Hari itu adalah salah satu hari terburuk dalam hidupku. Saat dia mengucapkan hal yang paling membuatku frustasi, marah dan kecewa menjadi satu. Dia mengucapkan akan pergi, ke negara antah berantah. Bilang akan menimba ilmu disana. Aku seketika marah kepadanya. Kenapa memberitahuku mendadak seperti ini.
“Aku akan ke Amerika. Ayahku yang menyuruhku kesana selepas lulus dari SMA. Kakakku sudah menunggu, dia bilang aku harus kesana untuk adaptasi.” Ucapnya. Aku terdiam. Mataku pedih, ingin menumpahkan air mata namun tak bisa.
“Berapa lama?” Tanyaku. “Paling lama 5 tahun. Tapi aku yakin sebelum 5 tahun aku akan kembali. Aku bisa menyelesaikan kuliahku kurang dari 5 tahun.” Jawabnya. Aku tersenyum getir.
“Kenapa mendadak?” Tanyaku. Dia terdiam. Menunduk. “Sebenarnya rencana ini sudah direncanakan jauh hari. Hanya saja.. aku tak mau membuatmu kecewa dan marah padaku. Mengingat kita waktu itu baru sebulan pacaran..” ucapnya. Aku mengusap wajah. Lalu apa bedanya dengan sekarang?.
“Lalu kamu fikir sekarang aku tak kecewa??. Aku lebih kecewa kamu menyembunyikan hal ini. Seharusnya kamu terus terang dari dulu!..” ucapku. Dia menunduk. Menahan tangisnya. Lihatlah! Gadis yang selalu ceria, selalu tersenyum, kini menangis. Aku merasa bersalah telah membuatnya menangis, tapi hatiku lebih sakit menerima kenyataan kami akan berjauhan.
“Aku tak yakin, menjalin hubungan jarak jauh bisa berhasil. Lebih baik kita sudahi sampai disini saja.” Ucapku. Dia menangis lebih keras. Menggeleng, tidak mau diputuskan. Aku juga tidak mau putus dengannya. Tapi aku tidak yakin hubungan jarak jauh akan berhasil.
Pembicaraan itu tidak menemui titik terang. Aku terbawa emosi. Aku kecewa, aku marah padanya. Akhir dari hubungan kami tidak jelas. Seperti tergantung begitu saja, tanpa kepastian putus atau terus. Aku mengantarkannya pulang. Saat dia akan masuk kedalam rumahnya, dia berbalik padaku. Memelukku. Menangis. Aku balik memeluknya seerat mungkin. Seperti tak ingin melepaskannya. Dia bilang lusa dia akan pergi. Aku bimbang.
Hari-hari kulewati dengan menyedihkan. Aku tak nafsu memakan sesuatu, lebih sering melamun sendirian. Aku memikirkannya. Memikirkan hubungan kami. Alasan aku mengatakan hubungan jarak jauh tidak akan berhasil adalah karena aku melihat teman temanku, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Tapi hubungan mereka kandas karena orang ketiga. Kesepian menjadi momok menakutkan, menjadi celah masuknya orang ketiga yang mampu membuat hubungan hancur dengan menyedihkan.
Handphoneku berbunyi. Ada SMS masuk. Dari dia. ‘Besok aku pergi, pukul 10:00 aku terbang.’ Tulisnya. Aku mengacak acak rambutku. Aku sedang kacau. Apakah hubungan setahun lamanya ini akan berakhir begitu saja?. Aku tak mau hal itu terjadi. Tapi keadaan memaksa.
Semalaman aku tak tidur. Aku memikirkan dia. Hanya dia di otakku. Pukul 10 pagi, apakah aku akan kesana menemui dia untuk yang terakhir?. Aku memang payah, aku sangat payah!. Tiara membawa dua koper besar. Ia segera mengurus keperluan. Dia sempatkan membeli roti dan kopi. Dia duduk di ruang tunggu. Masih jam 9. Dia berharap Alfian datang menemui dirinya. Untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Roti di tangannya ia makan setengah. Matanya mengamati sekitar, dimanakah Alfian berada.
Jam menunjukkan pukul 9:45. Alfian tidak muncul juga. Apakah Alfian benar benar tidak akan menemuinya lagi?. Mata Tiara berkaca kaca. Pikirannya kacau. Alfian tak akan kemari. Dia cepat cepat menghabiskan rotinya. Meminum kopinya. Dia akan mencoba menunggu Alfian 10 menit lagi.
Nihil. Alfian tak muncul juga. Tiara sangat gusar. Dia mengusap wajahnya. Alfian tak akan kesini menemuinya. Dia pun berbalik, berjalan pelan menuju pesawatnya.
“Tiara!” Panggil seseorang ari belakang. Tiara menoleh. Alfian dengan nafas naik turun terlihat berdiri tegak dibelakangnya. Mereka segera berlari menghapus jarak diantara mereka. Berpelukan erat, sangat erat. Tiara menangis. Alfian mengusap punggung Tiara, menenangkan.
“Maaf aku terlambat.” Ucap Alfian masih dengan nafas naik turun habis lari jarak jauh. Tiara mengangguk. “Maaf aku buat kamu menangis..” ucap Alfian. Mereka bertatapan, sama sama mengeluarkan air mata. Air mata perpisahan. “Maaf aku kemarin emosi.. aku takut kehilangan kamu” ucap Alfian. Tiara kembali memeluk erat Alfian.
“Hubungan kita tidak akan kandas sampai kapanpun. Aku akan jaga cintaku untukmu. Aku akan menunggumu pulang..” ucap Alfian. Tiara makin mengeratkan pelukannya. “Aku akan jaga kepercayaan kamu padaku. Aku akan jaga cintaku untukmu. Aku akan kembali untuk menemuimu. Tunggu aku..” ucap Tiara. Alfian mengangguk. “Selamat jalan.. gapai mimpimu.” Ucap Alfian. Tiara mengangguk. Mereka kembali berpelukan. Tiara pun berbalik. Ia berjalan meninggalkan Alfian. Pergi menggapai mimpinya. Mereka saling melambaikan tangan. Lambaian perpisahan.
Pagi itu Alfian kesiangan. Baru bisa tidur selepas subuh. Bangun jam 8 pagi. Pikirannya masih kacau. Ia akan menemui Tiara atau tidak. Hatinya berkata temui Tiara, minta maaf padanya. Akhirnya Alfian dengan secepat kilat menuju bandara. Sialnya dia terjebak macet parah. Akhirnya dia memilih berlari di trotoar yang lengang. Melewati jalan macet. Untungnya dia belum terlambat. Masih bisa bertemu dengan kekasih hatinya. Saat saling melambaikan tangan, hati Alfian terasa sakit sekali. Kekasihnya pergi, mereka tidak bisa dekat. Namun inilah yang Alfian pilih. Memilih mengikhlaskan kekasihnya pergi menggapai mimpi. Alfian akan menunggu kepulangan Tiara.
Tamat
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Facebook: Sellii Oktav Ya IG: selioktav_ya21