Aroma khas obat-obatan menusuk hidung Rin. Perlahan, Rin mengerjapkan matanya. Pemandangan pertama yang Rin dapatkan adalah paman Jiro berdiri di sebelah brankarnya. Laki-laki tua itu memasang senyum yang menampilkan deretan gigi putih kekuningannya.
“Paman Jiro, apa yang terjadi padaku?” tanya Rin dengan suara seraknya. Matanya terus menelisik yang kemudian Rin sadar berada di rumah sakit. “Tenanglah, Rin, kamu baik-baik saja bersama paman. Sebentar lagi kamu diperbolehkan pulang.” Rin mengangguk pelan. “Di mana gelangku, paman?” tanya Rin menyadari pergelangan tangannya sedikit ringan. “Jangan katakan, Ken membuat permintaan, paman,” sedih Rin. “Rin, tenanglah, Ken membuat permintaan terbaik dalam hidupnya,” tenangkan paman Jiro. “Tapi paman, itu berarti Ken akan melupakanku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau, paman,” rengek Rin. “Rin, dengarkan paman!” ucap paman Jiro mengendalikan kekhawatiran Rin. “Donor darah paman tidak cukup membantumu. Ken membuat permintaan agar kamu tetap hidup. Paman mohon kamu mengerti. Ken juga tidak ingin kehilanganmu.”
Setelahnya hanya tangisan Rin membasahi bantal miliknya. Kata-kata paman Jiro bahkan tidak mampu membuat Rin tenang. Paman Jiro memilih diam, ada kalanya menangis diperlukan, setidaknya untuk melegakan perasaan seseorang.
Rin marah pada Ken yang membuat permintaan. Rin marah pada dirinya sendiri yang tidak berhati-hati melintasi jalan raya. Rin merasa semua adalah salahnya. Kalau saja Rin bisa sedikit lebih kuat, Ken tidak akan mengorbankan satu-satunya permintaannya.
“Masuklah, paman tinggal sendiri di sini,” sambut paman Jiro setelah membukakan pintu. Rin berusaha melupakan kesedihannya dan mengikuti langkah paman Jiro masuk ke rumahnya. Rumah tua bergaya rustic paman Jiro sangat terawat, bahkan untuk ukuran orang tua yang hidup sendiri. Rin diantar ke kamar kosong untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Sampai Rin dijemput kembali ke planetnya.
“Kamu istirahatlah dulu, kalau ada apa-apa, paman ada di dapur,” ucap paman Jiro. Rin mengangguk. “Terima kasih paman, maaf merepotkan paman.” “Ah, anggap saja rumah sendiri. Tidak perlu sungkan,” tukas paman Jiro meninggalkan Rin.
Itu hanya kamar dengan satu tempat tidur, nakas dan lemari tua yang Rin takut untuk membukanya. Tangannya meraba lembut guratan kayu khas rumah bergaya rustic. Paman Jiro mungkin sudah menempati rumah ini selama puluhan tahun dalam usia manusia.
Rin menyibakkan tirai putih kamar barunya. Jendela itu menghadap langsung ke kebun kecil paman Jiro. Tidak banyak yang orang tua itu tanam selain tanaman beri, labu kuning, dan wortel. Juga sebuah kolam ikan konsumsi yang Rin tahu menjadi sumber makanan utama paman Jiro.
Langit sedang tidak bersahabat. Hujan turun tiba-tiba, membawa harum petrikor menusuk hidung Rin. Rin selalu menyukai aroma itu sejak pertama kali datang ke bumi. Sementara tanah melunak, membawa lumpur mengotori rumput taman.
“Rin, makanan sudah siap!” teriak paman Jiro dari dapur. Rin menghela napasnya. “Aku segera datang paman.” Mereka duduk berhadapan. Rin dibuat kagum dengan banyaknya hidangan di atas meja. Aroma lezat segera membuat perut Rin bergemuruh. Rin benar-benar lapar setelah menghabiskan tenaganya untuk menangisi Ken. Rin perlu asupan makanan untuk memulai kembali apa yang sudah Rin mulai.
“Tapi paman, kenapa cuma manusia yang melupakanku? Sementara paman mengingatku.” “Itu hanya berlaku untuk manusia, Rin. Paman Jiro dan kamu bukan manusia kan? itulah kenapa paman masih mengingatmu.” “Apakah aku bisa membuat Ken mengingatku lagi, paman?” Paman Jiro menghela napasnya. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi makan. “Tidak mungkin Rin, manusia tidak boleh tahu siapa kita sebenarnya.” Wajah Rin berubah masam. Rin memainkan sendok di mangkoknya, seperti anak kecil yang merajuk. “Jadi apa yang kami lakukan, Ken melupakan semuanya?” tanya Rin yang dijawab anggukan paman Jiro. “Ken melupakan semua ingatan bersamamu, Rin. Tapi paman tidak bilang dengan perasaannya. Mungkin saja, Ken masih menyimpan perasaan untukmu.” “Benarkah, paman?” tanya Rin antusias. Paman Jiro mengangkat bahunya bersamaan. “Cobalah! Jangan berhenti.” “Tapi Rin sudah mencobanya, paman. Rin suka sayur yang paman Jiro masak,” sahut Rin dengan polosnya. Paman Jiro menepuk jidatnya. “Bukan itu, Rin. Cobalah untuk menemui Ken, dan buat Ken menyukaimu lagi.” “Ah, kalau begitu tidak akan sulit, paman. Manusia menyukai sesuatu yang menarik perhatian. Aku cukup cantik untuk membuat Ken menyukaiku,” ucap Rin penuh percaya diri.
Rin. Perempuan berambut lurus sebahu dengan bubuhan poni. Iris matanya biru muda, senyum manis dari bibir merah mudanya. Rin yakin itu cukup untuk membuat Ken menyukainya. Pada dasarnya, manusia menyukai hal yang membuat mereka tertarik.
Rin bertopang dagu, menatap keadaan di luar rumah yang semakin mencekam. Langit semakin gelap seiring waktu berganti malam. Kepalanya sedang mencari cara, harus dari mana Rin memulai semuanya. Ken adalah sosok yang dingin, itu yang Rin ingat.
Hari pertama setelah semua manusia melupakannya berlalu begitu cepat. Matahari kembali naik, menyadarkan Rin dari mimpi buruknya. Tentang kemungkinan paling buruk yang terjadi. Rin akan pergi lebih dulu sebelum Ken mengingatnya.
Rin melihat jelas refleksi wajahnya di genangan air tepat di bawahnya. Selalu ada bekas setelah sebuah kejadian berlalu, termasuk hujan yang seringkali menyisakan genangan. Sebuah harapan, Ken masih memiliki sedikit perasaan untuknya, atau ingatan tentangnya.
“Paman, Rin pergi dulu!” pamitnya. Rin cantik dengan dress putih selututnya dan sepatu berwarna senada pemberian Ken. Tidak lupa tote bag merah muda bergambar kucing kesukaannya menggantung ringan di bahu kanan. Tujuan pertama Rin adalah toko buku tempat Ken bekerja. “Kamu tahu ke mana harus pergi, Rin?” tanya paman yang sibuk di kebun, tidak jauh dari tempat Rin berdiri. “Aku tahu ke mana harus pergi, paman,” jawab Rin yakin. “Kalau begitu jangan lupa untuk membawa payung, Rin, sekarang bumi memasuki musim penghujan,” ingatkan paman. “Sudah paman, aku mengambilnya di rak payung tepat di samping pintu masuk,” jelasnya.
Langkah Rin cepat menuju halte bus terdekat. Ken pernah mengajaknya berkeliling kota menaiki kendaraan besar itu. Halte tidak terlalu ramai, mereka sibuk dengan ponsel di tangan masing-masing. Sementara Rin duduk menggoyangkan kakinya, menunggu bus yang akan membawanya pergi.
Sebuah toko buku sudut kota dengan tampilan depan dipasang kaca, menampilkan sebagian besar isi toko dari luar. Senyum Rin merekah, membenarkan posisi tote bag yang turun sedikit. Sesaat kemudian, senyum itu hilang. Tulisan tutup pada pintu toko yang menyebabkan Rin kecewa.
Hujan yang kembali turun menahan langkah Rin yang ingin meninggalkan toko. Tangannya menengadah, tidak terlalu deras, tapi Rin tidak ingin mengotori sepatu putihnya. Payung yang ia bawa juga tidak cukup besar untuk menaungi tubuh kecilnya.
“Akan percuma kalau aku tetap di sini, tokonya tutup, mungkin aku akan kembali lagi besok,” ucap Rin putus asa. Rin baru saja berjalan satu langkah ke depan sebelum sebuah mobil melaju cepat, menyipratkan air ke arah tubuhnya. Rin yakin sekarang adalah hari sialnya, yang Rin lakukan adalah memejamkan mata, bersiap menerima hantaman air telak mengenai tubuhnya.
Seseorang dengan cepat membawa Rin ke dalam pelukannya. Punggung itu menjaga Rin tetap kering. Rin diam. Aroma itu, pelukan itu, hangat tubuh manusia. Rin yakin seseorang yang memeluknya adalah Ken. Tidak lama sampai orang itu melepas pelukannya, menatap Rin dengan alis bertautan. “Kamu baik-baik aja?” Rin meneguk ludahnya tidak percaya. Orang di depannya adalah Ken. Laki-laki yang mematahkan pemikirannya tentang hari sial, berubah menjadi hari keberuntungan. Rin membeku dalam pijakannya, tatapannya tidak lepas dari iris mata coklat milik Ken.
“Hei, kamu baik-baik aja?” tanya Ken sekali lagi. “Ken!” teriak Rin berusaha memeluk Ken, tapi laki-laki itu menghindar, membuat Rin hampir tersungkur. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Ken melipat tangannya di depan dada. Rin lupa soal itu. Tentu saja Ken menghindar. Ken tidak mengenal Rin sama sekali. Rin berbalik, memasang senyum canggung mencari alasan terbaik. “M-maaf, aku salah orang. Aku kira kamu Ken temanku,” ucap Rin menutupi rasa malunya. Ken mengangguk. Masih dengan sikap dinginnya, Ken tidak peduli apa yang perempuan itu lakukan. Ken harus membuka toko bukunya, karena dari situ, Ken mendapatkan uang untuk membayar sewa.
“Aku pelanggan pertamamu hari ini. Anggap saja rasa terima kasih, dan permintaan maafku membuat bajumu kotor,” ucap Rin. “Masuklah!” perintah Ken. “Datanglah ke kasir kalau sudah selesai mencari buku!”
Rin berkeliling toko buku yang pernah ia masuki sebelumnya. Rin sangat hapal tata letak buku berdasarkan genre. Satu rak buku genre fiksi menjadi perhatiannya. Mungkin bacaan ringan untuk hari ini akan memberinya ide.
“Ken! Kamu bilang memiliki seekor kucing yang diracuni seseorang. Cepat berikan padaku, biar aku obati.” Yoshio yang datang mengalihkan perhatian Rin. Mata mereka saling bertemu. Yoshio menyipitkan matanya, berjalan perlahan ke arah Rin seakan pernah melihat Rin sebelumnya.
“Hei-hei-hei! Jangan mengganggu pelangganku, Yoshio,” ucap Ken membawa Yoshio menjauh dari perempuan itu. “Ken, lihatlah bekas luka di kakinya!” perintah Yoshio untuk mengintip dari meja kasir. “Bukankah itu mirip bekas luka milik Rin?” Ken mengikuti arah pandang Yoshio. Benar yang temannya katakan itu, tapi bisa saja itu sekedar kebetulan. Setiap manusia pasti memiliki bekas luka masing-masing. Ken tidak mempercayai Yoshio, lagi pula Rin sudah meninggal setahun lalu di rumah sakit.
Setahun lalu, Rin mengalami kecelakaan karena ditabrak pengemudi mabuk ketika menyeberang jalan. Ken terus menyalahkan diri sendiri setelah kejadian itu. Ken berpikir kalau saja hari itu Ken tidak marah dan mengusir Rin, mungkin keadaannya akan berbeda.
Ken menghela napas kasar. Perempuan itu benar-benar mirip dengan Rin. “Lupakan, Yoshio, manusia lahir memiliki tujuh kembaran di dunia. Bisa jadi perempuan itu salah satu kembaran Rin.” “Baiklah. Sekarang, di mana kucingmu itu?” “Mati. Aku baru saja menguburkannya,” jawab Ken. “Aku turut berduka untuk itu, Ken,” sesal Yoshio.
Rin yang sengaja menguping pembicaraan mereka terkejut. Ini bukan sebuah kebetulan, tapi semakin membuat Rin bingung. Ada di masa apa Rin sekarang? Masa lalu? Masa sekarang? Masa depan? Rin tidak tahu dimana Rin sekarang berada.
Rin memutuskan untuk pulang. Ada banyak hal yang ingin Rin tanyakan pada paman Jiro. Tentang bagaimana semua ini bisa terjadi sementara Rin mengira sedang melanjutkan cerita. Di sisi lain, Ken dan Yoshio membahas bagaimana cerita ini dimulai.
“Paman, aku pulang,” ucap Rin. Paman Jiro terlihat sibuk, wajahnya serius membaca sebuah buku di dapur. Di depannya, hidangan makan siang tidak lagi mengepulkan asap tipis. Entah sejak kapan hidangan itu dibuat, yang pasti perlu dihangatkan lagi untuk mereka makan. “Oh, Rin, selamat datang,” balas paman Jiro menutup bukunya. “Bagaimana harimu?” “Buruk paman. Aku bahkan tidak tahu di masa apa aku tinggal sekarang, karena rasanya aku ada di antara masa lalu dan masa depan.” “Tepat sekali, Rin. Paman baru saja membaca buku ini. Di sini dijelaskan akan terjadi lipatan waktu setelah permintaan itu terkabul. Yang artinya, kamu bisa menemukan kebenaran masa lalu sementara kamu hidup di masa depan. Itu juga berarti kamu bisa mengubah masa lalu, tapi konsekuensinya bisa membuatmu tidak pernah dilahirkan.” Mulut Rin menganga, tidak paham yang paman Jiro jelaskan. “Ah, rumit sekali paman, aku tidak mengerti.” “Mudahnya, kamu tahu masa lalumu, dan itu menjadi alasanmu ada di sini,” jelas paman Jiro berusaha memberi pengertian sederhana. “Mereka yang pernah bertemu denganmu tidak ingat denganmu. Atau paman yakin, karena kamu terbangun di rumah sakit, mereka menganggapmu sudah meninggal,” tambah paman Jiro. “Memangnya apa yang membuatmu tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Kakakku. Aku dengar dari Ken dia yang menemukannya di bumi. Tapi seseorang meracuni kakakku.” “Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Rin?” “Aku tidak tahu paman. Aku tidak akan memaafkan pembunuh itu, tapi tanpa Ken, aku tidak bisa menemukan pembunuhnya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, paman,” sedih Rin.
Rin masuk ke kamarnya. Hujan tidak bosan-bosannya turun membasahi bumi. Rin menikmati hujan dari balik jendela, mengingat sesuatu yang bisa membuat ingatan Ken kembali. Sementara itu, sebuah suara memperingatkan Rin waktunya di bumi tidak akan lama lagi. Kurang dari 24 jam, penjaga dimensi planet kucing akan menjemputnya.
Rin merebahkan tubuhnya di atas kasur, menjadikan tote bag miliknya sebagi bantal. Sebuah benda membuat kepalanya sakit. Rin merogoh tasnya, mendapati sebuah benda bergambar kucing ada di sana. Mirip seperti gantungan kunci, tapi Rin ingat itu adalah pemberian Ken.
Dulu Rin menemukannya di selipan buku tua yang kata Ken adalah peninggalan kakeknya. Ken mengatakan, kalau Rin ingin menyimpannya silakan saja. Rin yang putus asa berpikir untuk mengembalikan benda itu besok. Beberapa jam sebelum Rin dijemput paksa pulang ke planetnya. Malam ini, Rin ingin menangisi perasaannya yang tidak mungkin terbalaskan oleh Ken, laki-laki yang berbaik hati menolongnya waktu itu.
Ken sedang sibuk di meja kasirnya, entah menghitung apa. “Ken!” panggil Rin. “Bisa kita bicara sebentar?” Ken mengamati sekelilingnya, toko sedang sepi, Ken memiliki waktu untuk berbicara dengan perempuan di depannya. Ken tidak mengenal perempuan itu, tapi selama di dalam tokonya, perempuan itu pelanggannya. Dan pelanggan adalah raja. Mereka duduk di meja baca berhadapan. Rin meraih benda yang ia temukan kemarin, memberikannya kepada Ken.
“Cuma mau ngembaliin ini. Aku harap ada kesempatan lain buat ketemu kamu, Ken. Aku pergi.” Rin beranjak meninggalkan toko buku. Di sisi lain, Ken menatap bingung benda bergambar kucing itu. Kepalanya nyeri ketika potongan demi potongan ingatannya kmebali. Ken ingat pernah memberikan benda itu untuk Rin. Ken yakin tidak ada orang lain yang tahu tentang benda itu.
Cukup lama sampai Ken mendapatkan kembali ingatannya yang hilang. Perempuan tadi adalah Rin. Rin masih hidup, permintaannya terkabul. Ken segera berlari mencari kemungkinan dimana Rin berada. Ken mendatangi rumah paman Jiro, tapi Rin tidak ada di sana.
Ken mendatangi setiap tempat yang menyimpan kenangan bersama Rin. Ken tidak menemukan Rin di tempat Yoshio. Ken tidak menemukan Rin di pantai. Tidak menemukan Rin di restoran pertama kali Rin bertemu paman Jiro.
“Rin! Kamu dimana?” teriak Ken yang putus asa di tempat terakhir yang mungkin Rin berada. Rin selalu menyukai pemandangan matahari terbenam dari bukit. “Rin!” teriak Ken lebih keras. Ken jatuh bertekuk lutut, menyesal tidak mengingat Rin. Ken tahu konsekuensi akan melupakan Rin. Seharusnya Ken menyadari kalau perempuan itu adalah Rin ketika jantungnya berdebar memeluk Rin di depan toko bukunya waktu itu.
Semburat oranye dikalahkan abu-abu langit. Awan hitam mendekat, berkumpul, tidak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi, membuat kuyup Ken sehingga tidak seorang pun menyadari Ken sedang menangisi kepergian Rin.
Paman Jiro pernah mengatakan konsekuensi lainnya. Dimana Rin akan kembali ke planet kucing, mau tidak mau. Terlambat sudah untuk Ken bisa bertemu Rin lagi. Ken tidak lagi memiliki kesempatan untuk memeluk Rin yang selalu membuat sikap dinginnya luluh seketika.
“RIIIINNNN!!!!”
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com