Pria Dari Masa Depan
Untuk ke sekian kalinya kamu kembali. Kembali pada keadaan yang sama.. Kamu kembali duduk. Hati yang hancur, sama seperti sepeda tua hancur yang tergeletak tak bersuara di pinggir jalan. Baju yang basah, persis seperti 18 tahun lalu. Air hujan yang jatuh menyapu basah semuanya, membasuh sepedamu yang hancur saat itu juga air mata yang mengalir di pipimu waktu itu dan air mata yang kau tahan di matamu saat ini. Air mata itu membasuh luka di hatimu yang tak kalah hancurnya dibanding sepedamu itu. Tapi seperti sepeda tua yang terbasuh air hujan, yang tetap hancur dan tak dapat diperbaiki lagi, tangismu tak akan mampu membasuh luka di hatimu. Orang hanya tahu tentang siklus air hujan, tapi banyak yang melupakan tentang siklus air mata.
Kau gundah tak punya tempat untuk menyandarkan punggung. Hujan masih setia menemani, menambah percikan air di samping tangismu. Hujan setia membasuh pipimu. Suaranya menyembunyikan isakmu, memang dimana lagi kau mau menuangkan hal seperti itu, Hanya hujan penjaga rahasia satu-satunya. Kau hanya dapat menatap penuh sendu ke jalanan, tak mengindahkan bajumu yang basah. Hal itu memang bukan masalah besar, di tahun 2060 baju sudah dapat dikeringkan dengan instan. Teknologi sudah berkembang. Hidupmu juga sudah berlangsung lama. Dirimu telah menorehkan banyak tulisan pada lembaran usia dan banyak langkah yang telah kau lalui, kau sudah pada titik yang jauh dan tak terbayang oleh dirimu sebelumnya. Tapi tetap kau menangis dan menderita dan kehilangan.
Segala upaya telah kau lakukan. Dirimu telah menjadi orang yang termasyhur. Namun tetap senangmu dikemudian tak dapat menebus derita masa lampau. Kau kira dengan kondisimu yang sekarang kau dapat bersatu dengannya, tetapi tidak. Kau terlambat. Bagaimanapun mustahil memperistri seorang istri milik orang lain. Lalu kau sesak sebab kekecewaan. Lalu kau menangis sebab kesia-siaan dari gemerlap di sekelilingmu yang mulai tak berarti untuk mengusir rasa sakit di dada. Lalu kini, ayahmu pergi dan kau kembali menangis sebab kembali meneguk duka. Percuma saja segalanya, gemerlap emas tak dapat menebus apa-apa. Kau masih kehilangan, terus kehilangan. Kau masih sengsara terus-terusan sengsara.
Hasil memang terkadang tak sesuai keinginan. Hanya awan yang paling tahu ke mana air-air jatuh, terkadang jatuh ke bumga-bunga atau seringnya mengalir datar ke selokan. Salah agaknya jika kita berharap. Tapi kau berniat mengubah itu semua. Namamu Emilio Doporto, begitu yang tertulis di buku Diary itu.
Kau lalu menemui seorang jenius. “Maaf tuan Doporto, alat ini masih tak sempurna. Masih tak dapat pergi ke masa depan. Jika anda menggunakannya untuk ke masa depan ataupun saat menggunakannya Anda melebihi batas, yakni waktu Anda pergi melintas waktu hal itu dapat berakibat terjadi hal yang tak diinginkan,” Katanya keberatan. “Tak apa. Aku hanya ingin mengunjungi masa laluku. Mengunjungi hal-hal yang telah kulewati. Hal itu seharusnya tak masalah, bukan?” Kau mendesak. “Eh…, Baiklah tuan. Namun, ada beberapa persyaratan yang harus tuan setujui..” Kata-katanya belum selesai, tetapi kau langsung menyela, “jadi dapat aku menggunakan alatmu untuk pergi ke masa lalu? Baiklah kalau begitu.”
Ia lantas menggelar berbagai prosedur yang harus kau ikuti. Kau ikuti saja semuanya. “Emilio Doporto”, namamu tertulis dalam kertas berisi data dirimu sebelum kau melakukan perjalanan. Kau bersiap begitu juga dengan sekumpulan ilmuwan yang memperhatikan dibalik sekat kaca, berjaga jika ada suatu hal yang tak terprediksi terjadi. Kau juga tahu hal itu, kau tahu betul konsekuensinya, tetapi kau masih melakukannya. Semua yang disini sudah tak ada artinya. Tiga lembar kertas dan sepucuk foto kau keluarkan dari saku baju. Kau melihatnya sekilas sebelum memasukkannya kembali. Barang-barang itu sudah melalui suatu prosedur khusus sehingga kau dapat bawa. “Halo, diriku di masa lalu,” katamu lalu mengaktifkan alat itu melemparkanmu melintas waktu.
Keajaiban Pada Suatu Malam
Seonggok sepeda bocor dan hancur, rangkanya bahkan sudah bengkok. Entah siapa pelakunya, tetapi jelas siapapun itu pelakunya pastilah diantara mereka para perundung. “BAJINGAN!” kataku disusul gerutu. Hari mulai hujan. Harusnya malam ini menjadi malam yang penting. Tapi berkat mereka aku malah kehujanan. Aku mendengus kesal dan meninju pohon untuk menghilangkan perasaan yang meradang di hati. Tak ada gunanya, aku sudah terlambat. Tak lagi dapat melakukan apa-apa, aku duduk meringkuk di pinggir jalanan sepi. Jika saja ada sebuah keajaiban datang.
Aku putus asa. Bajuku basah sedikit-sedikit sebab ditimpa bulir gerimis. Lalu, entah dari mana sebuah mobil lewat. Mobil itu melambat lalu merapat ke jalanan. Mobil mewah itu badannya mengilat berkilauan, sangat menawan, belum pernah aku melihat mobil begitu modelnya. Ia tak lama berhenti beberapa jarak sesudah aku. Dari dalam mobil keluar seorang pria. Ia berjalan ke arahku, perlahan-lahan keluar dari bayangan. “Apa kau ingin menumpang, Nak?” ia bertanya kepadaku. Ia sangat menawan. Aku menerima tawarannya. “Tentu,” jawabku.
“Terima kasih tuan sudah menolong saya.” Aku menatap keluar jendela, melihat pemandangan pinggiran jalan sekitar yang kian lalu. “Aku senang dapat membantu.”
Mobil ini berkursi dari kulit. Interior mobil itu sangat menawan. Kursi yang berlapis kulit ini sangat lembut. Aku lalu menoleh ke arahnya. “Siapa namamu tuan?” “Kau dapat panggil aku tuan Doporto.” Telunjuknya mengarah pada sebuah name tag yang tersulam di setelannya. Itu nampak serasi, sama sekali tak merusak setelan itu yang tampak menawan, begitu pulalah ia yang mengenakan setelan itu. “Namamu siapa?” Ia bertanya balik. “Namaku Emilio, Untuk apa kau pergi membelah jalanan di tengah malam hingga mobilmu kehujanan, Tuan?” “Aku memiliki urusan, kau tahu… Biasa, tentang pekerjaan.” “Mengapa kau harus berkerja, memompa harta yang lebih banyak lagi? Kau dapat bersantai dan memanjakan diri, atau sekadar duduk di atas kursi nyaman ini barangkali?” Ia membalas dengan senyuman kecil sambil kembali fokus pada jalanan. “Uh, Tuan Doporto, saya akan pergi ke suatu acara yang penting malam ini.” “Acara penting seperti apa? Kau ingin mengatakan sesuatu pada seorang gadis?” “Iya. Tapi aku tak memiliki baju yang bagus lagi menawan. Aku hanya memiliki baju sederhana ini.” “Itu hal yang ironis bahwa seseorang yang begitu tampan harus peduli pada hal seperti itu. Come on, hal akan baik-baik saja.” Aku membalas tersenyum pujiannya itu. Aku sudah sampai di tujuan, lalu turun dam mengucapkan terima kasih. “Kita akan bertemu di lain hari, Emilio,” ujar tuan Doporto.
Aku segera masuk ke dalam pesta. Di depannya ada dua orang yang cegak berjaga. Tadinya aku mengira mereka akan mencegat diriku, mengira aku salah satu pelayan dan aku harus masuk melalui pintu belakang. Tapi ternyata tidak, aku sadar pandangan orang-orang tertuju padaku. Mungkin karena aku ke sini diantarkan oleh tuan Doporto dan mobil yang menawan itu, siapa yang bisa menyangka kalau aku yang turun dari mobil itu dan bukan anak lain yang populer.
Aku segera masuk ke dalam. Kemeriahan pesta dan kemilau lampu kelap-kelip menyambut diriku. Aku menggali di antara kerumunan mencari orang yang kumaksud.
Mataku berbinar. Ia terlihat bercahaya di atas lantai pesta. Ia adalah teman sekaligus orang yang kucinta dalam diam, namanya Shelly. Aku menghampirinya untuk menyapa. Malam itu adalah penting. Malam itu keajaiban turun dari langit, seluruh semesta membantuku. Malam itu, aku mengutarakan perasaanku padanya. Di malam pesta perpisahan kami, aku memberanikan diri mengutarakan perasaanku padanya… dan ia… Menerimanya.
Cerpen Karangan: KIAN
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com