Death A Date 15 Aku tersentak dan kini di hadapanku kulihat adegan yang sama, Jidan sedang dipeluk oleh seorang gadis, kali ini aku diam dan membiarkan Jidan mendekatiku.
“Tolong, jangan salah paham, Maya hanya sedih karena dia gagal masuk Universitas favoritnya,” jelas Jidan ketakutan terlihat jelas di matanya. “Itu benar, aku tidak ada maksud apa-apa,” timpal Maya sesaat kemudian. Aku menatap mereka berdua, mencoba meneliti setiap kemungkinan dari seluruh gestur tubuh, mencoba mencari kebohongan dari mereka, hasilnya nihil sepertinya mereka memang jujur.
“Tidak apa-apa, aku percaya kepada kalian,” jawabku kemudian, tersirat kelegaan di wajah mereka. “Aku ucapkan selamat kepada kalian, aku lihat tadi data nilainya, sepertinya kalian bisa masuk universitas favorit kalian,” ucap Maya sambil melangkah menjauh dari kami. “kalau begitu aku pulang dulu, dadah,” pamitnya sambil melambaikan tangan tanpa berpaling pada kami.
Kami memutuskan untuk ke balkon sekolah sepanjang jalan Jidan kembali menjelaskan apa yang terjadi untuk menghindari kesalahpahaman, aku mengerti kenapa Maya memeluk Jidan saat dia sedih, mereka sudah menjadi sahabat sedari kecil, aku tau itu, pasti sulit mencari seseorang untuk berkeluh kesah, tidak semua orang bisa kau percaya untuk menjaga rahasiamu, tapi mengetahui itu aku yakin Jidan adalah orang yang bisa kupercaya.
“Sudah kubilang, aku gapapa kamu tidak perlu menjelaskannya terus,” keluhku saat kami tiba di balkon. Jidan menggenggam kedua telapak tanganku. “Aku pernah gagal menjalani hubungan karena mantanku dulu terlalu posesif.” Aku menyiratkan kening. “Mantanmu? Bukannya posesif itu tanda sayang?” tanyaku. “Aku tak bisa mendebat itu, tapi aku orang yang suka kebebasan, aku tak tahan dibelenggu, aku juga merasa kalau dia tidak bisa mempercayaiku,” jawab Jidan menatap lurus ke arah pemandangan kota senja. “Jadi saat kamu bilang percaya padaku, aku merasa sangat bahagia,” lanjutnya lalu berpaling padaku. “Sebuah hubungan dapat bertahan sampai kapan pun jika saling mempercayai.” “Aku orangnya tidak mudah percaya kepada orang lain, jadi berbanggalah,” balasku menggandeng lengannya.
“Balkon ini adalah tempat dimana aku pertama kali mengungkapkan perasaanku—” “Maaf aku menolakmu dulu,” potongku cepat yang dibalasnya dengan gelengan pelan. “Gapapa, aku tau kamu dulu belum bisa mempercayaiku,” ucapnya menepuk pelan atas kepalaku. “Kamu sudah jadi ayangku sekarang, bukan masalah lagi kan?” “Kalau begitu, jangan lepas genggaman tanganku ya,” pintaku menuntunnya kembali memasuki bangunan.
“Namamu Anna artinya lembut, nanti kamu akan melepasnya dengan senyum lembut meski kamu tak menginginkannya,” ucap Jidan saat kami menuruni tangga. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” tanyaku
Jidan tak menjawab bahkan saat kami tiba di kelas, di sinilah tempat semuanya bermula, tempat dimana aku dan Jidan bisa saling mengenal hingga kita bisa saling membangun kepercayaan.
Aku duduk di meja, bangku milikku dulu, langit senja sudah mulai menghitam, kelas ini agak gelap, hanya ada sebagian sorotan matahari yang akan segera hilang, kubuka jendela kelas terasa semilir angin yang nyibak kulit berhembus melalui celah tirai dengan lembut.
“Aku ingat kamu setiap hari selalu menggangguku disini,” aku bersandar di bahunya ketika dia duduk di sampingku. “Maaf saja ya, kelas kita memang dikenal dengan kelas bermasalah, aku termasuk orangnya, karena itu kelas ini selalu dapat masalah.” Jidan tertawa kecil saat mengingat kembali masa itu. “Itulah juga, kenapa aku tidak mau berurusan dengan kalian,” balasku. “Tapi meski begitu kamu berhasil mengubahku, saat berbagai macam tuduhan buruk menimpaku, hanya kamu yang percaya padaku, kamu berhasil menyanggah semua itu, sejak saat itu kita berusaha membuat kelas kita menjadi kelas terbaik di sekolah ini, kita team yang kompak kan?” ujarnya melingkarkan lengan di bahuku. “Yah meski merepotkan setidaknya kita berhasil,” balasku kurasakan suhu di kelas ini semakin dingin. “Karena itu semua aku menjadi jatuh cinta padamu, kamu tau betapa cantiknya kamu saat kamu peduli kepada orang lain? tak apa aku ditolak sekali, tapi di kelas ini, di waktu senja seperti ini aku kembali mengungkapkan perasaanku, aku bahagia sekali saat kamu bilang Iya.”
Hatiku terenyuh mendengarnya, belum pernah ada seorangpun yang pernah membuatku merasa tersanjung kecuali Jidan, apakah ini sungguh nyata? Aku berhasil memperbaiki semua kesalahanku, bagaimana hidupku setelah ini?
“Ada pertanyaan yang mengganjal.” Aku menatap serius Jidan. “Apakah kamu benar-benar nyata?” “Mau dicoba?” tawar Jidan.
Dia mengangkat lenganya lalu membuka telapak tangannya, perlahan aku menyentuh lengannya, memasukan jemariku ke sela-sela jarinya, dia tersenyum sedih bersamaan dengan langit yang kian menghitam dengan kelas yang semakin gelap, hatiku gemetar saat mencoba meremas tanganya kusadari telapak tanganku menembus dirinya bersamaan dengan tubuhnya yang memudar.
Entah sejak kapan tiba-tiba tempat ini berubah, aku berada di padang rumput hijau beratap langit malam yang cerah penuh bintang, kudengar gemersik dedaunan di sekitar, padang rumput ini luas namun dikelilingi banyak pohon seolah berada di tengah hutan.
Gelap seolah tak diizinkan di sini, banyak kunang-kunang berterbangan di sekitar kami dengan cahaya kelap-kelipnya, aku tak tahu apa yang terjadi, yang tak berubah adalah Jidan yang masih di dekatku dengan tubuh yang memudar.
“Aku rasa sudah saatnya,” Jidan tersenyum sedih. Aku bergeser mendekatinya, mencoba memeluk tubuhnya yang tersisa. “Pada akhirnya masa depanku hanya kesepian yang dirundung duka,” ujarku terisak, tangan pudarnya Jidan menyeka air mataku. “Aku yakin masa depanmu akan cerah, meski tanpa aku, jika kamu sulit mempercayai orang lain setidaknya percayalah pada dirimu sendiri, kamu pasti akan menggapai semua impianmu.” ucap Jidan menyakinkan. “Jangan pergi, temani aku, aku ingin kamu terus disampingku, kumohon itu salah satu impianku,” pintaku, saat kurasakan dia mulai demakin memudar.
Dia mengusap rambutku. “Takdir sudah ditulis demikian, kita hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik, tapi meski kita tak bisa saling menyapa lagi aku akan selalu memperhatikanmu, kamu masih punya kehidupan, aku akan sedih jika kamu terus bersedih karena aku.” “Tapi kamu meninggal karena aku, andai saja aku tidak membuatmu menunggu lama—” “syut… ” telunjuk Jidan menutup mulutku. “Begini saja, agar penyesalan dalam dirimu hilang aku ingin meminta satu hal.” Aku mengangguk. “Apapun, aku akan melakukan apapun.” “Lepaskan aku dengan senyuman yang lembut,” pintanya membuatku terdiam sesaat. “Di sini aku adalah kemilau bintang redup dari gelapnya hatimu, lepaskanlah agar aku kembali menyinari gelapnya malam.”
Sesaat aku terdiam, ini begitu berat, aku tak ingin melepasnya, tapi aku tak memiliki pilihan lain, berapakalipun kesempatan mengubahnya.
“Aku mengerti,” ucapku pada akhirnya, mencoba tersenyum. Mata kami saling bertemu, kutatap dia dalam yang kian memudar, aku mencoba kuat meski begitu berat, dia membalasnya dengan sebuah senyum bahagia.
“Terimakasih, momen-momen yang berlarut dikala senja bahkan malam yang kelabu, dalam hatiku terukir hari-hariku bersamamu, jangan melupakan itu.” Setelah dia mengatakan itu, mataku terpejam meski sesaat kurasakan sentuhan lembut di bibirku sebelum hilang begitu saja.
Date A Life Saat mataku terbuka kudapati diriku sedang terbaring di sebuah kursi santai di ruangan yang serba putih, aku lihat sekitar dengan helaan nafas, tepat di depanku seorang pria berjas duduk dengan sebuah catatan di genggamannya.
“Sudah tersadar, bisa ceritakan apa yang bisa kamu pahami? hanya satu hal saja,” tanya pria itu mempersiapkan catatanya. “Ada banyak hal yang bisa dipelajari, tapi satu hal yang penting bahwa kita tidak dapat mengubah takdir yang sudah ditetapkan,” jawabanku membuatnya tersenyum. “Benar, tapi kita bisa menulis takdir sendiri jika kamu berusaha melakukan yang terbaik demi menggapainya.” dia mencatat itu lalu kembali bertanya. “lalu bagaimana dengan penyesalanmu?” “Penyesalan itu sedikit menghilang setelah aku memutar balikan waktu, namun yang kudapat hanya perpisahan, mungkin memang ini takdirnya,” jawabku lagi. “Kamu mungkin bisa memutar balikan waktu di sana, tapi tidak di sini, meski begitu bukan berarti kamu tak bisa memperbaiki kesalahanmu di masa mendatang, waktu itu tak ternilai harganya, jadi selama kamu hidup jangan sia-siakan waktumu, masih banyak hal yang bisa kamu lakukan, tak masalah seberapa sulitnya itu, kamu pasti bisa selama kamu percaya pada dirimu sendiri,” jelas pria itu terseyum menyakinkan ku. “Aku mengerti, sepertinya aku sudah tau apa yang harus kulakukan kedepannya,” jawabku membalas senyumnya. “Baiklah, aku rasa kamu sudah siap menjalani hidupmu lagi.”
Sebelumnya Aku berdiri di atas gedung gemetar, mencoba mengingat kembali alasan untuk apa aku hidup? Kedua orangtuaku tidak peduli padaku, aku ditelantarkan begitu saja, bahkan satu-satunya pujaan hatiku, satu-satunya yang aku cintai dia meninggal karena kesalahanku.
Dunia ini tak adil, apakah aku memang ditakdirkan untuk menderita? Lalu apa gunanya aku hidup? Lebih baik kuakhiri saja sekarang.
“Hey, masalahmu tidak akan selesai jika kamu meloncat dari sana lalu mati,” ucap seseorang dari belakang. Aku menoleh mendapati seorang pria berjas berjalan menuju ke arahku.
“Memangnya apa pedulimu?” tanyaku yang dibalasnya dengan tawa kecil. “Kamu ketakutan seperti itu saat mencoba melompat, kemarilah aku akan membantumu jika kamu sedang ada masalah,” ajaknya dia melangkah semakin dekat. “Kamu tak akan bisa,” balasku “Ceritakan semuanya padaku lalu akan kubantu,” dengan mudah dia menggenggam tanganku menarik ku menjauhi ujung gedung.
Entah kenapa aku merasa agak tenang ketika berbincang sesaat dengannya, aku juga begitu saja menceritakan apa yang sedang aku alami, dia mengajakku ke sebuah ruangan yang masih berada di dalam gedung ini, akupun juga menyetujuinya begitu saja, aku dipersilakan duduk di sebuah kursi santai.
“Baiklah aku akan membantumu, yang harus kamu lakukan adalah mengikuti arahan dariku, tepat seperti yang aku minta, tak kurang dan tak lebih,” ucapnya yang mempersiapkan sebuah buku catatan.
Lalu dia mulai memintaku untuk menarik nafas dan mengeluarkan nafas secara berulang-ulang sampai aku mulai tenang. Dari sini aku tak berbicara dan mengikuti arahannya
“Baiklah aku akan membawamu ke dalam sebuah fenomena yang luar biasa, dimana kamu akan mengubah cara pandang hidupmu menjadi lebih baik,”
“Buatlah dirimu nyaman, sekarang tarik nafas lalu tutup matamu, kamu akan merasa semakin nyaman, kian lama matamu akan semakin berat, semakin nyaman dan semakin nyaman, semakin tenang.”
“Kamu akan mendapati dirimu berada di sebuah tempat yang kamu kenal, sedang bersiap untuk bertemu seseorang,”
“Mulai dari sini kamu akan menentukan alurmu sendiri, kamu akan tersadar dalam 30 menit jika kamu rasa masih belum mendapat keputusan terbaikmu.”
“Nah mari dimulai kencannya.”
Tamat
Cerpen Karangan: Miftah Wattapad: MAP171615 Facebook: Miftah AF IG: Kang_mif.id Jangan lupa mampir ke wattpad saya ya, untuk IG udah berubah jadi Kang_mif.id
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com