Wajah cantik itu termenung. Fitri galau, memandangi satu foto yang dia simpan dalam buku diarynya. Potret dirinya bersama sang mantan, Fauzan. Rampung setahun mereka putus. Hari ini, hari anniversary mereka yang ke-5 tahun, seharusnya. Gadis itu mendesah pelan, hatinya udah jengah mengelak, nyatanya dia masih merindukan Fauzan. Masih jaga hati untuk sang mantan. Padahal, dia yang memutus hubungannya dengan Fauzan. Tapi, dia juga yang tidak dapat melupakan.
“Seandainya waktu dapat diulang lagi,” Hati Fitri perih, kali ini sudah tak tertampung lagi. Air matanya meleleh, membasahi kedua mata dan pipinya.
“GUE MAU KITA PUTUS!” “GUE CINTA SAMA LO, TITIK!” Terbesit kata-kata terakhir yang Fauzan lantangkan ketika Fitri minta putus. Itu yang membuatnya sulit melupakan, laki-laki itu tetap mengutarakan kata cintanya bahkan saat Fitri kesal. Sekarang dia baru tau, betapa hampa hatinya tanpa kata-kata cinta yang biasanya dilontarkan Fauzan. Entah itu saat sedang chattan, saat kencan atau saat kumpul dengan teman-teman.
Jemari lentik itu menyeka kasar air bening yang masih mengalir dari matanya. “Gak, jangan diulang lagi deh, gue yakin ini bakal nyakitin Fauzan dua kali lipat.” Fitri menenangkan dirinya. Menarik napas berat. “Dia pantas bahagia.”
Kemudian dia memandangi cermin besar di kaca riasnya. “Kamu juga harus bahagia, Fit.” Ucapnya tegas, mengangguk mantap pada cermin.
—
Saat ini, Fitri menginjak umur 22 tahun dengan pekerjaan yang cukup membuatnya bertahan hidup. Fitri bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang barang dan jasa. Sebuah bengkel mobil.
“Berapa bulan mba kerja disini?” Fitri tersenyum pada customer yang mengajaknya bicara tiba-tiba. “Baru 2 tahun, pak.” Seorang pria rambut klimis itu memajukan bibirnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantes aja, saya baru lihat. Kan saya terakhir service disini sekitar 4 tahun yang lalu. Belum ada mba nya.” Fitri memejam sesaat, menahan napasnya. Dia berujar dalam hatinya, “Sumpah, gue gak nanya.” dengan muka datar yang kini dia tampilkan.
“Mba yang sekarang kurang ramah, ya.” Fitri menganga kecil, melongo dengar ucapan customer itu. Detik berikutnya, customer itu pergi dari hadapannya. Membeku, Fitri terpaku pada punggung si customer yang makin tak terlihat. Mendesah pelan, entah apa salahnya, setiap hari ada aja customer yang bertingkah diluar ekspektasinya. Terlalu banyak orang yang sulit ditebak, pikirnya.
Fitri kembali memfokuskan dirinya pada komputer. Pak Revi, manager koordinasi melintasi ruang kerja Fitri. Melihat customer yang tidak puas dengan pelayanan Fitri, dia menegur Fitri agar lebih ramah dan lebih lembut lagi memperlakukan customer.
“What?” Fitri mengangkat kedua tangannya. Mendengus, dengan rasa dongkol yang menyelimuti hatinya, Fitri lanjut bekerja.
Jalanan selalu ramai, meski kini turun hujan, orang-orang tetap keluar dan kendaraan memenuhi jalan raya. Kebanyakan yang melintas adalah mereka yang memiliki pasangan, Fitri memandangi satu pasangan yang sedang berbagi jaket. Dia juga pernah melakukan hal yang sama dengan Fauzan, kala itu Fitri hanya mengenakan T-shirt pink dan skinny jeans. Cuacanya cerah sebelum pergi, tapi siapa sangka akan turun hujan kala dia dan Fauzan berada di jalan. Fauzan melepas jaket hoodienya dan memakaikannya pada tubuh Fitri, tampak kebesaran. Fauzan tertawa kecil, membuat Fitri mengerucutkan bibirnya.
“Lepasin gak!” “Nanti kamu sakit, sayang.” “Mendingan aku sakit daripada aku kayak gini,” Volume tertawa Fauzan meningkat, membuat Fitri kesal. “Ih nyebelin deh!” “Yaudah aku lepas deh,” Fauzan menyingkap jaketnya, lalu membuka sleting jaket itu. Memakaikan lagi jaket itu pada Fitri, hanya sebelah, karena sebelahnya lagi diisi dengan tubuh Fauzan. “Aku kanan, kamu kiri. Oke?” “Gak muat,” Fauzan melingkarkan tangannya di pinggang Fitri, menariknya untuk lebih dekat dengannya. “Kalo gini, pasti muat.” Fauzan menatapnya, bibir itu mengukir senyuman yang sampai saat ini masih membekas dalam benaknya. Tanpa dia sadari, sekarang dia sedang senyum-senyum sendiri.
Seakan diseret ke kawah kenyataan, senyum Fitri berangsur luntur. Tidak ada senyuman, tidak ada Fauzan, semua itu hanya kenangannya saja. Kenangan indah yang seharusnya dia lupakan. “Please banget, deh! Gue udah capek inget dia terus! Gue mau lupa!” Fitri mengomeli diri sendiri, menampar pipinya agar segera tersadar. Menggeleng, membuyarkan segala isi kepalanya yang tidak absen memikirkan Fauzan. Bahkan dia menepuk jidatnya guna membuang jauh-jauh pikirannya.
Fitri mengangkat tas keatas untuk melindungi kepalanya dari hujan, dia bergegas cepat menuju rumahnya. Sampai di rumah, Fitri mengganti baju dan mengeringkan rambutnya. Menyeduh teh hangat, lalu merebus mie kuah yang dicampur dengan sawi dan telur. Sahabat Fitri, Keyla. Tiba-tiba menelepon Fitri, dahinya mengernyit. “Gak biasanya nelpon.” Fitri mengangkatnya. “Hallo, Key?” “Gila, Fit! GILA!!!” Seru Keyla heboh banget, sontak saja Fitri makin bingung dibuatnya. “Apaan sih astaga, belum cerita udah gila gila aja lo?!” Sewot Fitri yang gak paham maksud Keyla. “Fauzan, Fit!” “Kenapa Fauzan?” “Dia mau nikah! Masa lo gak tau? Buka grup alumni gih!” “Hah? Serius woy!!” Keyla mengerang kesal. “Yee, kalo gak percaya lihat aja.” “Yaudah bentar!” Fitri memutus telpon Keyla, buru-buru dia membuka grup Alumni. Dan benar, berita itu bahkan disebar oleh Fauzan sendiri. Fitri menganga, tak percaya dengan yang dilihatnya, Fitri klik kontak Fauzan, lantas meneleponnya. “Hallo, Fit?”
Bulu kuduk Fitri tegap, derap hatinya mulai tak beraturan, dan bibirnya gugup, dia kembali merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Aneh memang, tapi Fitri menyukainya. Tidak, lebih tepatnya, dia merindukan rasa-rasa seperti ini. Fitri teringat kembali dengan berita di grup alumni, meski awalnya ragu, Fitri akhirnya memutuskan untuk menanyakan itu pada Fauzan.
“Fauzan, aku mau nanya,” “Nanya apa?” “Kamu…” Fitri panas dingin, mengepal tangannya dan meniupnya untuk menghilangkan gugupnya. Menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Kamu beneran mau nikah?” “Iya Fit, hari minggu acaranya, kamu datang juga ya.”
Tidak ada yang ingin hatinya dipatahkan, tidak ada yang ingin harapannya dihancurkan, tapi ketika takdir tidak mempersatukan. Seseorang yang selalu terucap dalam do’amu pun, tetap tidak bisa menjadi milikmu. Maka satu-satunya cara adalah melupakannya dengan cara mengikhlaskan. Dengan kekehan getir, Fitri berbicara pada Fauzan. “Oh ya.. Selamat ya, semoga acaranya lancar.” “Thanks, Fit.” Klik!
“Fauzan…” Malam itu, menjadi malam yang paling menyakitkan bagi Fitri. Kepingan hati yang sudah dia usahakan untuk menyatu, luka yang sudah lama ia obati agar sembuh, semuanya sia-sia. Yang tersisa hanya rasa sakit, sakit dipatahkan untuk kedua kalinya.
Keesokan harinya, Fitri berangkat kerja dengan mood yang tidak bagus, tidak bersemangat dan tidak bergairah. Kakinya melangkah ogah-ogah menuju tempat kerjanya.
“Fitri, tolong kamu siapkan estimasi untuk mobil merah itu.” “Baik, pak!”
Sesaat Fitri dapat melupakan kesedihannya dengan sibuk bekerja. Diluar kerja, dia kembali termenung. Menatap kosong lantai, mengunyah makanan dengan sangat pelan.
“Kamu kenapa, Fit? Sakit gigi?” Pak Revi belok, mendadak duduk di hadapan Fitri. “Gak kok, pak.” Jawab Fitri singkat, menatap Pak Revi sambil mengekspos senyum karir. “Saya kira kamu sedih karena saya omelin kemarin, maaf ya.” Pak Revi mengambil burger yang dibelinya, lalu makan perlahan. “Gak pak, santai aja, saya udah biasa diomelin sama bapak.” Pak Revi mengangguk, memperhatikan Fitri yang tengah mengunyah makanannya. “Saya heran deh, kamu kok selalu manggil saya pak? Kita kan cuma beda 2 tahun.” Fitri menoleh, menatap pak Revi cukup lama. “Hmm… Sebenarnya, saya juga mau manggil kak sih, tapi ini kan tempat kerja bukan sekolahan, pak. Lagian juga pak, gak enak lah kalo pak manager dipanggil kakak, aneh aja kedengarannya.” Pak Revi mengangguk paham. “Betul juga, ya sudah,” Pak Revi bangkit dari duduknya. Lalu menaruh sebuah kotak di meja itu, yang membuat Fitri melebarkan matanya. Memandangi pak Revi dengan tatapan penuh tanya.
“Hari minggu pakai ini ya, saya jemput kamu jam 10 pagi.” “Lho, pak?” Fitri bingung, dalam waktu dekat ini tidak ada acara ulang tahun ataupun acara spesial untuk dirayakan. Mengapa pak Revi memberinya kado? Alih-alih menjawab, pak Revi meninggalkan Fitri dengan sejuta tanda tanya di benaknya.
—
“Gaun?” Dia melihat pantulan dirinya dalam cermin. Gaun yang itu sangat cocok ditubuhnya, apalagi memang warna itu favoritenya, merah marron. Ini ganjil, mengapa pak Revi memberinya gaun dan mau menjemput hari Minggu? Mata cokelat pekat itu menyipit curiga. “Jangan-jangan dia mau jadiin gue pasangannya di acara pesta?” Fitri mengangguk cepat. “gue yakin banget, dia kan jomblo.” Masa bodoh, Fitri kembali tersenyum pada cermin itu. “Gakpapa, gue cuma perlu dandan cantik, biar dilirik sama cogan -cowok ganteng- disana.”
—
Rumah Fitri ramai suara klakson dari 3 menit lalu, pemilik SUV keluaran terbaru itu turun, hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi, sebelum sampai depan pintu, gadis yang ditunggunya sedari tadi muncul dari balik pintu. Sontak saja, pak Revi melebarkan mata dan mulutnya, terpesona dengan paras cantik gadis di hadapannya. “Pak! Ayo berangkat!” “O-ke, ayo.” Pak Revi menarik bibirnya mengukir senyuman lebar. Keduanya segera masuk mobil dan pergi.
—
Fitri tidak salah lihat, udah lima kali dia mengucek matanya, pak Revi benar-benar membawanya ke acara nikahan Fauzan.
“Pak, kita ngapain disini?” “Ikut saya aja.”
Pak Revi mengisi sela-sela jemari Fitri, menggenggam tangan itu dengan erat. Sontak saja gadis itu menatap tangannya. Badannya terhuyung akibat kuatnya tarikan pak Revi, mereka melangkah berbelok ke ruang pengantin.
“Lah, bukannya itu Fitri?”
Pak Revi dan Fitri menatap pengantin pria yang udah rapih pake tuxedo. Pak Revi mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Fitri. “Kita ucapin selamat atas pernikahan lo!”
Fitri memiringkan kepalanya, menatap pak Revi yang tengah menatapnya juga. “Kita nyusul kok, kamu siap ngelupain Fauzan? Saya akan menikahi kamu secepatnya.”
Perempuan cantik itu menganga kecil, lalu menoleh Fauzan. Meneguk salivanya sebelum berkata, “Mungkin, emang udah waktunya gue move on dari lo, Fauzan.” dengan sangat yakin. “Kita emang gak jodoh.” Membuat muka Fauzan memerah, setelahnya mereka keluar dari tempat itu.
-End-