Denta Nabiyuh Arkan. Seorang pria berbadan kekar dan tinggi, yang akrab dipanggil Denta. Denta memiliki sifat mudah berbaur dengan orang lain, suka membantu orang, dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan. Di usianya yang masih kecil hingga dewasa, pria itu berhasil meraih kesuksesan yang tak terduga berkat usahanya. Maka dari itu, di antara kaum hawa yang pernah ketemu dengan Denta, mereka menyukai Denta dari sifat-sifatnya.
“Ada apa lagi, ya?” tanya Ilona kikuk. Ilona menaikkan dan menurunkan kedua alisnya secara bersamaan. “Apakah benar, Anda yang namanya Ilona, pemilik perusahaan ini?” tanya Denta balik. Ilona mengerutkan keningnya. “Dari mana Anda tahu?” Ilona tampak bingung. Sepengetahuannya, Ilona menutup rapat-rapat identitasnya sebagai pemilik perusahaan. “Saya adalah Denta, klien yang ingin bertemu dengan Anda,” jawab Denta jujur. Ilona terdiam membisu. “Apakah saya telat?” tanya Denta dengan suara berat. “Tidak. Saya yang telat.” Denta tersenyum tipis, sedangkan Ilona tersipu malu. Andaikan saja, Ilona tak mengakui hal tersebut, kemungkinan besar gadis itu tak akan malu seperti ini. Sayangnya, semuanya sudah terlanjur.
Ya, Ilona memiliki sifat yang jujur, polos, lugu, bijaksana, dan dermawan. Buktinya, di saat ditanya hal ini saja, Ilona tak dapat berbohong sedikit pun di hadapan pria tersebut. Karena jika seseorang sudah berbohong, akan memicu perasaan tidak enak di dasar hati. Ditambah lagi, akan terus-menerus ke pikiran di dalam benaknya.
“Kalo begitu, silakan masuk, Pak.” Ilona membungkuk tubuhnya sebagai bentuk penghormatan. “Tidak usah menunduk segala, saya tidak suka,” keluh Denta. “Jangan panggil saya, Pak. Saya masih muda,” tambah Denta.
Lagi, lagi, dan lagi Ilona dibuat malu oleh Denta. Ilona membuang wajahnya jauh-jauh. Tiba-tiba pipinya memerah seperti, kepiting rebus—begitu juga dengan perasaannya. Perasaannya tak dapat diungkapkan sedikit pun. Intinya, hati dan jantungnya sedang berdebar tak karuan sekarang ini. Rasanya, dia tak pernah sebahagia ini—di saat berjumpa pria pada umumnya.
—
Sore hari ini, Denta dan Ilona sedang jalan bersama-sama. Mereka mau mencoba aneka macam makanan di Kota Bandung ini. Karena Kota Bandung terkenal akan makanan-makanan yang enak, dan murah. Di samping itu, betapa mesranya kedua insan tersebut, jika dilihat-lihat. Padahal, mereka baru berkenalan selama sebulan lebih, tetapi rasanya begitu berbeda—seakan-akan mereka berdua sudah berkenalan sejak lama. Apakah ini yang namanya jodoh?
“Mau ma-kan apa?” Ilona kelihatan kaku. Tatapan Ilona sendu dan teduh. “Apa, ya? Menurut, Anda?” Denta tampak bingung melihat seluruh makanan di sekelilingnya. “Terserah, aja, sih.” Ilona ikut bingung, mau makan apa. Jika dilihat dari penampilannya dan baunya, tampaknya kelihatan enak semua. Sayangnya, Ilona sedang menghemat uangnya, supaya dapat ditabung—untuk bekal masa depan.
Satu jam lamanya, mereka berdua sedang berdiskusi—memutuskan makanan apa, yang mau mereka coba—sepanjang jalan di kota ini. Tanpa berpikir panjang lagi, Denta memutuskan untuk mencicipi seluruh makanan sepanjang jalan di kota ini. Setelah, mendengar ucapan Denta, Ilona terdiam di tempatnya dengan raut wajah yang datar. Pikirannya berakar ke mana-mana.
Padahal, aku mau irit. Tapi, gak apa-apa kali, ya, batin Ilona. Ilona mengangguk mengiakan.
Belum beberapa detik, setelah menganggukkan kepalanya, sekujur tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan. Beruntungnya, Denta selalu berada di samping Ilona. Dengan sigap, tanpa banyak mengeluarkan kata-kata, Denta memapah Ilona ke dalam mobilnya. Pria itu berniat membawa Ilona ke rumah sakit, agar gadis itu mendapatkan perawatan dari rumah sakit.
“Kenapa, Anda mau bantu saya?” Ilona mencengkeram dadanya. “Bukankah, setiap manusia diperuntukkan untuk saling tolong menolong.” Denta memerhatikan Ilona dalam-dalam. “Terima kasih, sudah mau membantu saya.” Ilona tersenyum tipis nan manis, sedangkan Dean terpesona dengan senyuman itu.
Di lain tempat, terjadilah keributan yang hebat. Mereka semua saling melontarkan argumen atas masa lalu itu, terutama Dean. Sejak awal, Dean tak menyukai sikap Ilana dan kedua orangtuanya. Maka hal tersebut, amarah pria itu sudah memuncak. Karena selama ini, pria itu selalu bersabar, dan mengalah di depan semua orang.
“Maaf, ya, Ma, Pa, Ilana. Aku selama ini sabar banget, loh,” kesal Dean. “Aku diam, bukan berarti Mama, Papa, Ilana bisa seenaknya ngomong kayak gitu,” ungkap Dean dari dasar hatinya. Dean menatap tajam ke arah Ilana. “Aku tahu, Ilona penyakitan. Apa pantas Ilona diperlakukan kayak gini!” Dean menekan setiap kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. “Aku balik posisinya sekarang. Misalnya, Mama, Papa, Ilana penyakitan. Apa mau diperlakukan kayak gini!” timpal Dean makin menjadi-jadi.
Mamanya diam mematung, setelah mendengar lontaran kalimat tersebut. Dari sorotan matanya terdapat air mata yang mau jatuh. Secepat kilat, mamanya pergi dari rumah, dan mencari-cari putri ketiganya. Mengapa? Karena mata hati mamanya tergerak. Oleh karena itu, mau bagaimanapun juga, Ilona tetap putrinya. Wanita paruh baya tersebut, tak dapat melepas kenyataan sesungguhnya.
—
Hari semakin larut. Bulan purnama mulai bertengger di cakrawala. Burung hantu terlihat sedang duduk di batang pohon sambil menyanyikan lagu tidur. Keadaan kota ini tampak sepi, dan sunyi. Hawa dingin menambah kesan dingin, dan mencengkeram. Arus lalu lintas tak seramai biasanya. Beberapa kendaraan bermotor dapat melaju kencang. Toko-toko di pinggir jalan hampir semuanya tertutup.
Ilona tersenyum-senyum sendiri. “Kamu itu lucu, Denta.” Ilona mengingat selintas kejadian beberapa bulan ini. “Apakah, aku beneran jatuh cinta ke kamu.” Ilona menyingkirkan pikiran tersebut.
Ilona memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Lalu, Ilona tertawa lepas bila mengingat seluruh memori tersebut. Rasanya aneh, tetapi nyata jika dilihat-lihat dari sudut pandang mana pun. Mereka bertemu, di depan perusahaannya karena kerja sama dalam bisnis. Namun, lama-kelamaan benih-benih cinta itu pun muncul dengan sendirinya. Entah datang dari mana benih-benih cinta tersebut.
“Akh … semenjak aku mengenalmu, aku jadi gila, Denta.”
Ilona gemas dengan sikap, dan sifat Denta yang sulit ditebak olehnya. Lagi, lagi, dan lagi Ilona menyingkirkan perasaan sukanya. Sayangnya, hatinya tak menyukai hal tersebut. Entah apa yang terjadi, semakin Ilona mengelak dari perasaannya, maka perasaannya dapat menghancurkan seluruh jiwa dan raga. Mata Ilona menyipit. “Itu bukannya, Mama. Apa jangan-jangan! Enggak, mungkin.” Ilona turun dari mobil, kemudian menghampiri wanita paruh baya itu.
Wanita paruh baya itu menangis tersedu-sedu sambil mengucek wajahnya. Seluruh pikirannya mulai melayang-layang. Hatinya ikut rapuh, apabila mengingat hal-hal yang sudah terjadi di masa lalunya. Apakah wanita paruh baya itu dapat dimaafkan oleh putrinya? Apakah dia dapat diterima kembal oleh putrinya? Ataukah sebaliknya?
“Mama kangen sama kamu.” Tangisan itu pecah.
Ilona berdiri di depan mamanya, lalu duduk di samping mamanya. Ilona mengeluarkan sapu tangan miliknya, dan menyodorkan sapu tangan itu ke mamanya. Wanita paruh baya itu sedikit kaget, ada yang menyodorkan sapu tangan kepadanya. Seketika tangisannya berhenti sesaat melihat gadis di sampingnya. Wanita paruh baya itu memeluk Ilona erat. “Mama kangen sama kamu. Kamu ke mana, aja, sih?” “Aku gak ke mana-mana, kok, Ma. Aku tetap di sini, ‘kan.” Ilona membalas pelukan mamanya dengan memeluk mamanya erat. “Tapi, kamu mau ‘kan tinggal sama mama lagi?” tawar wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukannya, begitu sebaliknya. Ilona menggenggam tangan mamanya, dan menatap manik mata mamanya dengan sendu dan lembut. Dari raut wajahnya, dia menolak permintaan mamanya secara halus, dan lembut. Mengapa? Karena dia sudah bahagia tinggal di kota ini. Kota yang mempertemukannya dengan sosok pria baik hati, penghibur, dan tulus kepadanya.
Wanita paruh baya itu mengencangkan tangisannya. “Kenapa? Apa kamu masih marah sama mama?” lirih wanita paruh baya itu. Ilona menggelengkan kepalanya. “Ma, aku gak marah, kok. Cuma, ya, aku bahagia tinggal di sini.” Ilona makin tak enak dengan ucapannya itu. Ilona merasa bersalah atas ucapannya. “Yang berarti, kamu masih marah sama mama.”
Wanita paruh baya itu memukuli kepalanya berulang kali, sedangkan Ilona terkejut. Ilona mendekap mamanya, dan mengelus-elus punggung belakangnya. Ilona tak bermaksud seperti ini. Sejujurnya, dia sayang dengan mamanya. Namun, dia tak dapat pergi dari kota ini. Kota ini menyimpan banyak hal, tentang kisah cintanya, dan susahnya membangun sebuah karier.
Ilona tak tega dengan mamanya. “Kalo Mama mau aku pulang. Aku ikut, kok, Ma. Yang penting, Mama bisa bahagia.” Ilona mengelus-elus punggung belakang mamanya kembali. “Ini beneran, ‘kan?” Wanita paruh baya itu tercengang mendengar perkataan anaknya. “Iya.” Semburat senyuman muncul di bibirnya.
—
Pagi itu, sang cakrawala sedang cerah. Matahari menampakkan sinarnya hingga menebus ke celah-celah jendela. Namun, sudah beberapa hari ini, raut wajah Ilona tak bahagia sedikit pun. Ilona merindukan Denta—orang yang selalu ada di sampingnya, dan selalu menghiburnya. Andaikan, dia masih tinggal di kota Bandung, mungkin ini semuanya tak akan terjadi.
“Andai, aku masih di Kota Bandung. Semuanya tak akan seperti ini.” Terdengar suara embusan napas jengah. dari mulut Ilona.
Beberapa saat kemudian, Ilona keluar dari kamarnya dengan rasa malas yang tinggi. Seketika kedua bola matanya melebar melihat sosok pria yang sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. Gadis itu menutup mulutnya. Lalu, langkah kakinya berjalan mundur. Apakah ini sebuah mimpi?
“Itu Ilona nya,” ucap papanya sambil menunjuk.
Denta mengalihkan pandangannya, ke arah wajah Ilona. Dia tersenyum manis, sesudah melihat kecantikan Ilona yang tak pernah berubah. Satu kata untuk Ilona yaitu, sederhana dan natural. “Ilona kemari, ada yang cari kamu.” Ilona mengangguk patuh dan turut. Ilona melabuhkan kakinya, dan menuruni anak tangga.
Sesampainya, Denta menyambut Ilona dengan suka cita, sedangkan Ilona tersenyum manis melihat Denta datang ke sini. Mereka berdua saling tatap menatap satu sama lain, demi melepas kerinduan. Apakah ini rencana Tuhan kepadanya? Apakah ini takdir cinta dari Tuhan kepada mereka.
Denta menggenggam tangan Ilona. “Maaf, bila saya gimana-gimana. Jujur saja, di saat Anda pergi, saya seperti kehilangan arah,” jelas Denta menghentikan pembicaraannya sejenak. “Maka dari itu, saya datang ke sini ingin melamar kamu.”
Ilona membulatkan kedua bola matanya. “Apa kamu mau menjadi istri saya?” Ilona memutar kedua bola matanya. Seketika detak jantungnya berdebar tak karuan. Hatinya melayang-layang ke langit tujuh. Tanpa basa-basi, Ilona mengangguk mengiakan. Seketika suasana rumah itu senang, setelah mendengar Ilona mengatakan hal tersebut. Ilona dapat bahagia dengan pria yang selalu diharapkannya.
—
Hampir empat bulan, Ilona dan Denta tinggal di Kota Jakarta. Saat ini, mereka berdua sedang mengenang momen, di mana mereka saling bertemu di Kota Bandung. Rasanya itu romantis dan mesra sekali. Ada kalanya, mereka merindukan Kota Bandung. Sayangnya, jadwal pekerjaan mereka tak terbendung sedikit pun.
“Aku jadi rindu kota Bandung, Sayang. Di mana kisah tentang kita terukir di sana.” Denta mencubit pipi tirus Ilona. “Bisa, aja. Aku juga rindu, sih. Tapi, ya, mau bagaimana lagi, kita sedang sibuk.” Ilona mengangguk paham. “Kalo, jadwal kita sedang tidak sibuk. Aku janji, kita akan ke Kota Bandung lagi.”
Mata Ilona berbinar-binar setelah mendengar penuturan Denta. Ilona langsung memberikan kecupan kepada Denta karena senang. Begitu juga dengan Denta. Denta bahagia, bila melihat istrinya juga bahagia.
THE END
Cerpen Karangan: Dea Salsabilla Putri Hai semuanya. Perkenalkan aku Dea Salsabilla Putri. Biasa akrab dipanggil Dea oleh orang-orang di sekitarku. Usia aku masih cukup muda. Aku seorang penulis pemula. Hobi aku menulis dan menggambar. Aku sudah menerbitkan beberapa karya di buku antologi. Bukan itu saja, aku juga sudah menerbitkan beberapa novel. Jangan lupa berkunjung ke akun wattpad aku @apllelicych. Salam kenal, ya.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com