Satu minggu, waktu yang terasa lama. Setiap saat ia selalu membuka WA, berharap ada berita darinya atau satpamnya. Hari kelima ia menerima WA dari satpam Taman Firdaus yang memberitahu kalau pada hari ketujuh Ginah akan menelepon, kira-kira jam 09.00.
Pagi itu, tidak seperti biasanya ia sudah mandi dan berpakai rapi layaknya akan menerima tamu penting. Sekitar jam 07.30, ia sudah berada di bengkelnya. Dilihatnya Ujang, Udin dan Dadang sedang memperbaiki angkot. Ia mendekatinya. “Nanti ke warung sebelah.” “Siap bos.”
Seperti biasa ia pesan secangkir kopi pahit dan makan kudapan kesukaanya, pisang goreng dan juadah bakar. “Tumben bos, pakaiannya rapi, tidak seperti biasanya.” Kata Ujang. “Ya…, mau terima telepon dari Ginah.” “Kan orangnya nggak kelihatan bos.” “Nggak kelihatan bagaimana, kalau dia telpon pakai video call, wajah kita akan kelihatan. Aku harus kelihatan rapi.” Sebentar-bentar ia melihat jam tangan yang modelnya lumayan bagus.
Tepat jam 09.00, HP nya berbunyi. Ia agak pangling melihat wajahnya, sangat cantik, bak selebriti. Rambutnya, bagian atas berwarna hitam dan bagian bawahnya berwarna putih kekuningan, matanya berwarna biru. Namun ia sangat yakin kalau yang menelepon Ginah, dia punya tanda khusus berupa tembong kecil di pipinya.
“Halo Ginah.” “Halo Kang Wawan.” “Seminggu yang lalu saya ke tempat Ginah, tapi tidak diperbolehkan oleh satpamnya.” “Ya…, satpamnya sudah memberitahuku. Kang Wawan, aku sudah bukan Ginah lagi. Aku sudah menjadi milik mami sepenuhnya. Jadwalku diatur sangat ketat olehnya. Aku hanya boleh menerima tamu yang sudah ditetapkannya.” “Ginah, aku pengin membawamu kembali. Aku akan menerimamu apa adanya. Euis, anak kita sering menanyakanmu, dia sangat rindu kepadamu apalagi kalau lihat teman-temannya diantar oleh ibunya.” “Kang Wawan, aku juga rindu kepada Euis dan juga kepada Kang Wawan. Ternyata kehidupan yang aku jalani tidak seindah yang aku bayangkan. Memang benar uang yang aku peroleh jauh lebih dari cukup, tapi aku bagai burung dalam sangkar emas.”
“Ginah, apakah mungkin aku membawamu kembali? Kehidupanku sekarang jauh lebih baik. Aku sudah mempunyai bengkel sendiri.” “Kang Wawan, segeralah jemput Ginah, bawa uang yang cukup banyak untuk menebus Ginah.” “Berapa uang yang harus saya siapkan?” “Waah itu Ginah tidak tahu. Kang Wawan harus jumpa langsung dengan Mami.” “Baik Ginah, saya akan menjemputmu secepatnya. Kita bangun kembali rumahtangga kita.”
Uang tabungan yang dikumpulkannya hari demi hari rasanya cukup untuk menebusnya. Hari itu, ia begitu gembiranya. Satu koper kecil berisi bundelan uang merah telah disiapkan. Ia mencharter satu minibus untuk menjemputnya. Ujang diajaknya untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tidak diharapkan dan sekaligus untuk menjaga keamanan uang yang dibawanya.
Sampai di Gambilangu, ia langsung menuju ke Taman Firdaus. Ia agak terkejut ketika lima satpam yang menjaga di pintu gerbang berbeda dengan satpam yang pernah dijumpai satu minggu yang lalu. “Pak Satpam, saya ingin jumpa Mona.” “Mona?” Jawab salah satu satpam. “Iya betul, Mona sudah janji dengan saya.” “Mas, di sini tidak ada perempuan yang bernama Mona.” “Ya.., nggak mungkin, tiga hari yang lalu, kami ngobrol, Mona itu istri saya yang dulunya bernama Ginah. Dia sudah bersedia kembali untuk menjadi istri saya lagi.” “Mas…, siapa namanya?” “Wawan.” “Mas Wawan, saya tegaskan di sini tidak ada perempuan yang namanya Mona. Coba lihat dan baca daftar penghuni Taman Firdaus.”
Satpam itu menyerahkan daftar penghuni kepadanya. Ia membaca dan menatap fotonya satu persatu. Beberapa kali ia baca, memang benar tidak ada nama dan foto Mona.
“Pak Satpam, bagaimana kalau saya ketemu Mami.” “Baik, mari saya antar.” Mereka berdua berjalan menuju ke salah satu rumah yang terpisah dari deratan rumah-rumah penghuni Taman Firdaus.
“Mami, ada tamu yang pengin ketemu, sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan.” “Mari Mas silahkan duduk.” Ia melihat sepintas orang yang disebut mami. Kecantikannya masih terpancar dari wajahnya. Usianya mungkin sekitar lima puluhan. Ia pun duduk pada kursi yang ditunjuknya. Ruang tamunya tidak terlalu besar tetapi tertata rapi. Pada dinding terpasang foto-foto perempuan cantik dengan berbagai pose yang cukup menantang.
“Ada apa ya… Mas sampai kepengin ketemu saya. Saya, mami disini. Mas boleh panggil saya mami juga. Kalau saya panggil Mas apa ya…” “Terima kasih Mami mau menerima saya. Saya, Wawan dari Parung. Saya mencari istri saya, di sini dia memakai nama Mona. Satu minggu yang lalu saya ke sini tapi tidak diperbolehkan ketemu dengannya. Tiga hari yang lalu kami sempat ngobrol via HP, dia bersedia kembali untuk menjadi istri saya. Kalau diperbolehkan akan saya bawa pulang. Saya sudah siapkan uang untuk biaya ganti ruginya.”
“Mas Wawan, saya baru tiga hari menjadi mami di sini menggantikan mami terdahulu. Sepertinya perempuan yang bernama Mona tidak ada di sini. Coba saja lihat deretan foto-foto perempuan di dinding itu, apakah ada perempuan yang Mas cari.”
Ia pun berdiri dan berjalan menuju di dinding yang memamerkan foto-foto perempuan Taman Firdaus. Di tatapnya satu persatu foto dengan cukup lama. Pengalaman bicara dengannya melalui HP, wajahnya sangat berbeda dengan aslinya. Akhirnya ia menyerah setelah menatap masing-masing foto dua kali.
“Bagaimana Mas, apakah ketemu perempuan yang dicari?” Ia kembali duduk dengan lesu. Sungguh tidak masuk akal. Apakah dia dibawa Mami terdahulu karena menjadi primadona di sini?
“Mami kalau boleh tahu, kemana Mami terdahulu pindahnya?” “Mas Wawan, mohon ma’af saya tidak boleh menyebutkannya.”
Cling.., bunyi HP nya. Dilihatnya dari Mona. Dengan ketergesaan dibukanya WA nya. “Mas Wawan, tiga hari yang lalu aku dibawa Mami pindah ke kota lain. Aku tidak tahu kota apa, kotanya sangat besar dan ramai. Aku belum boleh bepergian.”
“Dari siapa Mas?” “Dari Mona, dia cerita dibawa Mami terdahulu ke kota besar. Dia tidak tahu di kota mana. Apa yang harus saya lakukan?” “Mas Wawan, lupakan Mona. Saat ini Mona menjadi primadona. Mas Wawan tidak mungkin menebusnya. Mungkin lima atau tujuh tahun lagi Mas Wawan baru bisa menebus.”
Ia pun pulang dengan lunglai. Kehidupan rumahtangga yang akan dibangunnya hilang tertiup angin begitu saja.
Lima tahun kemudian, sebuah truk mampir ke bengkelnya untuk mengganti rodanya. Di dinding truk tergambar perempuan dengan nama Lisa yang wajahnya mirip dengan Mona dan di bawahnya tertera nomor HP yang bisa dihubungi.
“Halo Lisa, ini dari Mas Wawan.” “Wawan? Saya tidak kenal dengan Wawan.” Ia pasrah.
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Badai Belum berlalu (November Part 1,2) Matinya Hantu Pocong (Oktober, 2022) (Perempuan Berkaos Kuning Dua, Sahabat (Part 1,2) Firasat (Part 1,2), Doa Penggali Kubur (Part 1,2) (bulan September, 2022) Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;