Hari Kesembilan setelah menghilangnya darimu.
Tadi malam hujan turun begitu lebat diiringi dengan kerinduan tentangmu, Arlan. Masih kucoba untuk tidak mengingatmu, tapi mustahil.
Pagi cerah, nammun tak secerah senyumku. Mencoba tersenyum kepada semesta dan berkata baik baik saja kepada dunia.
Hari ini weekend, aku akan pergi ke Cafe langgananku. Menikmati secangkir vanila favoritku. Dan saat aku keluar rumah, perumahan sudah ramai anak kecil berangkat sekolah. Mereka saling beradu argumen di atas sepeda membuatku tertawa kecil.
Membutuhkan jalan kaki untuk ke tempat halte bus. Tak jauh, depan perempatan pasti sudah ramai bus yang lewat. AKu berjalan santai, hingga tak sengaja wanita paruh baya menabrak bahuku. Kenapa sejak kemarin seseorang selalu menabrakku?
“Aduhhh, maaf ya,” ujar ibu itu sambil menata belanjanya yang jatuh. Saat aku ingin menolongnya, aku melihat wajah itu. “Loh, Nadia,” kejutnya. “Mau kemana? Udah lama gak ke rumah?” Ya, itu Mama Arlan. Entah, semesta seolah sedang mempermainkanku. Kenapa disaat aku menghindari tentang lelaki hilang itu, sekitar selalu tau cara mengingatkannya.
“Iya, Ma. Lagi sibuk buat tugas.” “Tumbenan loh, akhir akhir ini gak bareng Arlan.” Mama Arlan menyentuh lenganku. “Arlan lagi gak mau diganggu, Ma.” Aku mencoba tersenyum. “Ikut Mama ke rumah yuk? Lagi gak sibu kan?” Rasanya tak enak hati menolaknya. “Ayo, Ma.”
Aku tak jadi ke Cafe, tetapi sekarang akku berada di dalam rumah bercat pink. Itu semua kemauan Arlan untuk mengecat rumahnya berwarna pink, walaupun harus berdebat dahulu dengan Abang Abangnya.
“Arlan di rumah, Ma?” Mama Arlan Menggeleng. “Arlan ijin ke Mama buat nginep di rumah temennya, katanya.” Aku ber’oh ria. Lalu membantu pekerjaan Mama Arlan yang sudah aku angggap sebagai Ibuku.
Selang beberapa jam berkutik di dapur. Suara klakson motor membuyarkan kegiatan kedua wanita tersebut. “Itu Arlan.” Aku tergagap. “Emmm, Ma aku ijin pulang ya udah siang, mau bobo,” cengirku. “Eh eh, sebelum pulang makan dulu dong.” Lagi lagi tak bisa menolak. Tetapi, aku belum siap bertemu Arlan. Hatiku masih gundah tentangnnya.
“Arlan makan dulu, ada Nadia nih!” Dalam hitungan detik, Arlan muncul. Ia langsung duduk bersebrangan denganku. Aku melihat senyum itu. Senyum yang aku rindukan. “Siang, Nad,” sapanya seperti biasa. Aku membalas dengan dehaman. “Makan dulu, habis itu pulang, Ya’.” “Iya, Ma.”
Kami berdua makan dengan ketenangan. Tak ada obrolan asik. Aku juga enggan memulai. “Apa kabar, Nad?” “Baik,” jawabku lirih. “Lebih baik.” Aku tak berani menatapnya. Pandanganku terus menunduk.
“Aku ijin pulang dulu.” Aku tak tahan. Makanan lezat Mama Arlan terasa hambar. Aku tak menikmati itu. “Ma, aku pulang.” “Iya hati hati, Sayang.”
Hampir saja pintu terbuka, suara berat membuatku berhenti. “Gue antar ya?” “Gak usah lagian deket.” “Mau hujan, Nad.” Tanpa menjawab aku langsung keluar dari rumah itu. Emang, di luar mendung. Awan sangat hitam dan angin begitu kencang. Seperempat jalan, hujan turun tiba tiba. Langsung membasahi tubuhku.
“Gapapa hujan, gue pengen nangis.”
Aku berjalan perlahan, membiarkan seluruh pakaianku basah kuyup. Aku menangis dalam diam. Tak menghiraukan mataku yang pedih karena terkena air.
Saat aku berjalan, tanpa menghiraukan sekitar. Payung menutupi aku dari rintik hujan. “Sakit, Nad. Gue gak bisa liat lo kayak gini.” Tapi, kamu yang membuat aku seperti ini, Arlan.
“Maaf.” Aku langsung membalikkan badan berhadapan dengan Arlan. “Lo jahat, Lan.” “Gue tau, maaf. Gue gak bisa disamping lo saat lo butuh gue.” “Pergi, Lan. Biarin gue disini.” “Gak, Nad. Gue minta maaf.” Air mataku turun begitu deras.
“Sini.” Arlan melentangkan kedua tangannya. Payung itu jatuh. Aku langsung berlari dan memeluknya.
Cerpen Karangan: Nadia Luthfita Faadhillah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com