Percuma usaha move on berulang kali kalau takdir mempertemukan kita lagi… ~ Ilana Saskita
Sunyi. Ilana menatap hampa ruangan berdiameter enam meter yang kini ia tempati. Dinding berlapis pink (warna favoritnya) tak serta merta membuatnya nyaman. Justru ia merasa asing dengan hal disekitarnya saat ini.
Ujung matanya melirik seorang cowok yang terbaring tengkurap di sebelahnya. Tak berniat membangunkan meskipun dirinya ingin. Satu-satunya hal yang ia lakukan hanya menatap benda persegi enam inci di genggamannya. Berharap ada hiburan untuk manghapus rasa bosan di benaknya. Namun nihil. Kuota internetnya habis. Wifi di rumah ini pun disandi. Dan malangnya ia tidak tahu sandinya apa.
Ilana ingin keluar tentu saja. Tapi tak bisa karena pintu kamar yang terkunci rapat. Posisi kamar yang berada di lantai dua membuat gerakannya tak bisa luas. Bukannya berhasil kabur, malah jadi penghuni rumah sakit karena jatuh dari lantai dua. Dan Ilana tidak akan memilih opsi itu.
Menghela nafas, Ilana kembali mengingat alasan mengapa dia bisa terdampar di kamar bernuansa pink pastel ini.
Ilana menggerutu kesal karena sang Papa mengajaknya bertemu keluarga jauh disaat Ilana sudah membuat janji dengan klien yang rencananya akan memesan kudapan dalam jumlah yang cukup besar di cafe miliknya.
Dan terpaksa ia merubah janji untuk bertemu dilain hari. Namun sial, kliennya malah membatalkan semuanya. Mengecap usaha miliknya tidak memiliki loyalitas terhadap kepuasan pelanggan. Jelas, Ilana marah. Usahanya yang ia rintis sejak masa kuliah dengan keringatnya sendiri dicaci maki begitu saja? Tanpa tedeng aling-aling Ilana menyiram kepala perempuan bermulut bisa itu dengan sirup yang sengaja ia pesankan untuk sang klien lalu melenggang pergi saat sumpah serapah ditujukan padanya.
Ilana menatap rumah didepannya dengan mata melotot. Bukan. Bukan karena dinding rumah itu yang semuanya berpoles warna pink salem. Dan, bukan juga karena patung ikan yang tidak memiliki kepala itu yang membuatnya terkejut. Tapi karena…
“Ilana? Kamu benar Ilana kan?”
Saraf Ilana membeku. Matanya tak mengedip barang sedetik pun meskipun sang Papa sudah menyenggolnya berulang kali. Kakinya pun bergetar, kala cowok yang tadinya berada di pintu masuk kini mulai melangkah ke tempatnya berdiri.
“Halo Om, apa kabar?” Ujar cowok itu. Kini ia menjabat tangan kanan Papa Ilana dan dibalas dengan senyuman oleh pria parubaya itu.
Ilana masih diam disana, bahkan ia tak sadar jika sudah duduk di sebuah sofa empuk dengan cowok tadi disebelahnya. Dan, Papanya kini asik berbincang dengan seorang pria berkacamata juga seorang wanita yang tampak anggun diusianya yang mungkin sepantaran dengan Mamanya.
Tunggu. Tadi Papa Ilana bilang jika akan mengunjungi rumah saudara jauhnya. Dan sekarang, ia berada di rumah yang sebelumnya pernah ia datangi semasa sekolah dulu. Rumah cowok yang ia taksir semasa sekolah. Atau mungkin sampai kini. Sampai disana Ilana tidak bisa berfikir jernih. Apalagi setelah telinganya mendengar ide konyol para orangtua, membuatnya refleks bergerak dan tak sengaja menyenggol gelas berisi teh hingga isinya tumpah.
“Aduh, maaf Om, Tante. Enggak sengaja, aku bakal bersihin.” Ucapnya seraya membungkuk untuk membersihkan pecahan kaca dilantai. “Udah nggak usah, biar Tante aja. Kamu duduk lagi ya Lan,”
Ilana hanya mengangguk mendengar suara lembut itu. Kembali duduk dan matanya tak sengaja bertatapan dengan cowok itu. Buru-buru ia memalingkan wajahnya dan meneguk teh didepannya sampai habis.
“Jadi gini Lana, Om Kahfi sama Tante Maya itu saudara jauhnya Papa. Dan otomatis, Haikal cowok disamping kamu itu sepupu kamu.” Matanya melirik Haikal yang tak berekspresi. Mungkin Haikal sudah diberitahu sebelumnya, jadi cowok itu tak terkejut saat ini.
“Tapi Papa kok nggak pernah cerita sih sama Ilana? Papa kan tahu kalau Haikal ini teman SMP aku,” dan cinta pertama aku. Lanjutnya dalam hati.
“Bukan gitu sayang,” Bukan Papanya yang menjawab, melainkan Om Kahfi. “Papamu itu baru tahu setelah Om datang ke rumah kalian membawa surat dari Kakek Nenek kalian.”
Ilana mengangguk samar. Meski belum terlalu puas dengan jawaban Om Kahfi. Mungkin, pulang nanti ia akan meminta penjelasan yang jelas pada Papanya.
Teringat sesuatu, Ilana kembali bertanya. Masa bodoh jika setelah ini Haikal menganggapnya tukang kepo atau apapun itu. “Tadi Ilana nggak sengaja dengar rencana Om sama Papa. Maksudnya apa ya?”
“Disini kamarnya cuma ada 3, itupun yang satu buat pembantu. Jadi, nanti Ilana sekamar sama Haikal nggak apa-apa ya.” Jawaban Tante Maya dari arah dapur menjawab kegelisahan Ilana. “Maksudnya apa ya Tante. Ilana nggak ngerti ini?” Tante Maya tersenyum, mengambil sisi disebelah suaminya. “Kamu belum dikasih tahu sama Papa kamu?” Ilana menggeleng. “Jadi gini Ilana, mulai hari ini kamu bakal tinggal di rumah ini.”
Bahu Ilana merosot. Rencana macam apa ini sebenarnya. Haikal yang berada disebelahnya sepertinya sama sekali tidak tidak terganggu dengan ucapan Tante Maya. Tangannya memegang erat ujung kemeja miliknya.
“Tinggal disini? Ngapain?” Sadar ucapannya sedikit meninggi, Ilana tersenyum canggung. “Maaf, maksudnya Ilana kan sudah punya tempat tinggal Tante, Om. Jadi kenapa harus pindah tinggal disini?” Perempuan cantik itu tersenyum ramah, memandang Ilana dengan sorot lembut khas seorang Ibu kepada putrinya. “Mungkin kamu bisa tanyakan itu sama Papa kamu, sayang.”
Ia memandang Papanya meminta penjelasan. Tapi yang ia dapat malah gelengan kepala. Maksudnya apa? Tujuannya apa? Batin Ilana menjerit meminta kejelasan. Namun, sang Papa malah melenggang pergi bersama Om Kahfi setelah mengusap lembut puncak kepalanya. Hal yang sangat jarang dilakukan Papanya. Tapi bukan itu fokusnya sekarang.
Ia beranjak, berniat menyusul Papanya. Haikal malah menarik pergelangan tangannya, membawa Ilana ke kamar cowok itu dan menguncinya. Ilana sempat berontak tapi ia kalah dengan cengkraman tangan Haikal di pergelangan tangannya. Ia yakin setelah ini, tangannya akan memerah.
“Ish, lo apaan sih Kal. Gue mau pulang sekarang. Lo ngapain bawa gue kesini sih?” Berniat membuka pintu, tapi Haikal menghalanginya. Lagi. “Kamu diam, Papa kamu nitipin kamu disini. Dia sama Mama kamu dan juga orangtua aku bakal pergi ke luar negeri buat nyelesain proyek disana.” Ujar Haikal. Ilana dibuat melongo. Alasan macam apa itu?
“Hubungannya apa sih? Gue udah gede kalau itu yang mereka khawatirin. Umur gue udah bukan abg lagi Haikal. Gue udah 23 tahun asal lo tahu, dan gue udah punya penghasilan sendiri.” Ilana berteriak frustrasi. Merasa tidak masuk akal dengan alasan dari para orangtua. “Mereka takut kamu kesepian, Ilana.”
Demi Tuhan. Kalau orangtuanya mengkhawatirkan dirinya akan kesepian, itu bukan alasan yang tepat. Di rumahnya ada Minah, asisten rumah tangga yang usianya tak jauh berbeda darinya. Dan lagi. Ini bukan kepergian pertama orangtuanya ke luar negeri. Bahkan di usia 12 tahun, Ilana sudah terbiasa tinggal sendiri. Kesepian bahkan sering menjadi nama tengahnya.
“Tahu deh, gue capek.” Ujarnya pasrah. Ilana menghempaskan tubuhnya pada sisi ranjang milik Haikal. Mencoba menerima keputusan sepihak dari orangtuanya. Tapi, kenapa harus tinggal satu atap bahkan satu kamar sama orang yang ditaksirnya? Apa orangtuanya berniat membuang Ilana karena selama ini ia sering membuat ulah? Tapi tidak mungkin, kalaupun iya Ilana akan berubah asal hukumannya bukan dengan cara seperti ini.
Atau jangan jangan selama ini Ia bukan anak kandung Papa dan Mamanya? Dan mereka berniat mengembalikan Ilana ke panti asuhan atau lebih parahnya menjual Ilana ke pengusaha kaya untuk menebus biaya kehidupan dirinya yang tak sedikit itu. Entahlah. Pikirannya buntu. Hingga pemikiran-pemikiran absurd berkelana dalam benaknya.
Dan disinilah Ilana sekarang. Berada satu ruangan dengan cowok yang sempat ia suka semasa sekolah dulu, yang sejam lalu resmi menjabat menjadi sepupu dadakannya. Rasanya seperti ada ribuan panah menancap di dadanya. Sakit dan kecewa.
Diantara semua mimpi buruknya selama ini, menurut Ilana keadaannya saat ini jauh lebih buruk dari apapun. Tak pernah terbersit sedikitpun dirinya harus berada pada situasi seperti ini. Entah ini bencana atau berkah untuknya.
Cerpen Karangan: Nanainii Blog / Facebook: Nanainii