Aku jatuh cinta.
Aku kenal dia di taman besar dalam rumah besar milik Nikka, seseorang yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Namun mata itu, hidung itu, wajah itu. Sesuatu yang membuatku entah bagaimana. Aku sebenarnya tak ingin tahu bagaimana rasanya patah hati. Namun, sudah terlanjur. Sudah terlalu kuyup.
Semua ini salah Nikka, sehingga untuk mencintai dia yang aku cintai, aku tak mungkin. Aku selalu memaksa menegaskan pada diriku bahwa tak masalah tidak memilikinya hari ini. Mungkin suatu saat. Mungkin. Tapi tidak, mata itu, hidung itu, wajah itu. Wajah yang tetap indah kala ia bahagia, sedih, gembira, dan kecewa. Tapi tidak, bagaimanap pun ia adalah daerah terlarang. Tapi tidak, kalau ia tak dapat kumiliki, mungkin lebih baik aku mati. Tapi tidak, mata itu, hidung itu, wajah itu..
Cinta yang teraniaya.
Semakin hari aku semakin menggilainya. Aku putuskan untuk bertanya namanya pada Nikka. Entah mengapa, Nikka tak pernah mengenalkannya padaku. Mungkin ia enggan. Nikka menatapku aneh, ia kira aku berseloroh. Aku melihat takut sekaligus kejut dari matanya. Dan ia mencari kesungguhan di mataku. Sepertinya aku salah langkah, aku tak mungkin merebut ia dari Nikka. Aku baru saja menelanjangi kebodohanku. Berani sekali aku menanyakannya pada Nikka. Meski hanya nama. Cinta kadang tidak seru untuk diceritakan.
Aku jumpa ia lagi di taman besar dalam rumah besar Nikka. Keindahannya tak pernah menguap. Dan ia seperti biasa, berdiri dengan angkuh di situ. Tak kulihat Nikka. Nikka pasti ada di dalam.
Aku mencoba mendekatinya, pujaanku. Tidak, mata itu, hidung itu, wajah itu. Begitu indah bagiku. Aku bagai pungguk merindukan bulan. Dia bulan, aku pungguk. Mungkin ia telah memasukkan es ke hatiku untuk membekukannya hingga hatiku hanya untukku. Tidak, mata itu, hidung itu, wajah itu.. Dia tetap saja kaku. Mungkin ia tak menganggapku ada. Baginya hanya Nikka. Sepertinya. Baginya. Aku hampir saja menyapanya, namun Nikka memanggilku masuk. Panggilannya seperti peringatan bahwa dua sahabat berlomba mengejar satu cinta adalah alamat haram. Tak mungkin ada yang menang. Semua hancur. Cinta yang kejam.
Aku tak mampu menahan lagi rasa ini. Mata itu, hidung itu, wajah itu. Semuanya menambah beban. Aku mengejarnya tanpa ampun. Dan tanpa sepengetahuan Nikka. Namun setelah kulakukan itu, aku rasa aku tetap tak mampu. Ada Nikka atau tidak, dia bukan untukku. Mendapatkannya adalah bagai mencari selatan di utara.
Aku tak mendengar suaraku saat berbicara dengan Nikka. Saat mengakui bahwa aku menginginkan miliknya. Mungkin aku memang naif, tapi aku tak mampu menanggung ini sendiri. Nikka menangis. Ia kecewa padaku. Namun entah mengapa, ia memelukku.
Aku kembali memandang pujaanku yang tetap kaku. Tak terasa sudah dua jam aku memandangnya. Tanpa kata. Hanya makna. “Kau mencintainya?” tanya Nikka di sela-sela tangis. Ia pasti tak rela miliknya kumiliki. Tak mengerti mengapa, aku terkekeh.
Nikka membiarkanku mendekati miliknya. Ia menangis keras. Aku tak peduli pada Nikka. Aku menyapa dia yang kucintai. Namun ia masih tetap kaku. Mata itu, hidung itu, wajah itu. Wajah yang tetap indah kala ia bahagia, sedih, gembira, dan kecewa.
Nikka datang mengagetkanku. Ia bergabung bersamaku dan miliknya yang kucintai. Tetap di sini, di taman besar dalam rumah besar Nikka. “Kau..!” Nikka tak mampu memilih kata. Aku tertawa sekeras mungkin namun mataku mempertontonkan kekejaman, marah, dan merah. Di belakang Nikka ada ibuku dan beberapa petugas rumah sakit. Aku tahu petugas itu ingin membawaku pergi lagi. Dikurung di rumah sakit yang kubenci. Memisahkanku dari dia yang kucinta. Tangis ibuku dan Nikka memuncak. Apa yang salah? Aku hanya ingin bersama pujaanku. Namun petugas rumah sakit semakin bergerak mendekatiku.
Aku menatap syahdu patung itu, patung lelaki di taman rumah Nikka. Patung lelaki yang kucintai mati-matian. Aku mengagumi matanya, hidungnya, wajahnya. Semuanya. “Bagaimana mungkin kau jatuh cinta pada sebuah patung?” Apa yang salah? Aku menggilai patung lebih dari manusia-manusia yang hanya bisa menyakiti. Mereka kadang marah dicintai. Namun patung pasrah dicintai. Aku mencintai patung itu.
Sebelum petugas menyeretku ke rumah sakit, aku melempari dia yang kucinta dengan apa saja. Aku marah mengapa ia tak menahanku agar petugas tak membawaku lagi ke rumah sakit jiwa. Aku melempari matanya, hidungnya, wajahnya, sampai hancur seluruh badan. Tidak. Kini mata itu, hidung itu, wajah itu. Telah tidak ada lagi.
Kata Nikka, dia hanya patung. Patung adalah benda mati yang tak dapat bergerak dan tak mungkin dicintai selayaknya hawa mencintai pria. Serpihan mata itu, hidung itu, wajah itu, berserakan di taman. Begitu indah. Petugas menarik lenganku, memasukkanku ke mobil putihnya.
Aku jatuh cinta.
Cerpen Karangan: Garini Citra Dewati
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com