Ini tentang dirimu dan kerinduan yang selalu membunuh diriku. Aku selalu mengenangmu lewat cerita-cerita berulang. Saat segala sesuatu tak layak lagi kutemui, maka kenanganlah rumah yang lebih sering kujenguk untuk mengingat dirimu. Aku mengingatmu dan segudang kisah yang pernah kita rajut. Aku selalu mengingat tentang ini: kata, puisi dan sejumlah intuisi serta sejumlah persoalan kehidupan. Semua itu yang selalu membuatku trauma sampai lupa nama. Dan pada senja hari ini saat bumi masih saja terguyur hujan, rinai kenangan akan dirimu kembali memadati jendela ingatanku.
Natalia, begitu namamu. Singkat. Sesingkat pertemuan kita. Tiga bulan, tidak lebih. Perkenalan yang sudah kita rajut bersama di suatu hari yang sungguh benar aku lupa namanya. Tetapi yang pasti bahwa waktu itu hujan, dan engkau begitu setia menjadi payung bagiku. Kita akhirnya sama-sama basah karena hujan. Ini adalah suatu kekonyolan yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal.
Kita menjejaki lorong kampung untuk pulang. Kau menawariku untuk singgah sebentar di rumahmu dan aku menerima tawaranmu. Sesampainya kita di sana, kau melayaniku layaknya seorang tamu. Kau membuatkan tiga gelas teh. Segelas untukmu, segelas untukku, dan segelas lagi untuk cinta dan pertemuan kita. Akh.. kau ini, selalu melahirkan sesuatu yang diluar dugaanku: romantis, puitis, dan abstraktif.
Akhirnya, kita sama-sama menyaksikan hujan jatuh dari beranda rumahmu. Ada juga cerita dan gelak tawa yang selalu meledak. Sambil sesekali kita menyeruput teh manis buatan tanganmu. Aku masih ingat benar satu saat itu. Kau katakan bahwa kehidupan itu seperti segelas teh yang butuh digulai. Butuh pula lidah untuk memilah rasa sebelum menelannya. Aku selalu berdecap kagum dengan dirimu sebab kau begitu sempurna memaknai hidup. Tetapi waktu itu aku selalu membatin, apakah ini menjadi pertanda kesetiaanmu padaku Natalia, sementara jelas-jelas nyatanya bahwa aku lebih memilih Dia sang Maha Setia? Dia yang sudah menanam benih panggilan dalam diriku.
Natallia, kita bertemu di suatu senja yang mulai ranum, seranum rindu yang kau simpan pada bening matamu. Kau tersenyum melihatku. Aku malu. Tetapi ini bukanlah sebuah pertemuan biasa seperti yang sudah-sudah. Sebuah pertemuan yang tak butuh dihidangkan tiga gelas teh seperti di rumahmu dulu. Tidak juga butuh gelak tawa dan kelakar. Tidak sama sekali. Aku hanya butuh satu pertanyaan sekaligus pernyataan darimu untuk melepaskan diriku pergi dengan jalan panggilanku. Waktu itu kau tidak pernah tahu maksudku bertemu denganmu. Sengaja tujuan dari momen ini kubiarkan menjadi milik rahasia. Hanya saja sudah kusiasati pertemuan ini sebelumnya.
“Fundy…” Kau menyebut namaku. Aku lalu melihat bening matamu. “Ada satu hal yang paling aku benci dalam hidup. Hal itu adalah senja”. Aku hanya terdiam menunggu kelanjutan kata-katamu. Aku menanti penuh harap agar kau menelanjangi makna dari tumpukan kata-kata itu. Aku ingin tahu bahwa pikiranmu tidak hanya ada pada tumpukan buku-buku yang sudah kau tulis di tanah perantauan. Kau ternyata tahu maksud diamku dan menyanggupinya. Begini katamu “setiap senja jatuh aku selalu merindukan dirimu.”
Aku semakin mematung. Entah sedih atau pun kagum saat mendengarnya. Hanya kutahu bahwa kau seorang penyair yang selalu mengagumi senja. Dan segala sesuatu bisa saja kau jadikan senja dalam puisimu dan senja melahirkan dirimu. Kau lahir di suatu senja? Mungkinkah? Kau dan senja sudah menjadi satu.
Waktu itu ada lagi satu pertanyaanku yang ralat kutanyakan karena sikap manjamu: sudah berapa ratus dan ribu senja yang kau kantungi Natallia? Kau lalu melingkarkan tanganmu pada tanganku, jemarimu kau ikatkan pada jemariku, seakan ingin kau katakan “tetaplah bersamaku.” Kuhargai dirimu dan segudang kerinduan yang sudah kau peram bersama waktu, lantaran perjumpaan kita kemarin yang melahirkan cinta. Cinta pertamamu yang meretas tetas dan menjadi putra sulung dari cintamu pada setiap lelaki. Cintamu begitu besar. Tulus malah. Sebesar Mentari atau hal lain yang serupa dengannya. Entalah. Tetapi ada hal yang tidak bisa lagi menjadi rahasia dalam diriku bahwa aku telah jatuh cinta pada Tuhan. Aku memilih Dia dalam ziarah hidupku. Itu pun sudah kuutarakan kepadamu sejak awal pertemuan kita.
“Natalia.” “Iya..” jawabmu singkat. “Kenapa engkau masih saja mencintai diriku, padahal engkau tahu bahwa aku telah memilih Dia dijalan panggilanku?”. Kau hanya tersenyum. Sambil berbisik kau katakan “Aku mencintaimu karena aku menemukan Tuhan dalam dirimu. Aku hanya ingin merebut kekuatan cinta-Nya darimu dan menjadi milikku sehingga kelak kau hanya miliku semata.” Kau tertawa setelahnya. “Tidak bisa Natallia.” Jawabku. “Kau begitu egois dalam bercinta Natalia. Natalia, engkau sudah memiringkan definisi cinta dengan egomu. Mencintai berarti memberi, setelahnya baru kau akan menerima”. Kataku. “Aku juga bisa memberi cinta dan mencintai Fandy.” Katamu. “Bagaimana mungkin engkau mau mencintai jika kau tidak bisa melupakan dirimu?” Kutanggapi perkataanmu. Kita sama-sama bersoal jawab tentang cinta. Cinta itu butuh memberi atau menerima. Dan aku merasa bahwa Ini adalah waktunya untuk mengutarakan niatku.
Kuhentikan kata-kataku. Napasku kubiarkan sedikit lebih cepat. Sementara kau hanya menunduk mengusap ait mata yang terlanjur jatuh di pipimu. Aku selalu tahu, bahwa tangismu adalah caramu mencintai hal yang riskan. “Natalia… Kau harus ingat bahwa Tuhan itu tidak hanya ada dalam diriku saja. Dia juga ada dalam diri setiap orang yang ad di sekitarmu, mencntaimu dan sebaliknya. Karena itu, kau juga harus bisa mencintai orang lain yang juga mencintai dirimu dan lebih memperjuangkan cinta untuk dirimu semata. Aku tidak bisa berlama-lama mencintaimu. Aku harus meninggalkanmu demi panggilanku yang teramat sud ini. Maaf!”
Tangismu semakin menjadi-jadi. Semakin cepat tanganmu mengusap air mata yang bertamu ke pipimu sambil sesekali kau palingkan wajahmu dariku. Bulat mukamu memerah semerah mentari yang perlahan jatuh di balik bukit. Kucoba diam, membiarkan kau hanyut dengan perasaanmu sendiri. Aku tahu bahwa sebilah pedang kata-kataku telah menembus tepat di getar dadamu. Dalam diriku aku merasakan sesuatu yang lain. Aneh memang. Seisi tubuhku seakan dibawa pergi. Tetapi aku tetap kuat. Sekuat nenek moyangku menerjang lautan. Semua ini demi panggilanku yang teramat suci.
‘Lalu kenapa kau juga mencintaiku Fandy?” Tanyamu di sela tangis yang mulai pudar. Kutambatkan perhatianku pada wajahmu. Kan tersenyum, seakan sunyummu itu mau mengatakan tidak apa-apa. Namun kabur matamu berkata lain, Kau menyimpan semua perkara itu dalam hatimu.
“Natalia, aku mencintaimu karena aku sedang belajar untuk mencintai Dia. Aku pernah berpikir untuk mencintai dirimu saja adalah bukti bahwa aku telah mencintai Dia yang menciptakan keindahan pada dirimu. Tetapi setelah lama kupahami, kini aku menemukan satu jalan mencintai Dia, yaitu dengan menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya, menjadi pelayan-Nya. Sekarang aku sedang mempersiapkan diriku untuk cinta yang besar itu. Karena itu, biarkanlah cinta kita menjadi korban cinta kepada-Nya!”
Setelahnya hanya diam. Tidak ada kata antara kau dan aku. Hanya ada deburan ombak yang sesekali mengagetkan kita. Membangunkan kita dari kesedihan cinta yang ibunya adalah kenangan. Kita begitu nyaman dalam kenangan dengan hempasannya. Kau semakin ke hilir dan aku semakin ke hulu. Kita sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai suatu titik dimana aku kaget saat kau memecah keheningan itu dengan suara lembutmu. “Ayo kita pulang. Sebentar lagi akan hujan!” Kita berdiri lalu pulang. Kau berpamitan denganku ketika sampai di rumahmu. Kuingin membalas salammu dengan ucapan selamat malam. Namun sayang, punggungmu terburu ditelan tikungan dan kegelapan. Aku pun kembali ke rumahku dengan satu pernyataan: Kita tidak pernah berjanji untuk selalu bersama. Sebab dalam kehidupan nyata, cinta harus memiliki kemungkinan bahkan tidak langsung berbalas. Cinta itu hanya dapat bertahan jika ada harapan kau akan memenangkan hati orang yang kau cintai.
Februari, Valentine empat belas potong. Kita bertemu. Kau datang dengan perawakan seadanya. Rambutmu tidak lagi terurai lurus. Wajahmu masih saja menjadi milik kesedihan. Tak ada lagi senyum yang dahulu selalu menyungging di sudut bibirmu. Keadaanmu seakan ingin mengatakan, selamat tinggal kenangan. Kita lalu duduk, sebelah menyebelah.
“Fandy.” kau panggil namaku. “Benar katamu. Aku terIaIu egois dalam bercinta sampai melarang Tuhan untuk tidak mencintaimu. Kini aku mengerti bahwa sejatinya cinta itu butuh memben’. Itu ada pada jalan panggilanmu. Kau sudah memutuskan untuk member cintamu itu hanya untuk Dia. Dan Pilihanmu tepat. Kau teIah memilih suatu jalan yang jarang dilalui manusia dalam ziarah kehidupannya yakni menjadi pelayan Tuhan. Kau memilih cinta, dan kuharap kau tetap mencintai pilihanmu itu. Aku selalu mendukungmu dalam pilihanmu itu. Hanya saja aku ingin berpesan kepadamu, jagalah jubah putihmu itu. Jangan sampa ternoda, karena sekecil apa pun noda itu akan sangat terlihat di mata orang. Satu Iagi, jika kau sungguh mengikuti Dia, kau harus bisa meninggalkan segala-galanya yang kau ikat di dunia”. Hanya itu yang bisa kukatakan dalam perjumpaan terakhir kita ini.
Malam semakin memuncak. Suasana pun semakin sunyi. Kesunyian itu mengandung makna bahwa tidak ada lagi yang butuh kita ceritakan. Kau sekali lagi mengajakku pulang. Kau pulang air mata kehilangan dan aku dengan mata air kenangan. Sampai di persimpangan kita berpisah. Kau ke utara dan aku ke selatan. Kita tidak akan lagi mengumpul jarak untuk bertemu kembali tetapi kita akan mengumpul waktu menghidupi kenangan.
Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu Natallia. Itu adalah anugerah terbesar dalam hidupku terutama untuk jalan panggilanku. Kau telah hadir sebagai salah satu pelengkap hidupku. Terima kasih untuk cinta yang sudah kau berikan. Aku belajar dari dirimu untuk mencintai Dia secara utuh lagi total. Cintamu mengajarkanku bagaimana harus memenjarakan hatiku pada hati-Nya. Kesetiaanmu semakin membuatku setia pada jubah putih ini. Dan kerinduanmu yang polos itu kujadikan rindu yang paling besar untuk membersihkan piala di meja perjamuan-Nya. Natalia, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tetapi aku akan selalu tertawa bahagia karena sesuatu itu pernah terjadi.
Ritapiret, penghujung Januari 2018.
Cerpen Karangan: Elton Bataona Blog / Facebook: Belle Sili Levolema