Ya, Tuhan kenapa harus seperti ini?
Setelah tiga chat WhatsApp-ku tidak dibalas sedari tadi pagi olehmu, aku mengumpat sendirian dalam kamar, bicara pada angin, tembok dan malam yang gelap gulita. Sebab aku melihat pesanku yang kukirim padamu pagi tadi, tetap tak ada balasan sampai malam ini.
Kejadian ini bukan hal yang langka bagiku. Karena, akhir-akhir ini kamu acuh tak acuh dengan chatanku-ku. Aku tidak tahu apa yang ada dibenakmu, yang jelas ini membuatku resah dan gelisah. Padahal aku ingin mengasah perasaanku yang lama terpanah.
Tiga minggu yang lalu, kita biasa saja berbicara di WhatsApp. Banyak ujaran yang kuutarakan, begitu pun denganmu. Banyak tanggapan yang membuatku senyum sendirian. Padahal dari hal itu aku berharap sangat, kekuatan yang aku bagung semakin kokoh karena responmu yang begitu membahagiakan, begitu aku berpikir. Dan kalau tidak salah aku pernah mengatakan, “Jika menunggu bisa menyakinkan perasaan dua insan. Izinkan aku melakukannya,” tulisku di dinding WhatsApp yang—kalau tidak keliru lagi—kukirimkan padamu.
Sebelum aku melanjutkan cerita ini. Aku minta maaf, sebab aku lupa belasanmu perihal jawaban pertanyaan yang di atas. Begitulah pikiranku, selalu lupa dengan apa yang harus aku ingat. Andai kau tahu apa yang kupikirkan saat menulis cerita ini. Kurasa kamu sudah bisa menebaknya. Benar, yang kuingat ketika menulis cerita ini. Ya, Cuma kamu, tak ada yang lain. Karena bagiku ada satu yang masih belum aku tuntaskan dan itu menjadi tanda tanya besar. Bagaimana caranya membahagiakanmu dihari esok? Jika pertanyaan ini tidak membuatmu berat, maka bagiku itu sebaliknya. Pertanyaan ini sungguh berat.
Tapi aku berharap dengan keberatan yang kuemban, entah sudah berapa lama, kamu mengerti. Bahwa disini (pesantren) aku benar-benar berharap besar, jika engkau bisa menerimanya dengan cinta, bukan karena paksa atau todongan orang terdekatmu. Tapi, entahlah semua keputusan ada pada dirimu.
Sedari awal aku tahu, hal ini akan menjadi benalu, entah bagiku atupun bagimu. Karena aku tidak tahu, setelah aku mengalami sakit seperti ini, bukan bulan di tahun ini, tapi di bulan-bulan sebelumnya pun begitu. Aku tidak tahu, setelah tiga minggu, sikapmu berubah sebegitu cepat terhadapku, apatis, mungkin aku mengibaratkannya seperti itu. Untuk memahami hal itu aku belum bisa, sebab banyak hal yang harus aku korbankan. Bukan hanya perasaanku, optimisku mengejarmu akan luntur dan lunak seketika. Aku tidak mau hal itu terjadi dan sirna begitu saja. Karena tugasku belum selesai, membahagiakanmu di hari esok.
Sedari tadi, setelah selesai salat tarawih aku masih belum membuka aplikasi WhatsApp-ku. Karena aku tidak mau melihat namamu yang di bawahnya centang dua warna abu-abu. Andai kau tahu, setiap aku melihat hal itu, sesuatu yang tajam seolah menusuk tubuhku, dan serasa ada air yang pelan mengalir keluar dari pelupuk mataku. Kurasa itu adalah air kerinduan yang diacuhkan. Jari-jariku ketika ingin membuka kontakmu, aku tidak bisa. Dan bila kubuka, aku bingung harus menuliskan apa, karena setiap apa yang kukirimkan tidak pernah kau baca, mengharap balas pupus sudah. Padahal aku berharap sangat, ketika membuka aplikasi WhatsApp, tertera namamu yang di bawahnya centang dua warna biru, lalu ada tulisan mengetik berwarna hijau. Tapi itu rasanya hanya harapan fatamorgana.
Semuanya raib, penantian yang kuharapkan sia-sia ditelan waktu dan waktu itupun tidak bersahabat denganku. Malah waktu menjelma iblis yang tiba-tiba memasuki tubuh dari waktu itu sendiri. Lalu membuatmu enggan untuk membalas chat-ku. Sempat aku berspekulasi, tidak ingin mengabarimu selama satu bulan atau barangkali sampai entah kapan waktunya. Tapi itu Hanya angan. Dan aku pastikan tak akan pernah terjadi. Sebab dalam pengejaran yang kulakukan selama ini masih belum menemukan hasil. Karena aku hanya ingin tahu kebahagiaan yang akan kudapat bisa diukur dari senyum ranummu?
Terlalu pelik, sehingga tak dapat kusangka, setelah kaum sarungan dan sampiran kembali ke tempat suci itu. Aku masih belum memberimu kabar dan kau sebaliknya. Dalam angan aku memang segaja, dalam hati aku tak bisa, sebab rindu akan suaramu, tawamu dan segalanya tentangmu, terlalu memborgol hatiku untuk mengatakan iya terhadap anganku. Dan sekarang aku sadar, melakukan hal itu salah, tapi aku mencoba pasrah, menghadapi ujian yang membuatku gelisah dan aku berharap kamu tahu bagaimana menjadi orang yang gundah, karena sang pujaan tak sesuai arah.
Di hari itu, Jumat yang cerah, aku ngobrol ngalur-ngidul dengan temanku, Rosid. Aku dengar kamu sudah kenal dengannya. Dan di pagi itu kamu asyik ngobrol dengannya lewat WhatsApp. Aku yang melihatnya benar-benar terpukul, cemburu jangan ditanya. Tapi cemburuku bukan kerena kau asyik dengannya, melainkan aku cemburu pada waktu yang tak memberikan kesempatan padaku untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang kau lakukan waktu itu. Dan aku juga tidak bisa menuliskan sesuatu untukmu, meski sekedar berkabar.
“Sid, kamu chatingan sama siapa?” tanyaku ingin tahu. Dia menoleh, sambil senyum. Aku heran. “Sama anu dan punya kamu,” jawabnya diselingi senyum, lebih rekah dari yang tadi. “Aih!!! memang dia ada dimana, Sid?” satu pertanyaan kulontarkan lagi. “Katanya sih, ada di pondok, tapi kalo anu masih ke pasar, mau beli sesuatu,” dia menunduk lalu menjawab dengan wajah lesu. Dalam hati aku berucap Alhamdulillah. Semoga kamu selalu dipayungi keselamatan.
Tak lama lengkingan qiraat Jumat terdengar nyaring. Aku pulang, tak lama saat aku masih beberapa langkah. Kulihat Rosid sedang berbicara dengan seseorag lewat Hp.
“Siapa, Sid?” tanyaku. “Anu… anu.. punya kamu,” ucapnya sambil mengarahkan kameranya padaku. Aku salah tingkah, dan sembunyi dibelakang Rosid. “Coba kasihkan ke orang dibelakangmu,” suara yang tak asing kudengar. Suara yang telah lama mengedap dalam gendang telingaku. Dan suara yang kuharap setiap mengirim pesan suara dengannya atau berangkali suara yang telah lama kurindukan setelah masa ingusan, dulu. Benar itu suaramu, suara bidadari yang berlesung pipi. Aku mengambil Hp Rosid, tapi kau tak ada di dalam layar kaca.
Saat sore bertandang, aku mengabarimu dengan besar harap, kamu membalasnya. Beribu-ribu beyangan seolah mengahantuiku. Waktu yang kuharapkan terkabulkan di hari itu. kita asyik ngobrol, sempat aku menelfonmu lewat Vidio Call. Kau mengangkat, aku bahagia tiada kira, tapi sayang, kau tidak berbicara dengangku. Tak lama kau mematikannya, itu pun karena permintaan orang yang kamu ajak bicara, temanku maksudnya.
Setelahnya, ada pesan gambar darimu. Foto plastik Beng-beng yang pernah kukirimkan tahun lalu, aku tersenyum, bangga dan bahagia tak bisa aku bedakan. Kamu masih menyimpan usahaku mengejarmu. Ucapku pelan.
Andai selama satu bulan itu kau mau menerima Vidio Call yang selalu kuajukan, dan memang kamu sempat mengangkatnya, tapi kau mengalihkan wajahmu dari layar Hp-mu. Pasti hal itu lebih bermakna. Permintaanku ini aku tunggu di bulan yang sama. Ya.. meski yang kumau hanya kamu menghargai apa yang telah aku lakukan dan itupun rasanya tidak seberapa.
Sebanarnya aku tahu, memetik mawar itu tidak mudah, sebab duri-durinya dengan mudah menusuk dan melukai kulitku. Maka dari itu, aku tidak pernah berhenti berjuang, karena berjuang tak akan ada guna jika tanpa usaha.
Annuqayah, 29 Januari 2020 Teruntuk Zet-El Perempuan yang selalu dalam angan.
Cerpen Karangan: Muhtadi.ZL Blog / Facebook: Muhtadi.ZL * Penulis adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) dan Pengurus Perpustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis Kreatif (KPK) dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lub-Sel. Menulis Esai, Resensi dan Cerpen serta karya tersebar dibebrapa media. Bisa di hubungi di akunnya Fb : Muhtadi.ZL dan Surelnya Email: azzamdy09[-at-]gmail.com