Hujan dan gelap, biar aku merasamu, bayang yang berubah menjadi milik, membahagiakan sepihak, buta mata, lalu sakit hati, semuanya serba sendirian. Orang yang selalu kusebut dalam doa, dan menaruh bayang wajahnya di benakku, itu bahkan tak menoleh sedikitpun, Tengil memang.
Dalam gelap dan hujan kamarku terasa pengap, pengap akan rasa, mengumbar jauh mengangkasa lalu jatuh sakit hati sekenanya, terantuk batu, masih juga tertimpa perasaan ganjil, cemburu. Mengingat orang yang Kusuka tak pernah melirikku, maka perasaan ganjil itu menjadi perasaan yang tak perlu kusebut dalam pembicaraanku.
Sepatah dua patah kutulis, lalu menjadi puisi, aku menulis sebuah puisi, sedikit gombalan dan beberapa pujian, aku menulis dengan hati dan semangat yang tak kalah dari pejuang yang mengangkat piala kemerdekaan, pagi esok akan kukirimkan semua tulisanku ini untuknya, yang siap kukorbankan seluruh jiwa dan raga. Cinta adalah kemerdekaan bagiku, tak diterima adalah urusan lain, tak pernah kupersoalkan.
Hingga akhir kata, kutulis apa yang kudamba, kuulang, puisi, sedikit gombalan dan beberapa pujian menghiasi tulisanku.
Pagi pun tiba, Hari yang kutunggu tiba, aku tak tidur semalaman, gadis itu kutunggu dari jam 6 tadi di gerbang sekolah, pikirku bahwa pejuang pun rela mati untuk memerdekakan bangsa ini, maka aku berdiri dari pagi sekalipun masih kalah jauh dari mereka.
Dari jauh kulihat wanita itu, gadis pujaan yang membentukku menjadi pujangga, pujangga yang tak kan pernah berhenti untuk mencinta, pujangga hebat yang kelak suatu saat akan jadi cerita legenda untuk anak cucuku kelak.
Beberapa meter wanita itu menuju ke arahku, salah langkah pikirku, harusnya aku bersikap lebih alami. Memang aku berdiri tepat di gerbang sekolah dari pagi tadi, seperti patriotik yang agak kurang sehat. Sedetik kemudian wanita itu lewat di depanku. Semangatku menurun, perasaan cinta yang sebelumnya kusebut sebagai aku lah pejuang kemerdekaan dengan berasaskan cinta, kini lepuh, Lidahku kaku, kakiku pilu, Aku tak beranjak, hanya diam. Surat yang kutulis semalam kuremas dalam saku celana biru putihku, Keringat menerjang kepalaku, hampir ambruk aku, Wanita itu? Ia hanya menengok lalu melangkah seolah aku tak ada, dianggapnya orang yang mencintainya dengan sangat fantastis ini hanya barang gaib, tak kasat!
Aku mengurungkan niat untuk memberikan surat cintaku padanya, Bel berbunyi, orang orang masuk ke kelas. Aku pulang, mungkin aku tak akan kembali lagi, Biar kupendam rasa ini. Suatu saat aku bercerita lain kepada anak cucuku, Maaf nak, dulu ayah pernah berjuang, namun gugur sebelum mengangkat senjata.
Cerpen Karangan: Nisca Marsandi Kamu tahu, kalau kamu yang baca, inget ya, aku masih nungguin kamu