Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanaman yang kusirami selama ini akhirnya tumbuh subur, membuahkan hasil yang sesungguhnya, memekarkan bunga yang elok dipandang, mengundang lebah seolah melambai pada siapa saja mengajak untuk kemari. Hal itulah yang kuhadapi ketika melihat muridku sendiri yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik nan jelita.
Dalam bayang aku tak berharap lebih untuk mengingat jasaku, atau tamak sedikit pun. Aku hanya menengok kembali ke masa itu disaat saat dulu aku mengajarnya di kelas 6 MI (Madrasah Ibtida’iyah) sedang usiaku saat itu masih 22 tahun. wajahnya belum menarik sama sekali, ingusnya masih sering membasahi hidungnya seolah tak pernah copot dari hidungnya, mulutnya sangat cerewet pada waktu itu ketika melihatnya sedang bertengkar dengan teman sebangkunya.
Nampaknya kini ia sudah berbeda, dari yang dulu, setelah sekian lama tak bertemu, mungkin sekitar 8 tahun lebih lamanya, dan sekarang ia tumbuh menjadi gadis yang anggun dan sejuk dipandang. Subhanallah maha suci bagi sang Pencipta… Seolah aku baru melihat durian runtuh didepan mata, sosoknya yang dulu sungguh berbeda dengan yang sekarang. Kupikir dia sama seperti gadis lainnya, memang ketika dipandang sekejap tidak terlihat sosok yang sesungguhnya, memang mutiara tidak akan pernah terlihat indah jika cangkang kerang tak pernah terbuka. Namun Rasanya lebih tersentuh ketika mendengarnya melantunkan ayat-ayat suci yang mulia, seolah menjadi peringatan, ancaman sekaligus penenang bagiku.
Seingatku dulu dia tidak begitu mahir dalam pelafalan Al-Qur’an, namun begitu mendengarkan suaranya di acara hajatan tetanggaku rasanya aku tambah tidak percaya bahwa benar-benar dia. Aku yang hanya menjadi juru laden (sinoman, panitia) hanya bisa melihat, mendengarkan, dan skaligus mengingat bahwa yang duduk didepan deretan para tamu-tamu sepesial itu benar benar dia, rasanya sungguh heran. Begitu sang MC menyebut namanya rasanya aku sedikit ragu. Dia berjalan setengah berlutut dengan ciri khas adat jawa, yang menandakan kerendahan hatian seseorang, namun wajahnya tak nampak begitu jelas.
Aku masih berusaha meyakinkan diriku, bahkan aku tak pernah berkedip ketika namanya dipanggil. Baru setelah dia duduk dan menghadap kepada para penonton dan tamu undangan dan mengucapkan salam “ASSALAMUALAIKUM WR WB.” Wahhhh… suaranya sangat sejuk, enak didengar, lembut tidak terbata-bata seperti sudah biasa menghadapi orang banyak. Tak terdengar suara yang agak serak, terbata-bata, ataupun grogi. Justru yang keluar dari mulutnya sungguh mencerminkan dirinya yang sesungguhnya.
Waktu begitu cepat, rasanya aku baru saja melihatnya, tapi tak sempat bertegur sapa atau bahkan bertukar nomor telepon, dan tiba-tiba saja acara sudah selesai. Tapi aku hanya sempat bertatap mata dari sekitar jarak 5 meter. Sebenarnya aku sangat ingin mendekat untuk sekedar bertegur sapa, menanyakan kabar atau hanya berbasa-basi tentang keadaan saat ini. Namun tugasku saat ini hanyalah menjadi seorang sinoman yang hanya mengantar makanan atau menjaga acara supaya tetap lancar. Tapi beruntungnya aku sudah bisa mengenali dirinya yang sekarang.
Kumandang maghrib sudah bernaung di segala sudut menara masjid. Meng isyaratkan bahwa semua pekerjaan hendaknya diberhentikan. Ketika hari mulai gelap. Akhirnya acara selesai dengan lancar, semua orang sibuk dengan aktivitasnya berbenah-benah, beres-beres kebutuhan acara yang telah berlalu, lalu aku memutuskan pulang ke rumah untuk istirahat. Dalam baring di kasur aku tetap tidak bisa lupa tentang kejadian barusan yang mencoba mengingat memori lama, menyelami lautan masalalu sekaligus mengaguminya dimasa sekarang.
Mungkin dulu aku begitu meremehkannya, sampai-sampai aku hampir lupa namanya jika si MC tadi tidak menyebutkan namanya. Aku sungguh menyesal, kenapa dulu tidak aku spesialkan jika sebenarnya dia adalah anak yang istimewa dari teman-temannya.
Tanpa berasa hari sudah malam, waktunya bersiap-siap untuk menghadapi kenyataan dan kerasnya hidup dipagi hari. Lampu kamar kumatikan namun bayang-bayang wajah nan bersinar itu terus menghantui pikiranku, menjaga mataku agar tetap terjaga. Dalam kesunyian aku hanya bisa mengucap doa, harapan-harapan yang semestinya, tidak muluk-muluk, minta doa keselamatan lahir batin, doa jaminan dimasa depan dan satu lagi yang sebenarnya aku agak tidak pede mengucapkannya, yaitu doa minta jodoh yang seperti muridku yang kutemui tadi. Dalam batin, mungkin aku tak pantas berdoa yang tidak-tidak.
Aku mengurungkannya menyimpannya dalam-dalam seolah jangan sampai terucap agar tetap bersemayam dalam kalbu, dan mendarah daging menjadi kekuatan baru. Aku takut jika doa’ku malah dibarengi hawa nafsu. kata emakku: “Segala sesuatu yang dibarengi hawa nafsu hasilnya kurang baik.” Oleh karena aku memegang teguh perkataan orangtuaku, aku hanya bisa berdoa yang semestinya saja “ndak boleh muluk-muluk” katanya.
Cerpen Karangan: Nahru Jauhar Blog / Facebook: Jawaharlal Nehru 00.06 senin – 15 – Agustus – 2022