Waktu mulai berlalu, detik berganti menjadi menit, menit belalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, hari berlalu menjadi minggu dan seterusnya. Namun dari kesekian doa-doaku masih ada satu doa yang belum terjawab. Ohhh, mungkin diriku terlalu banyak terbalut dosa, sehingga untuk menempuhnya membutuhkan banyak waktu hingga seperti saat ini. Pikiran sudah berkecamuk dipenuhi beribu pertanyaan tanpa jawaban. Aku tak mau berlarut-larut, segera aku beranjak ke dapur untuk membuat kopi.
Air yang sudah tersaji diatas tungku api mulai bergelembung kelutuk, menandakan bahwa air didalam sudah masak. Segera saja kuseduh dalam cangkir yang sudah kuberi bubuk kopi kesukaanku. Duuuhhh, aromanya menyentuh kalbu menusuk relung pilu, setidaknya dapat menyembuhkanku diminggu pagi yang dingin nan kosong. Baru saja belum selesai mengaduk kopi tiba-tiba ada salah seorang memanggilku dari luar rumah. Segera saja langsung kuhampiri gagang pintu dan kubuka demi melihat siapa gerangan yang memanggilku dipagi yang dingin. Ternyata sosok itu adalah pamanku sendiri, nampaknya ada sesuatu yang membuatnya datang dipagi yang masih membutakan kaum pengangguran. Mungkin Ada hal penting, sudah tentu terlihat dari mimik raut muka beliau sedikit terburu-buru tapi sedang berupaya untuk tenang, ternyata beliau mencari bapakku
“Bapakkmu mana,” “Sebentar Pak Poh tak panggilkan dulu” jawabku.
Ketika masih awal kedua-duanya terlibat empat mata yang serius di ruang tamu namun terlihat sangat seru dan asyik. Sempat sesekali mencoba menguping, namun yang terdengar hanyalah gelak tawa kecil disertai gremeng-gremeng yang tak jelas arahnya. Disamping itu kulihat kopinya masih diminum sedikit padahal waktu kunjungan pamanku sudah hampir mencapai satu jam lebih menandakan bahwa keduanya tidak sedang membicarakan masalah yang serius. Aku juga baru ingat kalau di acara hajatan kemarin aku memecahkan dua piring, yang hanya diketahui oleh sang anak dari pemilik rumah itu. “Ohhh, semoga semua baik-baik saja” batinku.
Esok hari telah tiba, aktivitas rutin kembali mengajar di sekolah sudah menjadi kebiasaanku. Ketika fajar menyingsing sesegera mungkin aku berangkat ke sekolah mengajarkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, bait demi bait, sedikitnya satu huruf dan benar-benar dipahami murid, dalam doa’ semoga saja menjadi amal jariyahku kelak ketika semuanya sudah ditinggalkan. Di pelataran halaman sekolah aku memandangi para murid yang sedang asyik bermain membayangkan masa kecilku dulu sekaligus menerawang dari jauh tentang masa-masa yang pernah aku alami ketika masih seusia mereka. Rupanya aku selama ini terlalu pilih-pilih untuk mengajar, rasanya menyesal sekali jika yang kuberi kasih sayang hanyalah murid yang pintar saja. Dalam benakku aku berdoa semoga mereka semua diberikan jaminan dimasa depan dan mendapat ilmu yang barokah manfaat “AAAAAMMMIIINNN….”
Jarum jam menunjukkan pukul 07:00 mengisyaratkan para murid untuk mengikuti apel pagi, tapi apalah daya namanya juga murid. Dari jauh ada yang masih asyik bermain, berlari-lari, seolah aku tidak dianggap, haaaahhh… Biarlah memang masih wajar saja bagiku, toh nantinya ketika sudah besar mungkin sebagian dari mereka sudah menjadi orang-orang yang berguna. Tak mau berlama-lama lagi, disitu juga aku langsung membuyikan bel
“Teeeetttt… Teeeetttt… Teeetttt…”
Selagi bel masih bisa berbunyi semua anak masih bisa terkondisikan dengan merapatkan barisan untuk apel pagi yang dipimpin oleh salah satu dari mereka yang sudah kelas 4 keatas.
Dalam diam aku mencoba menerawangnya dimasa depan, mengira-ngirakan, namun tak dapat dan tak sampai. Andai aku tahu masa depan mereka mungkin aku bisa memaksimalkan pengajaranku tentang teori, materi, atau kurikulum apa yang harus mereka pelajari untuk bekal nantinya.
Buah jatuh memang tidak pernah jauh dari pohonnya, namun apabila pohon tersebut berada di pinggir sungai pastilah terbawa arus buah itu, sama halnya dengan anak-anak yang sedang baris berada didepanku, kadang ada yang terlihat pintar, namun setelah lulus semuanya baru terlihat. beberapa darinya mungkin akan terhalang karena sebab yang berbeda-beda, lalu mandek dan mengalami penurunan, tapi ada juga yang tidak terlihat pintar, cerdas, ataupun pandai namun disaat besar malah benar-benar menjadi orang yang sesungguhnya, yakni menjadi manusia idaman.
Ohhhh wahai Dzat yang Maha membolak-balikkan hati dan pikiran, aku titip mereka.
(. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . )
Sekecap doa. Duhai malaikat pencatat amal, hapuskanlah perbuatan burukku, perkataan burukku, hingga niat burukku. Aku tak ingin semuanya menjadi pengahalang atas terkabulnya do’a-do’aku, aku tak tahu harus bersandar kepada siapa jika bukan padamu. Sabarmu, ampunanmu, kasih sayangmu jauh lebih lapang ketimbang samudera yang terbentang dijagad raya ini.
Hari demi hari telah berlalu, namun aku juga tak kunjung mendapat jodoh pada usiaku yang sudah terbilang tidak muda lagi. Aku melaluinya dengan senang, sedih, gembira, malu. Semua itu berkumpul menjadi satu bagai makanan rujak. Ada kalanya senang karena aku masih bebas dan tidak menanggung banyak beban, namun disisi lain kadang aku juga sedih karena sering diejek teman-temanku di acara pernikahannya, bahkan ada beberapa yang sudah punya anak dua. Padahal aku sudah mencari kesana kemari, menengok dimanakah jodohku yang sebenarnya, aku pasrah. Ataukah kali ini aku memang diharuskan untuk menghibur teman-temanku dengan ejekannya, agar mereka senang, ohhh… Entahlah…
Semuanya pertanyaan tentang kehawatiran dan kecemasan selama ini akhirnya sedikit menemukan titik terang. Tanpa disangka-sangka pamanku menawarkan seorang gadis padaku, entah siapa yang menyuruhnya, menggerakkan hatinya. Ataukah dia kasihan melihat aku sering diejek teman-temanku. Rasanya aku masih malu-malu antara senang dan minder. Pamanku bilang jika gadis yang ditawarkannya ini adalah gadis yang spesial. Begitu aku mendengarnya mengatakan hal itu, aku tambah minder, mungkin gadis yang spesial juga akan mendapat pria yang spesial, sedangkan aku hanyalah apa?
segala perjuangan selama ini akhirnya tidak sia-sia mulai dari uang yang kukumpulkan, mental yang sering digempur dengan kehawatiran dan kegelisahan, dan segala cobaan lainnya. Dengan mengikuti arahan dan bimbingan para orang disekitarku semuanya aku persiapkan mulai dari strategi ketika hendak ta’aruf, strategi ketika berbicara dengan calon mantu dan calon mempelai, bahkan strategi jika ditolakpun tak luput aku pelajari. Semua masukan aku anggap penting, aku catat dalam pikiran dan aku resapi dalam ruang kalbu.
Karena telah lama menunggu kini aku sudah siap dan sudah saatnya diriku sendiri yang menjemput, yakni jodohku sendiri.
Hari yang dinanti telah tiba, saat-saat untuk ta’aruf guna memperkenalkan pasangan yang hendak dipinang. Ketika hendak memasuki rumahnya, rasanya jiwaku bergetar hebat, dadaku sesak, bukan karena pilu, tetapi karena semangat yang menggebu-gebu, namun aku tetap bersikap tenang
“Gimana leee” tanya pamanku Jawabku “Aku sudah siap”
Lalu pamanku menyampaikan maksud yang ditujukan yakni ta’aruf, langsung saja bapaknya mempersilahkan untuk berkenalan. Ketika hendak dipanggil, aku membenarkan posisi dudukku dari posisi sebelumnya, dari dudukku yang membungkuk menjadi duduk yang tegap.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat bahwa calonku adalah muridku sendiri, yang membawakan lantunan ayat-ayat suci di acara hajatan dulu. wajahnya berseri-seri, mulutnya terlihat merah, matanya bagai batu merah delima yang merona. Rasanya seperti mendapat durian runtuh, dalam dada bergemuruh riuh, bergetar hebat, bukan karena takut, justru karena rasa bahagia yang melanda. Ohhh… Wahai Rabbku, inikah jawaban dari doa’-doa’ hambamu selama ini, tentu bahagianya bukan main, semoga sesuatu yang kualami saat ini bisa menjadi sesuatu yang membawa berkah.
16:05, jum 9 Sept 2022 M/ 13 Safar 1444 H, Blitar.
Cerpen Karangan: Nahru Jauhar Blog / Facebook: Jawaharlal Nehru