Kita tidak pernah berhak untuk memilih dari keluarga seperti apa akan dilahirkan. Bisa jadi, kita lahir dari keluarga kaya yang hidup berkecukupan. Bisa juga, kita lahir dari keluarga miskin yang bahkan untuk makan saja susah. Atau lebih buruk lagi, kita lahir tanpa kita tahu keluarga seperti apa yang kita miliki.
Ken. Namanya kurang populer dikalangan mahasiswa angkatannya. Ditambah lagi Ken adalah sosok dingin dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Tidak banyak yang menarik perhatiannya, membuat kehidupan kuliahnya hanya pulang dan pergi.
Ken baru saja pulang dari kegiatan kuliahnya tepat saat jam malam. Di trotoar yang sepi, Ken menemukan seekor kucing putih tergeletak. Ia terkejut ketika menyadari sebuah luka di kaki belakang kucing itu. Beruntung Ken tahu harus dibawa kemana kucing itu.
“Yoshio, aku menemukan kucing yang terluka!” Yoshio datang dengan santai sambil menggaruk kepalanya. “Tenanglah Ken, aku akan segera menolongnya.” “Bagaimana lukanya?” tanya Ken setelah kaki kucing itu diperban. “Bukan luka parah, tapi datanglah ke sini seminggu lagi agar aku cek perkembangannya!” jelas Yoshio.
Ken meletakkan kucing itu di dalam kandang miliknya. Dulu, Ken memiliki seekor kucing yang kemudian mati karena diracuni seseorang. Hal itu membuat Ken trauma memiliki kucing. Sayangnya, Yoshio kehabisan tempat untuk kucing di tempatnya bekerja.
Sebelum tidur, Ken memastikan sudah membaca semua pesan penting hari ini. Ken tersenyum miris dihadapan tumpukan notifikasi pesan. Semua itu pesan sistem pemberitahuan tenggat waktu pengumpulan tugas. Tidak ada satu pun dari temannya. Atau memang mungkin, Ken tidak memiliki teman.
Cahaya matahari masuk tanpa permisi, membuat Ken terbangun dari tidurnya. Ken mengerjap, memastikan hanya angin yang membuat tirai kamarnya terbuka. Tidak butuh waktu lama untuk membuat mata Ken membulat sempurna. Seorang perempuan berdiri menatap keluar jendela, mengagetkannya.
“Selamat pagi, Ken,” ucapnya tersenyum melihat Ken. “S-siapa?” Raut wajah perempuan itu kebingungan. “Kamu Ken dan aku Rin kalau itu maksud pertanyaanmu.” “Bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Ken memastikan pintu kamarnya terkunci. “Dari jendela?” tebaknya. Rin menggeleng. “Aku kucing yang kamu tolong kemarin,” jelasnya menunjuk luka di kakinya. “Jangan takut, memang susah untuk dijelaskan, tapi percayalah itu benar,” tukasnya.
Ken memang mendapati pintu kandang kucingnya terbuka. Di sana juga tidak ada kucing putih yang ia tolong kemarin. Sekarang, di depannya, seorang perempuan berambut lurus sebahu dan bubuhan poni tidak sedikit pun mengendurkan senyum dari bibir merah mudanya.
Berusaha tidak terprovokasi senyum yang meyakinkan itu, Ken meraih tasnya dan keluar. Ken tidak mau terlambat walaupun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. Satu hal yang muncul adalah kejadian ini mirip seperti di buku fiksi yang pernah ia baca.
Satu hari, seorang petani tua menemukan seekor keong dengan cangkang emas. Petani itu membawanya pulang ke rumah, dan sejak saat itu banyak hal aneh terjadi. Sampai suatu saat petani itu mendapati seorang perempuan cantik yang menjelaskan kalau ia adalah keong yang ia pungut waktu itu.
“Yoshio, apa kamu percaya kalau kucing kemarin itu berubah menjadi perempuan? Cantik,” jelas Ken dengan napas tersengal karena perjalanan yang jauh ke sini. “Kamu terlalu banyak membaca buku fiksi, Ken. Hal itu tidak mungkin terjadi, tapi kalau cantik, kapan aku bisa datang ke rumahmu?” tanya Yoshio dengan wajah mesumnya. “Ah, rasanya memang salah menceritakan ini padamu,” kesal Ken. “Mungkin, kucing itu hanya ingin balas budi, Ken. Seperti, mengabulkan permintaanmu,” tebak Yoshio. “Aku jadi kasihan kalau itu nyata.” Ken bingung. “Kenapa?” “Kamu kan tidak punya keinginan sama sekali selain lulus kuliah kemudian bekerja. Huft, hidupmu menyedihkan.” Yoshio berdecak. “Jaga mulutmu, Yoshio!” Ken marah. “Aku bekerja di toko buku milikku sendiri.” “Peninggalan kakekmu,” tambah Yoshio.
Sama seperti hari lainnya, Ken tidak memiliki banyak kegiatan di kampus selain tugas kelompok yang akan menahannya untuk pulang. Hari ini Ken pulang lebih awal, Ken harus menjaga toko bukunya. Dari sana, Ken mendapatkan uang untuk membayar sewa tempat tinggalnya.
“Tadaima,” ucapnya yang menjadi kebiasaan saat pulang. Ken kembali menangkap pemandangan perempuan itu yang sibuk memasak sesuatu di dapur. Aroma harum menusuk hidungnya, membuat perutnya bergemuruh seketika. Rin yang menyadari kehadiran Ken, kembali memasang senyum. “Okaeri,” balasnya. “Makanan sebentar lagi siap, kamu bisa mandi dulu.” “Tidak usah repot-repot, aku akan segera pergi lagi untuk bekerja,” jelas Ken sambil berjalan masuk ke kamarnya. “Oh iya,” Ken berhenti sejenak. “Kamu boleh pergi setelah ini,” ketus Ken. “Kenapa Ken?” “Rin, untuk membayar tempat tinggal saja aku tidak bisa. Bagaimana bisa aku tinggal dengan seorang perempuan yang bahkan tidak aku kenal. Apalagi kamu bilang, kamu adalah kucing waktu itu. Tidak masuk akal.” “Aku akan bekerja,” ucap Rin bersemangat. “Terserah padamu.” Ken tetaplah seseorang yang dingin, bahkan di depan perempuan secantik Rin.
Rin meletakkan makanan di meja. Setelah menanggalkan apronnya, Rin keluar untuk mencari pekerjaan. Rin tidak menyangka dunia manusia tidak jauh berbeda dari dunia asalnya. Tempat dimana kucing hidup tenang dengan sistem kehidupannya sendiri.
Sayangnya, Rin juga tidak memiliki keahlian lebih selain penciuman tajam dari hidungnya. Beruntung, hidungnya mencium aroma tubuh kucing lain seperti dirinya. Rin berjalan mengikuti aroma itu, sampai Rin bertemu seorang laki-laki tua di dalam restoran.
Sebagai kucing, mereka mampu mengenali satu sama lain tanpa perkenalan panjang. Laki-laki tua dengan kacamatanya itu bernama paman Jiro. Rin menjelaskan kenapa ia bisa sampai di bumi dengan detail, termasuk tinggal bersama manusia bernama Ken.
“Semalam, paman, aku mencoba untuk pulang ke planet kucing, tapi gagal. Aku bahkan mendapat gelang ini setelahnya,” jelas Rin menunjukkan gelang di tangan kirinya. “Setiap kucing yang datang ke bumi memiliki sebuah tujuan. Apa kamu memiliki tujuan, Rin?” tanya paman Jiro. Rin menggeleng. “Aku tidak punya tujuan, paman. Aku hanya ingin tahu bagaimana manusia hidup di bumi,” sedihnya. “Paman tahu sedikit tentang gelang yang kamu dapatkan. Kucing yang ditolong manusia, harus mengabulkan permintaan orang yang menolongnya. Apapun itu, kecuali menghidupkan orang mati.” “Setelah itu aku bisa kembali, paman?” tanya Rin antusias. Paman Jiro mengangguk.
Rin datang ke tempat Yoshio. Kucing memiliki ingatan jangka panjang yang digunakan Rin untuk menemukan tempat itu. Sementara itu Yoshio bingung karena kedatangan pelanggan tanpa membawa hewan. “Ada yang bisa aku bantu?” tanya Yoshio. “Kamu tahu tempat Ken bekerja?” “Ken? Kamu teman Ken?” Yoshio berhak bertanya karena perempuan itu ingin tahu sebuah privasi. “Aku Rin, kucing yang waktu itu dibawa Ken ke sini dan kamu tolong,” jelasnya yang Rin yakin Yoshio tidak akan percaya.
Mata Yoshio membulat sempurna. Jadi benar apa yang Ken ceritakan waktu itu. Yoshio dengan senang hati memberikan alamat Ken bekerja. Sebuah toko buku tua, dengan koleksi tidak terlalu banyak yang berada di sudut kota. Bunyi bel penanda seorang pelanggan masuk atau keluar menarik perhatian Ken. “Selamat da-” tidak sempat Ken menyelesaikan kalimatnya, begitu tahu itu adalah Rin, Ken memasang wajah dinginnya. “Hai, Ken. Aku tahu kamu bekerja di sini dari Yoshio,” jelas Rin tanpa diminta. “Yoshio dokter hewan temanmu itu,” tambahnya. “Aku tahu,” ketus Ken berlalu ke kamar mandi.
Rin berkeliling toko buku kecil tapi terlihat rapi. Ada tempat untuk membaca buku gratis, rak-rak buku dari kayu yang rapi, bahkan camilan gratis di dekat pintu masuk. Siapa saja boleh mengambilnya. Rin yang tahu tidak selamanya ia bisa bertahan dalam wujud manusia, tiba-tiba berubah menjadi kucing. Dan saat itu, seorang pelanggan datang. Rin naik ke meja kasir, menarik perhatian pelanggan itu, kemudian menunjukkan kalau seekor kucing bisa menggunakan kalkulator.
Setelah hari itu, toko buku Ken kembali ramai. Mereka penasaran dan tertarik oleh Rin dalam wujud kucingnya. Saat sepi, Ken yang marah membawa Rin pulang dan menutup toko bukunya. “Apa tujuanmu melakukan itu, Rin?” tanya Ken dengan kesal. “Kamu bilang tidak bisa membayar sewa, jadi aku rasa yang aku lakukan cukup membantu,” jawab Rin tertunduk. “Lebih baik kamu pergi sekarang! Aku tidak pernah menerimamu bukan?” kesal Ken. Ken bahkan tidak sadar apa yang barusan Ken ucapkan.
Rin menahan air matanya. Rin melangkah keluar rumah, entah kemana lagi tujuannya selain paman Jiro. Sementara Ken mengusap wajahnya kasar-kasar. Ken tidak senang dengan kehadiran Rin sejak hari itu. Ken tidak pernah percaya kalau Rin adalah kucing yang ia temukan.
“Ken!” panggil Yoshio yang datang berkunjung. “Aku kira Rin tinggal bersamamu,” bingungnya ketika tidak menemukan Rin. “Dia baru saja aku usir,” jawab Ken keintinya. “Kenapa? Bukannya dia baik sudah membuat tokomu ramai. Setidaknya cukup kan untuk membayar uang sewa rumahmu ini.” “Rumahku bukan penampungan hewan.” “Rin manusia kan? Kucing yang berubah jadi manusia.” “Sekarang aku pikir kamu yang termakan khayalan penulis buku, Yoshio. Itu tidak masuk akal.” “Aku baru saja membaca buku tentang dunia paralel. Di sana disebutkan, memang ada satu planet dimana penghuninya bukan manusia, hewan, tapi mereka bisa berubah menjadi manusia. Sama seperti Rin.”
Ken meneguk ludah. Buku yang Yoshio baca bukan sembarangan, tidak sepertinya yang sering membaca buku fiksi. Sekali lagi, ucapan Yoshio membuatnya ragu untuk mengejar Rin atau membiarkan perempuan itu hilang, entah menjadi kucing lagi atau dalam wujud manusianya.
Ken sebenarnya khawatir, tapi pembawaannya yang dingin sejak dulu membuatnya mengabaikan perasaan itu. Sementara itu, Yoshio sibuk menceritakan kisah asmaranya yang tidak selalu berjalan baik. Terkadang ada pertengkaran, tapi itu yang membuat mereka saling mencintai.
Tidak mungkin. Ken tidak mungkin jatuh cinta pada Rin. Rin bahkan bukan manusia sepenuhnya, ia masih bisa menjadi seekor kucing tanpa sebab. Tapi jantungnya berdebar cepat ketika ia meyakinkan kalau Ken tidak jatuh cinta. Hanya perasaan khawatir, begitu Ken terus meyakinkan diri.
“Kamu tahu kemana Rin pergi?” tanya Ken. Yoshio hanya teringat satu hal. “Dia pernah bercerita tentang paman Jiro, aku tidak tahu dia siapa. Rin hanya menjelaskan kalau paman Jiro berasal dari planet yang sama dengan Rin.” Ken mengangguk. “Aku pernah mendengar namanya. Aku tahu dimana paman Jiro tinggal.”
Belum sempat Ken beranjak, televisi yang menyala menyiarkan berita kecelakaan. Seorang perempuan kritis setelah ditabrak pengemudi mabuk. Ken terlonjak kaget, perempuan yang pembawa berita itu maksud adalah Rin. Menurut yang diberitakan, Rin ada di rumah sakit yang tidak jauh dari rumahnya. Ken dan Yoshio bergegas pergi. Perasaan khawatir Ken terbayarkan dengan berita menyedihkan dari Rin. Sekarang ia yakin, perasaannya lebih dari pada khawatir untuk Rin.
Ken mengaku sebagai keluarga satu-satunya Rin di depan administrasi. Ken dibiarkan masuk. Ken menahan air matanya melihat tubuh Rin penuh luka. Dokter bilang, tidak ada pendonor yang darahnya cocok untuk Rin.
Paman Jiro kemudian masuk, menyusul Ken yang berdiri dengan tatapan berbeda untuk Rin. “Gelang itu membuatnya terikat denganmu sampai kamu membuat permintaan.” “Permintaan?” ulang Ken. “Rin tidak sedikitpun menceritakan tentang permintaan. Aku sendiri ingin bertanya dari mana Rin mendapatkan gelang itu, tapi belum sempat.” “Tentu saja Rin tidak ingin menceritakannya. Konsekuensinya besar. Kalau kamu membuat permintaan, Rin bisa kembali ke planet kucing, kemudian kalian akan melupakan Rin. Satu satunya alasan Rin tidak menceritakannya adalah karena Rin ingin bersamamu, Ken.”
Ken tertegun mendengar penjelasan paman Jiro. Ken kembali menatap Rin lekat-lekat. Mungkin ini saatnya Ken membuat permintaan walaupun dihadapkan konsekuensi kalau Ken akan melupakan Rin. Ken sekali lagi meyakinkan hatinya untuk segera membuat permintaan.
“Aku tidak mau kehilangan Rin. Aku membuat permintaan agar Rin tetap hidup. Aku mohon Kami-sama!”
—
Ken terbangun dari mimpi buruknya, sekali lagi. Ken tidak bisa mengingat mimpi itu, tapi perasaan akan kehilangan seseorang masih terasa bahkan ketika Ken terbangun. Ken terus mencari seseorang yang terus menghantui perasaannya. Sejak hari itu.