Pagi ini cuaca seakan bersahabat dengan suasana hati Dea yang juga bad mood sejak ia bangun dari tidur dan mengingat kembali kejadian semalam. Dea kembali mengacak rambutnya karena membuatnya harus menahan malu bertemu dengan Rais, orang yang ia hadiahi bogem mentah karena menciumnya di pintu masuk kafe yang ia datangi semalam bersama Sean untuk menemaninya Technical Meeting untuk lomba yang ia ikuti beberapa hati kedepan.
“Sial, kenapa harus ingat itu lagi.”
Dea segera beranjak dari tempat tidurnya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.45 dan sebentar lagi dosennya akan masuk. Mandi secepat kilat adalah senjata Dea jika ia bangun kesiangan ditambah lagi ia tidak mengangkat panggilan Sean karena buru-buru ke kamar mandi dan yang ia tahu jika Sean sudah meneleponnya itu pertanda buruk.
—
Dea sudah berlari kecil menuju kelasnya, dan pertanda buruknya teman sekelasnya sudah tidak ada yang nongkrong di depan kelasnya. Dea semakin mempercepat langkahnya sampai tidak sadar hampir menabrak motor Vespa yang tiba-tiba berhenti di depannya. Sial, langkahnya terhalang dan berusaha mencari jalan lain dan sialnya dia terperangkap di tengah karena parkiran sudah penuh dengan motor dan jalan satu-satunya adalah tempat Vespa sialan itu berhenti. Dea semakin geram apalagi orang yang mengendari Vespa tersebut belum turun dari Vespanya, dan pemiliknya adalah Rais yang menatapnya dengan tatapan membunuh, bukan membunuh tapi tatapannya memang begitu.
“Ahh, apalagi dosenku sudah masuk. Kau tidak lihat badanku sebesar ini kau hanya memberiku sedikit jalan.” Dea mulai jengah karena Rais turun dari Vespanya tanpa mengubris kata-katanya. Oh God. Ia seakan ingin gila bertemu dengan manusia Atlantik ini. “Kelas kita gabung, asal kau tau.” Shit. Dea segera menerobos lewat di bagian belakang Vespa itu dan tak menoleh kebelakang lagi karena ia tak sengaja menyenggol Vespa itu dengan keras tapi memilih tidak peduli karena sudah terlanjur dongkol dengan manusia Atlantik.
Sejak kejadian hari itu Dea selalu bad mood tak berkesudahan, Sean merasa bingung dengan temannya yang satu ini, hanya karena insiden ciuman di kafe waktu itu. Dan sang pelaku, Rais bersikap seolah tidak ada yang terjadi juga.
“Dea, ada cogan nihh.” “MANA??!!” Sean seketika menjitak kepala Dea karena respond terhadap hal yang ia katakan tadi lebih cepat dari apapun. Setelah mendapat perlakuan yang menurut Dea tidak pantas diterima olehnya, ia segera memalingkan muka dan tatapan keduanya bertemu, Rais yang memang memperhatikan Dea sejak ia teriak dari lantai dua tadi belum mengalihkan perhatiannya hingga gadis jadi-jadian itu melihat kearahnya.
“Sean, ayo ke kos. Udah nggak ada dosen.” “Tumben, biasanya masih mau stay lihat cogan.” “Au au, ayo.”
Dea langsung meninggalkan tempatnya disusul Sean yang mengetahui alasan temannya ini ingin langsung pulang, karena ia menghindari Rais dan teman sekelasnya, karena saat ini Dea sedang dihalang salah satu teman sekelas Rais untuk tidak pulang dulu, tapi bukan Dea kalau tidak bisa memberi alasan yang paling masuk akal dan dia bebas dari rintangannya. Sean sekali lagi melihat kearah Rais di lantai dasar dan laki-laki itu sedang memantau Dea dari posisinya saat ini. Sean tak menyangka akan seribet ini urusan mereka berdua.
—
Di ujung tangga Rais sudah berdiri bersandar pada tiang penyangga, Dea yang berjarak tiga anak tangga dari posisi Rais tidak peduli dengan keberadaanya, ia hanya melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun. Sean yang melihat itu merasa ada yang terjadi selain insiden di kafe waktu itu, dan ini lebih serius apalagi saat ia melewati Rais dan laki-laki itu menatapnya dengan tatapan dingin yang menakutkan, ia segera mempercepat langkahnya dan menyusul Dea yang sudah jauh meninggalkannya.
“Dea, apa yang terjadi?” “Hmm.” Dea tidak menanggapi dan terus berjalan menuju kosnya yang memang sangat dekat dengan kampus ini. Lagi-lagi Dea terhalang saat ingin masuk di kosnya. Disana sudah berdiri tiga orang laki-laki yang tidak mereka kenal. Dan mereka seakan mengenal Dea dan Sean.
“Dea, kan?” Tanya salah satu laki-laki yang memakai jaket levis. “Iya, maaf cari siapa?” “Dea, kami minta maaf.” Ucap salah satu laki-laki berswiter hitam. “Hah? Kalian siapa, maaf untuk apa?” Muka Dea yang seakan bodoh mendengar pertanyaan tiba-tiba itu membuat salah satu laki-laki yang belum bicara tersenyum dan itu menambah lipatan dahi bagi Dea. “Pantas saja Rais memaksa kita datang kesini untuk menjelaskan semuanya, ternyata kau selucu ini, Dea. Pantas dia sudah gila mau bayar perawatan Vespa kami bulan ini.”
Ketiga laki-laki tadi pun menceritakan tentang insiden di kafe, dan itu semua berawal dari permainan Truth or Dare dan saat itu Rais memilih Dare dan ditantang mencium siapa pun cewek yang masuk pertama di pintu kafe hari itu. Dea ingin marah pada mereka karena dirinya bukan permainan tapi dia bisa apa, ini hanya permainan konyol yang tidak ada artinya, menurut Dea.
Setelah mereka menceritakan semuanya, mereka bergegas ke tempat parkiran motor Vespa di seberang jalan dan itu luput dari perhatian keduanya, dan keduanya baru sadar bahwa mereka adalah komunitas anak Vespa Makassar yang sangat terkenal itu.
—
Setelah teman-teman Rais datang mengklarifikasi hal itu ke Dea, kini dia kembali ceria dan pencicilan seperti biasanya dan membuat Sean kadang malu sendiri memiliki teman seperti Dea. Dan Rais, dia tetap kembali seperti biasa, laki-laki yang memang tidak tau caranya bersenyum, tapi ketika ia melihat Dea sedang beraksi di lantai dua depan ruangannya Rais setengah mati menahan senyumnya agar tidak dilihat oleh teman-teman yang lain. Rais merasa telah menemukan kembali Dea-nya, dan insiden saat ia mencium pipi Dea itu tak pernah ia lupa, bahkan kadang membuatnya seperti orang gila senyum-senyum sendiri
“Rais, kamu sehat?” Pertanyaan yang tiba-tiba itu memaksa Rais berhenti memutar kejadian di kafe waktu itu, dan kembali menampilkan tatapan biasanya kearah temannya yang bertanya tadi. “Hmm.” “Bro, kayaknya Rais punya pacar.” Teriak Nino dengan suara menggelegar hingga terdengar sampai ke lantai dua, Dea yang mendengar teriakan itu menghentikan aktifitasnya dan menatap Rais yang sedang menatapnya kembali, ia menunggu respond dari yang punya nama. Dan yang membuat Dea tidak bisa mengalihkan tatapannya karena seakan Rais bisa mengunci tatapannya.
Cerpen Karangan: Areal Blog / Facebook: Hajrah Ridha