat ia akan terpisah dengan Si Cewek dalam kegelapan yang semakin menggila ini. Cewek itu pun memeluk si Cowok dengan erat dan bertanya dengan suara yang masih ketakutan, “Bilang aja kak, aku pasti akan denger kakak dan aku akan turut apa yang kakak bilang.” “kalau… kalau Kita nanti terpisah, kamu akan tetap menjadi Anisaku kan, kamu akan tetap menjadi adik dan segala-galanya bagiku kan?”, suara yang mengharu dari Cowok membuat si Cewek semakin sedih dan merasa teramat takut. “Tentu kak, aku akan jadi apa pun untuk kakak, kakak akan tetap kakakku selama-lamanya, aku mau kakak, aku nggak akan mati sebelum kakak pergi dari dunia ini kak, aku ah…”
Tiba-tiba dengan suara terakhir yang sempat didengar oleh si Cowok, air bah yang luarbiasa cepat memisahkan Mereka berdua. Air yang entah dari mana datangnya menggulung tanpa ampun, membuat Mereka terpisah dan hilang ditelan ganasnya kekuatan alam tersebut. Perih dan amis yang dirasakan sebelum akhirnya si Cowok pingsan setelah ia mendengar gemuruh yang dahsyat itu menghantam gendang telinganya bertubi-tubi. FlashBack End
Air bah yang sangat dahsyat menghancurkan segala-galanya. Rumah-rumah dan segala isinya semalam saja lenyap tak berbekas diterjang kekuatan alam yang murka itu. Keesokan paginya, Raju tersadar dari pingsannya dan ia hampir menjerit merasakan sekujur tubuhnya sakit yang seolah ingin mencabut sukmanya sesegera mungkin. Airmatanya langsung menetes deras merasakan itu semua. Keadaannya memang sungguh mengenaskan, tubuhnya hampir telanjang, dengan goresan sana sini yang membaluri tubuhnya, dan yang terlihat paling parah bagian dadanya yang seperti hampir terbelah menampakkan tulang-tulangnya yang memar.
Sungguh dalam keadaan begini ia ingin mati saja menyusul kedua orangtuanya, ngeri ia membayangkan kejadian tadi malam yang sangat menyeramkan menerkamnya begitu tiba-tiba entah dari mana datangnya air itu. tanpa suara, mungkin karena ia sangat terharu mendengarkan Annisa… “ya… Annisa, Bagaimana dengannya, bagaimana dia bisa selamat, bukankah janjinya ia tak akan mati… ya… tak akan mati, pasti dia masih hidup, pasti dia masih menungguku dan ada di dalam dunia ini.” Teringat akan hal itu, Raju dengan sekuat tenaga ingin bangkit namun ia terjatuh dan ia pingsan kembali tanpa sanggup berbuat apa pun karena sakit yang tak tertahankan olehnya itu.
Saat ia tersadar, refleks tangannya ingin menutup matanya yang kesilauan terkena cahaya sinar matahari pagi namun tangan itu terjatuh lemas kembali di lantai. Karena masih terlalu merasa lemas, Raju hanya diam saja dan perlahan ingatan itu muncul kembali menghampirinya. Ingatan tentang Annisa, tentang air bah dan tentang rasa sakitnya. “Ya sakitnya, mengapa sakitnya sudah jauh berkurang, mengapa dan di mana aku ini?”, pertanyaan itu terjawab saat ia mendengar suara dayung menimpa air dan ia merasa tubuhnya bergoyang-goyang seperti “ahh!” “tolong-tolong… ada air bah, ada aiiiiir baaaaaah!”
Raju berusaha bangkit dan ingin berlari namun setengah jalan untuk berdiri, ia terjatuh dan kepalanya terantuk sudut papan perahu sehingga otomatis ia mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit itu. Sedangkan diujung lain perahu, tampak seorang tua tertawa-tawa melihat wajah Raju yang meringis-ringis menahan sakit di kepalanya itu.
“Kamu sudah sadar rupanya ngger?”, suara seorang tua yang lembut menyapanya membuat Raju mengerti bahwa orang tua ini yang telah menyelamatkannya dan mengobati luka-lukanya sehingga sembuh seperti ini. “Saya mendayung perahu ini hampir empat hari empat malam dan ini hari yang ke lima Kita berada di sini dan Alhamdullilah, Angger sudah sadar”, sambil berkata dan tersenyum, Orang tua ini menyiapkan makanan dan mendekati Raju Seperti ingin menyuapinya. “ah kek, Terima kasih banyak atas pertolongan kakek ini, Berarti sudah hampir selama itu Saya merepotkan Kakek”, Raju Berkata sambil ingin bangkit duduk kembali namun perlahan pundaknya dipegang oleh Orang tua tersebut dan Raju terbaring lemas kembali karena memang, hampir empat hari empat malam itu perutnya tidak terisi apa pun sambil menahan rasa sakitnya. “sudahlah, Kita manusia memang diciptakan Allah untuk saling tolong-menolong dalam hidup ini. Yang penting kamu sekarang makan, Biar tenagamu pulih dan kamu bisa kembali menolong dirimu sendiri dan mungkin suatu hari nanti, kamu akan mampu untuk menolong orang lain dari berbagai kesulitan seperti yang kamu alami sekarang ini.”
Raju terdiam dan hanya membuka mulutnya ketika Orang tua itu perlahan menyuapinya dengan bubur yang entah kapan dimasaknya. Hatinya membenarkan bahwa manusia hidup harus saling tolong-menolong dalam hidup. “Namun siapa Allah, Mengapa kakek ini menyebut dua kata-kata asing ini padanya?” “kakek?” “ya, ada yang ingin kamu tanyakan ngger?”, seperti bisa membaca raut wajah Raju yang penasaran, Orang tua itu menghentikan aktifitasnya menyuapi Raju dan menunggu pertanyaan yang mungkin akan diajukan remaja ini. “ehm… maaf kek, apa arti Alhamdullilah dan siapa Allah yang kakek sebut dia pencipta Kita?” Kakek ini mengangguk-angguk dan tersenyum menatap wajah remaja yang dari awal dikaguminya ini. Hatinya seperti yakin, Bahwa remaja ini kurang kasih sayang, namun baik hatinya yang terpancar dari tatapannya yang menyiratkan kepolosan dan kejujuran itu.
“Allah itu pencipta seluruh alam semesta dan Kita manusia. Bumi, langit, air, udara yang Kita hirup, matahari yang bersinar itu, juga seluruh bagian tubuh Kita dari yang kasar sampai yang halus itu semua kepunyaan Allah. Dan Alhamdulillah, kata-kata itu Kita ucapkan untuk mengucap syukur kepada Allah karena telah memberikan Kita nikmat apa pun itu bentuknya. “wah kek, apakah mungkin Saya bisa bertemu dengan beliau itu, bukankah Annisa yang mungkin mati ditelan bencana banjir itu bisa hidup kembali kek? maaf kek, ayolah pertemukan Saya dengan beliau, Saya ingin memohon agar Annisa hidup dan bersama-sama lagi denganku.”
lagi-lagi kakek ini tersenyum melihat kepolosan yang ditampilkan remaja ini. “Allah itu berada dalam diri Kita, jiwa Kita, hati Kita dan seluruh yang ada pada Kita sehingga lebih dekat dari pada urat leher Kita sendiri. Hanya kesadaran dan izin Allah sajalah yang mampu membuat Kita bisa merasakan, Bahwa Kita bukanlah apa-apa tanpa Allah, tidak bisa bergerak, berkehendak berbuat semaunya tanpa izinnya.”
Raju untuk sesaat lamanya terdiam merenungi kata-kata yang diuraikan perlahan oleh Orang tua di sampingnya ini. Perlahan kesadarannya muncul, Bahwa permintaannya tadi sia-sia, karena Memang Allah sudah menyatu pada dirinya, dan tidak ada apa pun yang terjadi tanpa kehendak Allah seperti uraian Kakek tersebut.
“jadi kek, Saya tidak boleh berharap Bahwa Annisa akan hidup, apakah…apakah dia mati ya kek?” Orang tua itu tersenyum dan perlahan mengusap rambut remaja ini yang ikal sebelum ia menjawab. “Tenangkanlah hatimu Ngger. Seperti yang kamu sadari, Bahwa tidak akan ada yang terjadi tanpa kehendak Allah. Kita boleh berharap akan sesuatu apa pun, Namun berharaplah kepada Allah bukan kepada yang diciptakannya. Annisamu itu akan hidup atau mati pun tidak lepas dari garis takdir yang sudah dijanjikan Allah kepadanya. Memohonlah, Berdo’alah pada Allah semoga apa pun yang terjadi, kalian akan dipertumukan di dunia ini jika ia masih hidup.”
Mendengar itu, hati Raju sedikit lebih tenang. Meski ia tetap bertekat, ketika ia sembuh, ia akan pergi mencari sampai ia temukan Annisanya kembali. Seperti dari kedalaman hatinya yakin, seperti keyakinannya akan berpisah hari kemarin, ia akan bertemu lagi dengan Annisanya itu entah kapan suatu hari nanti.
Cerpen Karangan: Raju Laini Facebook: facebook.com/raju.laini.7 Saya lahir di Aceh, Ibu saya keturunan india dan aceh, sedangkan ayah Saya asli keturunan jawa. Saya baru belajar menulis, ide yang muncul pun masih spontanitas saja, masih harus banyak belajar dalam tulis menulis.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com