Disaat ini, langit sore yang masih cerah dan begitu biru tanpa ada campur tangan sang kelabu. Aku berjalan di trotoar di samping kendaraan berlalu lalang, merenungkan hal-hal yang akhir ini menimpa diriku.
Saat asik dengan pikiranku, aku dikejutkan dengan tepukan di pundakku. Aku berhenti dan berbalik menatap sang empu. “Tumben Jalan kaki, nggak sama Gavra?” tanya Kyomi sambil merangkul pundakku. Ia sahabatku, kami berteman cukup lama dari aku menginjak usia 5 tahun. Kyomi adalah blasteran Jepang-Indonesia, dan Ayah Kyomi berasal dari negara Jepang. “Gatau” Jawabku ketus. Kyomi hanya menggeleng kepala, dia mengerti dengan moodku yang kurang baik.
Kami sampai di Halte Bus, tepat setelah itu tangisan semesta turun dengan derasnya mengguyur kota. Hawa dingin begitu menusuk tulang, begitu juga harum khas hujan begitu segar dan menenangkan. Kami menunggu bus cukup lama, biasanya bus datang sejak 20 menit yang lalu. Hujan pun sudah berhenti, menyisakan lukisan langit yang indah berwarna-warni.
Pada akhirnya kita memutuskan untuk pulang menggunakan jasa taksi online. Sesampainya di depan rumahku, mataku langsung tertuju ke sebuah motor yang tidak asing di teras. Saat sudah di depan pintu, aku sedikit terkejut melihat seseorang yang aku hindari sedang berbicara dengan Papaku di ruang tamu. Aku datang dengan ekspresi bingung. Iya, dia Gavra kekasihku atau mungkin mantan kekasih. Sampai akhirnya, Papaku yang sudah menyadari kehadiranku memanggil dan menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. “Ini anaknya udah pulang, papa masuk dulu ya. Ada yang harus dikerjain” ucap Papa sambil menampilkan ekspresi aneh ke arah Gavra, yang dibalas anggukkan dan kekehan kecil darinya.
Setelah kepergian Papa, kami berdua menjadi canggung. Dia menatapku kikuk, seperti ingin mengatakan sesuatu. “Kenapa?” akhirnya aku yang memulai percakapan. “Want to take a night trip with me?” tawarnya ragu. “Of course, udah lama kita nggak jalan” “Mau ganti dulu? aku tungguin” “Gak usah, aku pake jaket aja” aku bangkit dari sofa untuk menuju kamarku.
Saat akan kembali ke ruang tamu aku berpapasan dengan Papaku, Papa tersenyum “Nak laki-laki yang mencintaimu akan memuliakanmu bukan melukaimu, yang dipegang laki-laki adalah janjinya. Ketika dia ingkar, dia melukai dua hal besar, perempuan dan harga dirinya. Papa percaya sama semua keputusanmu, apa aja yang buat kamu bahagia Papa dukung” perkataan Papa seperti lantunan elegi yang masuk ke ulung hatiku. Aku tersenyum dan masuk ke dekapan Papa, harum parfum mint Papa masuk ke indra penciumanku. Rumah ternyaman untuk pulang dari kerasnya dunia adalah pelukan Papa.
Kita kembali night ride setelah sekian lama. Ini date favoritku, meskipun hanya sekedar memutari kota, menghirup udara malam dan saling menghangatkan dalam pelukan. Tapi kali ini aku memilih untuk mengambil jarak dengannya, aku tidak memeluk tubuhnya seperti biasanya. Tidak ada percakapan saat di motor, aku tidak tau tujuan kita kemana. Dan akhirnya kita berhenti di Taman kota, tempat date pertama kita. Taman kota tidak begitu ramai, mungkin udara dingin setelah hujan membuat orang-orang memilih untuk berada di rumah.
Kita memilih tempat duduk yang sekiranya tidak basah oleh hujan. “Mau pake earphone gak?” tawarnya, ini yang selalu kita lakukan dulu. Sharing earphone dan mendengarkan musik di playlist spotify kita berdua. “Boleh”
Dia mengeluarkan earphone dari sakunya dan menyambungkan dengan ponselnya. Dia memasangkan earphone di telingaku, aku hanya diam memalingkan muka. Setelah itu terdengar lagu Falling for you dari band favoritku The 1975. Kita hening beberapa saat meresapi setiap alunan lagu. Saat pada lagu All I Ask Adele, dia mulai membuka percakapan.
“Maaf” Kata pertama yang dia ucapkan. Aku terdiam sebentar, enggan menjawab pertanyaan nya. “Aku minta maaf untuk semuanya, aku mau jelasin secara detail” katanya lagi. “Gak ada yang harus dijelasin, semua udah jelas kalo kamu benar melakukan itu” jawabku, aku hanya melirik sekilas. “Aku harus apa biar dapet maaf dari kamu?” suaranya serak terdengar seperti frustasi. “Gavra, sakit dibalas maaf itu nggak adil. Sekarang aku udah maafin kamu, tapi kita harus selesai” dia tersentak kaget mendengar ucapanku, diraihnya kedua tangan ku dan digenggam erat. “Jangan, jangan gini. Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku masih sayang sama kamu” ucapnya memohon, matanya seperti berkaca-kaca. “Enggak terhitung aku memberi kamu kesempatan, selama ini aku yang berjuang sendiri. Namun seberapa hebat pun aku memperbaiki, langkahmu akan tetap pergi kan? endingnya akan tetap sama” kataku, aku memberi jeda untuk aku mengambil kata selanjutnya. “Setelah ini lupain semua rencana kita, lupain semua rasa yang pernah kamu beri buat aku, tolong lupain semua janji yang pernah kita buat untuk selalu sama-sama” kataku menambahkan.
Kita hening sesaat, hanya terdengar lantunan lagu All I Ask yang mengisi kekosongan. Aku melirik sebentar kearahnya, dia menunduk dalam. Kulihat tetesan air lolos lewat mata indahnya. Aku sedikit terenyuh, hatiku mencolos melihat dia yang benar-benar hancur. Aku baru sekali ini melihat dia seperti itu, muncul dalam benakku ‘apakah keputusanku salah?’
If this is my last night with you Hold me like i’m more than just friend Semesta mendukung semuanya, lirik lagu yang kita putar benar sama seperti apa yang sedang terjadi.
Setelah itu ia berkata “Seperti yang kamu mau, aku akan melepaskan kamu. Tapi aku tidak akan pernah menghilangkan rasa ini, dan tidak akan melupakan kisah indah yang kita ukir bersama. Kamu akan selalu jadi tokohnya, tokoh utama di cerita hidupku. Aku akan selalu memilihmu di setiap detik hidupku, memilihmu di setiap kemungkinan, dan akan memilihmu lagi dan lagi. Jika Tuhan mempertemukan kita di takdir selanjutnya, aku akan tetap memilihmu dalam sekejap”.
Cerpen Karangan: Ellend Aulia, SMPN 2 PURI