Pada sore itu, langit tak secerah seperti biasanya. Sang mentari menyembunyikan dirinya di balik awan kelabu. Pohon-pohon bersenandung riang di tempatnya. Rerumputan bergelayut dari sana ke sini mengikuti irama angin. Bunga-bunga tersenyum manis seraya melambaikan tangannya. Sekumpulan burung-burung sedang bernyanyi di sangkarnya. Di taman ini, gadis itu terduduk sambil merenungkan segala perbuatannya.
“Salahku apa, Ma? Apa aku gak pantas hidup di dunia inikah?” tanya Ilona pada dirinya sendiri. “Kenapa harus aku yang selalu disalahkan? Kenapa harus aku, Ma?” sambung Ilona sambil memukuli kepalanya. Dia gak peduli jika badannya dipukuli beberapa kali olehnya. Salah satu cara menghilangkan kesedihan, dan kelelaannya.
Emma Ilona Williams. Seorang gadis berusia lima belas tahun, yang akrab dipanggil Ilona. Di usianya yang masih muda, Ilona harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga prioritas utamanya sebagai pelajar terlupakan begitu saja. Berbeda dengan saudara kembarnya yakni, Emmy Ilana Williams. Kehidupan Ilana dipenuhi oleh kemewahan. Semua fasilitas Ilana selalu terpenuhi berkat orang tuanya.
“Aku benci sama ini semua!” teriak Ilona sekencang-kencangnya. Ilona menumpahkan emosinya melalui teriakan itu.
Ilona mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu mencari-cari lowongan pekerjaan. “Ya Tuhan, semoga aku bisa menemukan lowongan pekerjaan. Ini cuma satu-satunya cara, agar aku dapat melanjutkan kehidupan.” Ilona mengembuskan napas panjang. Dia berharap bisa menemukan lowongan pekerjaan.
Sayangnya, Tuhan belum mengizinkan Ilona untuk bekerja kembali. Lagi, lagi, dan lagi Ilona menyalahkan dirinya sendiri, ketimbang menyalahkan saudara kembarnya—yang sudah menyebabkan kekacauan tadi siang. Andaikan saja, saudara kembarnya tak ikut campur, semua permasalahan tadi siang dapat terselesaikan dengan pikiran, dan kedua tangannya.
“Aku harus apa?” tanya Ilona mengercit heran. Dia tampak kehilangan arah, sejak dipecat oleh pihak perusahaan.
Seiring berjalannya waktu. Hari makin sore. Sang mentari melambaikan tangan perpisahan kepada penghuni bumi. Kini, sang rembulan beranjak bangun, lalu menyapa penghuni bumi dengan senyuman hangatnya. Muncullah, beberapa kunang-kunang sedang beterbangan di hadapannya. Terdengar alunan-alunan lagu dari burung hantu itu.
“Sudah malam saja. Aku harus balik. Sebelum semuanya bertambah runyam.” Ilona melenggang pergi sambil menggendong ransel sekolahnya.
Sesampai di rumah, Ilona terdiam membeku di depan pintu. Bukannya disambut oleh penghuni rumah, melainkan mendapatkan tatapan sinis dari kedua orangtuanya dan Ilana terkecuali, saudara-saudaranya yang lain. Mereka memandang Ilona teduh dan sangat hangat. Karena selama ini yang selalu mendukung gadis itu ialah, saudara-saudaranya.
Kedua orangtuanya menghampiri Ilona. “Hebat banget kamu, ya. Pulang baru jam segini. Mau jadi apa kamu?” tanya mamanya penuh penekanan. Mamanya tak sudi memiliki putri yang suka pulang malam-malam. Ilona menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jarinya. Ilona enggan menjawab pertanyaan mamanya sedikit pun. Tanpa diberi tahu juga, seharusnya mama dan papanya tahu. Kehidupan Ilona berbanding terbalik dengan saudara-saudaranya yang lain. Ilona harus bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi, sedangkan saudara-saudaranya seluruh fasilitas terpenuhi.
“Gak sopan banget kamu! Jawab!” tegas papanya sambil mencubit lengan atas Ilona. Ilona tetap diam. “Ma, Pa, mungkin Ilona tuli dan bisu kali,” ujar Ilana memancing emosi. Saudara-saudaranya yang lain menatap tajam ke arah Ilana. “Ilana jaga ucapan kamu, ya!” tegas Dean—sebagai kakak pertama. “Nyata, ‘kan, Kak?” tanya Ilona. “Terserah kamu!” bentak Dean seraya melipat kedua tangannya.
Mamanya memukul punggung Ilona secara kencang, dan keras. Saudara-saudara yang lainnya terdiam sambil menutup mulutnya, sedangkan Ilana tersenyum miring—tanpa belas kasihan sedikit pun. Di samping itu, Ilona tetap terdiam, walaupun hatinya berkata lain. Ilona mau menangis, tetapi tangisannya selalu tertahan agar tak dianggap lemah oleh kedua orang tuanya.
“Sekarang juga, kamu pergi dari rumah ini!” usir papanya, seraya melempar ransel berisi pakaian-pakaian Ilona. Ilona menegakkan kepalanya, lalu menangkap ransel itu. “Baik, Pa, Ma. Aku akan pergi dari rumah ini. Terima kasih sudah mengurus aku dari kecil sampai dewasa. Aku pamit, ya,” pamit Ilona.
—
Sudah beberapa hari ini, Ilona beristirahat di bawah kolong jembatan. Di sana, Ilona belajar banyak hal tentang dunia ini. Ternyata, kehidupan Ilona jauh lebih baik, dibandingkan anak-anak yang tinggal di kolong jembatan ini. Mereka harus kehilangan masa kecilnya, pendidikan, dan semacamnya demi mengamen di pinggir-pinggir jalanan.
“Ya Tuhan, mereka aja bisa bersyukur. Kenapa aku sulit? Astagfirullah,” ucap Ilona sambil mengelus dadanya. “Mulai sekarang aku harus bersyukur.” Gigih Ilona pada tekadnya.
Ilona menatap langit-langit biru, sambil berharap kepada Tuhan agar memudahkan dirinya untuk mencari lowongan pekerjaan. Ilona berdiri, lalu mempersiapkan dirinya, untuk mencari lowongan pekerjaan. Namun, belum beberapa langkah, pernapasannya mulai tak teratur. Seketika tubuhnya melemah, dan tak kuasa menopang seluruh rasa sakit ini. “Ya Tuhan, semoga jantungku tak lemah di saat seperti ini,” harap Ilona.
Ilona berpikir matang-matang. “Aku benci sama diriku sendiri. Pantes aja, Mama sama Papa membenciku. Aku pantas dibenci, kok.” Ilona memukuli kepalanya.
Ilona menengadah ke langit dengan mata berkaca-kaca. Lalu, tak lama dari itu air matanya tumpah, membasahi seluruh permukaan pipinya. Ilona kembali menyalahkan dirinya sendiri. Kedua tangannya bergerak memukuli kepala secara kencang dan keras. Hatinya bagaikan dihujani ribuan jarum. Pikirannya kacau balau.
“Aku gak boleh begini. Aku harus bangkit. Aku harus bisa buktikan ke Mama dan Papa, kalo aku bisa hidup mandiri dan sukses,” kata Ilona gigih. “Ayo yang semangat, Ilona.” Ilona mengepalkan salah satu tangannya.
Ilona menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan napas secara perlahan-lahan. Ilona melangkahkan kakinya menuju gubuk paling pojok dengan tatapan kosong. Di sanalah, tempat Ilona tinggal dan berteduh. Tempat yang cukup kecil, tetapi dapat menampung dirinya untuk berteduh sementara waktu dari sinar matahari dan hujan.
Ilona berhenti melangkah, kemudian sorotan matanya tertuju ke arah kertas tersebut. Tangan kanannya bergerak, lalu mengambil kertas tersebut. Sekujur tubuhnya bergidik kaget. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ini nyata? Gadis tersebut berteriak sekencang-kencangnya sambil melompat-lompat. Gadis itu terlanjur bahagia melihat isi kertas yang di genggamannya.
“Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan lowongan pekerjaan. Semoga ini jalan Tuhan yang diberikan ke aku.”
Kegembiraan itu tiba-tiba sirna secepat kilat, setelah melihat alamat di kertas tersebut. Ilona berpikir keras, dan matang-matang tentang lowongan pekerjaan ini. Jika, Ilona tak mendaftarkan dirinya, bagaimana dengan nasib ke depannya. Namun, saat ini gadis itu tak punya uang sepersen pun. Apa yang harus dilakukan gadis tersebut, agar semuanya dapat jalan sesuai perkiraannya?
“Apa aku jual ponselnya aja, ya? Cuma itu, cara satu-satunya.” Tanpa berpikir panjang lagi, Ilona akan menjual ponselnya demi pekerjaan ini.
—
Tujuh tahun kemudian … Pagi hari itu, di Kota Bandung. Cuaca sedikit redup. Sinar matahari tertutup oleh awan. Burung-burung tak menampakkan dirinya. Semilir angin berembus kencang dari arah selatan. Hawa dingin semakin tak terelakkan sedikit pun. Sisa-sisa air hujan masih terlihat jelas di jalanan, dan lingkungan sekitar. Bunga-bunga masih tertidur pulas di balik kelopaknya.
Ilona memerhatikan benda yang melingkar di pergelangan. “Semoga gak macet,” ucap Ilona. Ilona takut, bila kondisi jalan raya macet merayap.
Pikirannya mulai memanas. Dari raut wajahnya dipenuhi kepanikan, dan kecemasan. Ya, sesuai dijadwalkan pada hari ini, Ilona ada pertemuan dengan klien yang berasal dari luar kota. Ilona tak mau kehilangan kesempatan emas ini. Karena perusahaannya sedang membutuhkan investor yang dapat memajukan bisnisnya.
Sejak Ilona mendapatkan lowongan pekerjaan, di situlah Ilona mulai memperdalam dunia bisnis dan ilmu kewirausahaan. Karena cita-citanya sejak dari dulu, mau menjadi pengusaha yang sukses dan dapat berguna untuk masyarakat atau keluarganya. Ya, tentu saja, inilah hasil jerih payah Ilona selama ini. Gadis itu selalu yakin, apa yang dimimpikan dapat terwujud melalui usaha dan kerja keras yang ekstra.
“Ya Tuhan, jangan sampai macet.” Ilona menggigit bibir bawahnya. Dahinya mulai dipenuhi keringat.
Beberapa saat kemudian, Ilona turun dari mobilnya secara tergesa-gesa. Saking tergesa-gesa, Ilona menabrak seorang pria berbadan kekar, dan tinggi. Gadis itu menyatukan kedua tangannya, lalu mengatakan ‘minta maaf’ secara berulang kali pada pria tersebut. Pria tersebut tersenyum manis—tanpa adanya reaksi tak suka dari pria tersebut.
“Lain kali, hati-hati, ya,” ujar pria itu. Ilona mengangguk kecil. “Oh, iya. Perkenalkan saya, Denta.” Pria itu mengulurkan tangannya. Ilona tertegun. “Ah-iya, saya Ilona.” Ilona mengembangkan senyuman manis.
Pria itu membulatkan kedua bola matanya, setelah mendengar nama ‘Ilona’, yang baru saja keluar dari mulut gadis di hadapannya. Pria itu tak menyangka, akan memiliki rekan bisnis seperti, gadis di hadapannya. Ya, tentu saja, tanpa berpikir lama-lama, dia sangat senang dapat bekerja sama dengan gadis di hadapannya.
“Saya harus masuk dulu, ya. Saya minta maaf sekali lagi.” Belum kakinya sempat melangkah, tangannya ditarik oleh pria itu.
Cerpen Karangan: Dea Salsabilla Putri Hai semuanya. Perkenalkan aku Dea Salsabilla Putri. Biasa akrab dipanggil Dea oleh orang-orang di sekitarku. Usia aku masih cukup muda. Aku seorang penulis pemula. Hobi aku menulis dan menggambar. Aku sudah menerbitkan beberapa karya di buku antologi. Bukan itu saja, aku juga sudah menerbitkan beberapa novel. Jangan lupa berkunjung ke akun wattpad aku @apllelicych. Salam kenal, ya.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com