Malang, 2020. Jam dinding rumah menunjukkan pukul 22.10. Suara hewan khas malam saling bersahut-sahutan. Langit hitam legam dengan bulan purnama bulat sempurna di atas sana. Jari lentikku masih setia diatas keyboard laptop milik suamiku. Aku melirik dirinya yang tertidur pulas bersama buah hati pertama kami. Melihat suamiku, aku teringat masa-masa kuliahku.
—
Surabaya, 2016. Hari senin adalah hari membosankan dan terpanjang dalam semua hari. Dan disini aku berada, meja nomor dua dari depan. Mendengarkan dosen memberikan materi yang bahkan sudah kupelajari sepekan lalu. Tak terasa, kini aku mengenyam semester 7. Jujur, sangat melelahkan. Tapi ya mau bagaimana lagi. Setiap kali aku mengeluh, ada suara di seberang telepon yang akan memberiku banyak semangat. Aldo Dwi Bahtiar.
Setahun sekali kami bertemu, ketika dia pulang kampung tentunya. Selalu ia sisihkan waktu untuk ke Surabaya. Disitulah tiga hari menjadi sangat berarti untukku. Ke perpustakaan, bioskop, museum, warteg langganan kami dan sisanya mengobrol banyak hal di kota tua Surabaya. Dan seminggu lagi kami akan bertemu. Memotong banyak jarak setelah sekian lama hanya bertukar suara lewat telepon. Sudah kusiapkan juga hadiah spesial untuk Aldo. Membayangkan kami bisa bertukar cerita sambil makan gulali saja membuat senyumku merekah.
“Iya iya yang lagi kasmaran, tapi mbok ya dilihat juga ini motor siapa” aku lekas menyudahi kebiasaanku yang membaca sms-sms terdahulu dari Aldo dan menengok ke sumber suara. Suara tak asing dari seorang Tio, keponakan ibu kosku sekaligus teman sekelas yang hobi nyusahin kelompok. Dan sialnya akulah korban kelompok itu. “Kalo bukan motorku ngapain aku disini” jawabku sedikit ketus. Kumasukkan telepon kedalam saku celanaku dan bersiap meninggalkan parkiran bersama motorku. “Udah keliru nyolot lagi” katanya dengan sedikit mengejek. Aku menghela nafas, malas dengan berdebat kukeluarkan kunci motorku dan kumasukkan di tempatnya. “Ga percaya tah? Nih ya liat kunci motorku udah masuk tinggal diputer terus…” sial kenapa macet. Aku melihat kembali motor yang kududuki. Mereknya sama, warnanya juga, motor yang memang biasa kupakai, tapi kenapa jadi susah begini. “Kok diem aja?” dan sedetik kemudian aku teringat motorku ada di bengkel. Demi apapun aku malu sekali sekarang. Tanpa banyak kata aku segera meninggalkan parkiran itu, mengacuhkan Tio yang terus-terusan memanggilku sambil tertawa.
Usai dari bengkel aku langsung kembali ke kos. Mandi, beres-beres kos, dan makan. Setelah itu, kubaca beberapa referensi untuk judul skripsiku nanti. Ah, entah kenapa aneh bercampur aduk. Rasanya seperti masih beberapa waktu lalu aku menjadi mahasiswa baru dan sekarang sudah memasuki mahasiswa akhir saja. Kadang dibenakku ada rasa takut, akankah aku bisa lulus? Kenapa rasanya sulit untuk menyusun skripsi?. Kulihat banyak dari temanku sudah menemukan judul, bahkan mulai menyusun bab 1. Sedangkan aku, judul saja belum ketemu.
Kuambil teleponku yang senyap tanpa ada notifikasi. Sudah lewat isya, tapi Aldo belum menelfon atau membalas smsku sore tadi. Dulu awal-awal menjalin hubunga, hal seperti ini akan kujadikan bahan pertengkaran dengannya. Aku yang amat rindu dan dia yang sibuk dengan pekerjaannya. Seiring berjalannya waktu, aku mengerti semua hal tidak harus sesuai dengan yang aku mau. Dan akhirnya aku mengerti keadaannya, sebaliknya Aldopun mencoba untuk meluangkan waktu mengabariku. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku berfikir yang tidak-tidak. Komunikasi kami tidak begitu baik.
“Gini ya kalo orang kasmaran. Ketemu sama pacar tiga hari aja bingung beli baju baru” Tasya mengomel tapi masih membantuku memilih baju di salah satu Mall di Surabaya. Aku merasa seperti bukan diriku. Tasya tau betul aku tidak suka belanja, tapi hari ini di sela ia bekerja, aku memintanya untuk menemaniku berbelanja. “Sya pacaran gih sama Tio. Kalian cocok deh” Tasya mengomel seperti biasa dan aku hanya tertawa.
Besok adalah hari yang kunanti, bertemu dengan seseorang yang mengisi hariku selama hampir 3 tahun ini. Yang tadinya kupikir kuliahku akan membosankan, ternyata tidak juga.
Hari ini, seperti biasa aku mandi pagi dan beres-beres kos. Kalo hari minggu biasa aku akan tidur seharian atau pergi ke kos Tasya, tapi tidak dengan minggu ini. Berkali-kali aku bercermin. Berharap dandananku tidak menor, karena ini kali pertama aku make up. Dress sederhana selutut ku balut dengan jaket rajut tidak terlalu tebal. Dan inilah aku, bibir sedikit merah, rambut hitam bergelombang yang digerai, dan bulu mata yang lentik karena maskara.
“Aku udah di stasiun” kata Aldo diseberang telepon. “Aku berangkat sekarang” hatiku berdebar campur aduk.
Aku mengumpat dalam hati setelah tau kalau motorku bocor kembali. Tidak mungkin kalau minta tolong untuk diantarkan Tasya, dia sudah ada janji. Ditengah kesialanku, Bu Kos datang untuk membersihkan kos. Dengan baik, beliau menawarkan agar aku diantar oleh keponakan kesayangannya yang kebetulan di rumahnya. Ya, Tio. Sebenarnya aku gengsi tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak mau Aldo menunggu lama.
“Tumben cantik” celetuk Tio sambil membantuku memakai helm yang entah kenapa sulit untuk dipasang. “Dari dulu” balasku singkat. Kami beradu argumen selama perjalanan hingga akhirnya sampai tujuan. Aku buru-buru turun dari motor tanpa melepas helm, mengabaikan Tio yang memanggilku berulang kali. Aku melihat Aldo duduk di salah satu kedai dekat stasiun dengan pakaian santainya.
“Aldo” panggilku sedikit bergetar menahan tangis karena rindu. Kupegang erat kado yang sudah kusiapkan untuknya. Aldo membantuku melepaskan helm. Dia tersenyum. Senyum yang berbeda, dengan air mata yang sudah jatuh. Kami duduk terdiam. Aku menatap Aldo yang masih mengontrol emosinya.
“Yu, silahkan kamu marah ke aku. Benci ke aku” Aldo memulai pembicaraan dengan suara yang masih bergetar. “Ada apa Do? Aku gak marah. Jujur sama aku kamu kenapa” “Aku gak yakin kamu gak benci aku” Aldo menghela nafas panjang kemudian kembali berkata, “Aku pernah cerita ke kamu Pamanku hanya punya satu putri namanya Zahra, dia bukan anak kandung pamanku. Dia hamil tapi tidak tau dengan siapa. Pamanku sakit berhari-hari dan bibiku sudah pasrah dengan keadaan paman yang tidak kunjung membaik. Sedangkan Zahra mengurung diri di kamar. Aku berniat untuk bertanggung jawab, aku berhutang budi pada pamanku aku…” “Berhenti” kataku sambil terisak. Entah sejak kapan air mataku jatuh sebanyak ini. Dadaku sesak, lidahku tercekat, kepalaku pusing. Jadi ini alasan mengapa aku merasa dia menjauhiku. Jarang memberi kabar, jarang mengangkat telfonku. Semuanya jelas sekarang.
“Maaf Yu, hubungan kita sampai disini” akhirnya kalimat yang sangat tidak aku inginkan diucapkan Aldo. Dia membuang muka, air mataku semakin deras. Kutaruh kado yang sudah kusiapkan selama ini di meja. “Semoga kak Aldo bahagia. Selamat tinggal kak” aku beranjak pergi meninggalkan kedai. Sekarang tujuanku hanya ingin segera pulang kos. Aku tertawa miris dalam hati, bahkan dia sama sekali tidak menahan aku pergi. Jadi begini akhirnya. Aku berjalan menuju pangkal ojek, namun ada seseorang yang menahan tanganku.
“Tio?” aku sedikit terkejut dan kecewa. Ternyata bukan Aldo. Air mataku jatuh kembali untuk kesekian kali. “Beli penyetan yuk” ajak Tio tanpa sedikitpun bertanya.
—
Suasana Malang yang dingin membuatku ingin menyeduh kopi. Kututup laptop milik suamiku dan berjalan menuju arah dapur. Kutuang bubuk kopi hitam dan gula didalam cangkir putih antik. Sebuah tangan merengkuhku dari belakang. Suamiku terbangun.
“Mas Tio mau kopi?” tawarku dengan tersenyum dan dijawab dengan mengangguk.
Tio Arga Wirawan, seseorang yang masih menyebalkan sejak bangku kuliah. Setelah kehilangan cinta pertamaku, aku mengira semua lelaki sama saja. Dan dia membuktikan penilaianku salah. Tak berakhir di stasiun dengan keadaan berantakan karena menangis waktu itu, kisahku akan habis bersama Tio.
Cerpen Karangan: Rindi Ayu “tidak semua hal harus sesuai dengan kemauanmu” Instagram: Rindi.al Sambil membaca ini dengarkan lagu Virgoun Tambunan – Selamat (selamat tinggal)