Orang bilang, self reward itu perlu. Hal itu perlu dilakukan sebagai hadiah kepada diri sendiri atas perjuangan keras nan pahit yang telah dilakukan. Katanya, Self reward adalah obat paling ampuh untuk melepaskan penat dan stres. Aku lantas melakukan hal itu dengan cara bertamasya alias healing kalau kata anak sekarang.
Aku bertamasya dalam rangka memberikan suatu hadiah untuk diriku sendiri setelah lama bertarungan dengan sibuknya skripsi yang mengoyak-oyak ketenangan jiwa dan raga. Syukur, aku bisa lulus tepat di semester 8.
Jadi, sejak dulu, aku ingin pergi ke suatu tempat sendirian. Layaknya teman-temanku yang bisa dan sudah kemana saja. Bahkan ada salah satu temanku yang pernah ke Jogja hanya berbekal sepeda motor matic.
Kulakukan bernegosiasi dengan ayah dan ibuku. Aku juga mencoba untuk menagih janji kepada mereka. Mereka pernah berjanji untuk tidak mengekangku untuk berpergian kemanapun, asalkan sudah lulus kuliah dan sudah wisuda.
“Ayolah, Bu. Cuma ke Magetan aja, kok!” “Kamu itu mau ke Magetan mana toh Ndro? Sarangan?” “Iya, Yah! Lha kemana lagi?” “Hmm, ke Sarangan. Yaudahlah. Pokoknya kalau sudah malem hati-hati! Awas ngiler!” “Ya gak lah, Yah. Ya kali Magetan kayak Bali.” “Lho, jangan salah. Di sana kan banyak vila. Ayah dulu KKN di sana. Haduh, jaman dulu lebih parah. Sudah serasa Bali.” “Apa iya? Biarin lah. Niatku ke sana cuman melihat telaga. Gak aneh-aneh kok!” “Oke. Ayah mengijinkan. Asal kamu cek dulu kondisi motornya! Ibu juga mengijinkan kan?” “Boleh. Yang penting hati-hati dan ga usah nginep-nginepan di vila! Nambah-nambahin ongkos!” “Yesss! Asiikkk!!!
Rabu, setelah subuh, aku bersiap untuk tamasya ke Sarangan. Motor jadul milik Ayah kupanaskan terlebih dahulu. Tak lupa aku mengecek mesin serta menambah angin bannya. Ayah, Ibu, dan adikku sebenarnya juga ingin ikut. Namun mereka masih punya kesibukan masing-masing. Ya, wajarlah. Waktunya kurang tepat. Aku berlibur bukan di akhir tahun, apalagi akhir pekan. Lantas mereka memberikan uang saku lebih padaku supaya bisa membeli lebih banyak oleh-oleh.
Di pagi itu, aku benar-benar bahagia dan plong. Kutunggangi kuda besiku lalu mengucapkan salam kepada keluargaku. Biarlah mereka berbahagia sementara waktu tanpaku, sang beban keluarga. Sungguh, kebahagiaan yang nyata. Kebahagiaan yang memang kuciptakan dan kuhadiahkan untuk diriku sendiri.
Perjalanan kutempuh selama 8,5 jam. Sempat terjebak macet di Jombang bukan masalah. Tadinya aku selalu mengingat indahnya Sarangan supaya lelahku sirna. Aku juga menyempatkan diri mengunjungi empat alun-alun kota dalam sehari. Yakni di Alun-Alun Mojokerto, Jombang, Nganjuk, dan Madiun. Jam 12.30 aku tiba di gerbang masuk Sarangan. Suasananya benar-benar sesuai harapanku. Sepi!
Rencanaku berhasil. Memang kuagendakan liburan di hari kerja. Supaya tidak terlalu ramai. Karena dulu kuingat saat pertama kali ke Sarangan bersama nenekku di salah satu akhir pekan bulan September 2019. Suasananya sangat ramai. Padahal, bukan akhir tahun.
Tapi siapa sangka, perjalanan masih jauh. Aku baru ingat kalau dulu setelah melewati gerbang atau pintu masuk Sarangan, aku masih harus melewati jalanan yang menanjak nan berkelok-kelok. Tidak apa-apa, aku takkan gentar menghadapinya. Aku takkan pesimis meski sepeda tuaku seperti tak mampu menanjak. Justru, aku akan optimis, aku akan suka tantangan itu. Karena itu yang memang dari dulu aku inginkan. Berkendara sendiri di daerah yang dingin. Menghirup udara segara nan dingin sambil melihat hamparan sawah yang segar nan hijau. Biarlah tantangan itu kuhadapi, kelak akan ada keindahan yang menanti. Jalan terus!
Jam 13.30, aku berhasil sampai di tempat yang kuidamkan sejak dulu. Telaga Sarangan. Kutunda kegiatan swafotoku. Aku lebih ingin berjalan-jalan terlebih dahulu. Kupandangi alam yang indah itu sambil kuucapkan dalam hati, “Yes! Aku berhasil sampai ke sini!”. Hatiku benar-benar lega dan aku merasa luar biasa di hari itu. Sampai-sampai, aku menjadi biasa saja ketika aku melihat sepasang kekasih bermain perahu. Tidak melulu berkhayal lagi. Karena buat apa berkhayal? Itu takkan membuat impianku menjadi nyata.
Dalam rangka menjauhi fantasi sekaligus menikmati kenyataan, aku lantas merapat ke sebuah warung kopi di dekat telaga. Tempatnya terletak di bawah pohon yang rindang, bersih, penjualnya juga cantik. Poin terakhir tadilah magnet alami yang membuatku merapat ke sana.
Kulihat gadis yang menjaga warkop tersebut nampak sibuk memasak sesuatu, padahal warung sedang sepi. Tapi itu tak menjadi masalah. Aku pun langsung mendekatinya dan memesan sesuatu.
“Mbak, kopi hitam satu sama indomi goreng!” “Pake telor, Mas?” “Ehm, iya. Ada nasi?” “Ada, mas! Pake nasi?” “Iya, mbak!” “Oke, ditunggu yaaa…”
Haduh, senyumannya membuatku makin semangat dan lelahku seakan-akan lebih terbayarkan. Aku jadi berpikir dia akan asik kalau diajdikan sebagai teman ngobrol.
“Sepi ya mbak?” “Iya, mas. Hari biasa.” “Cobak nek akhir pekan, lak kebek!” “Ya ora mas. Nek akhir pekan ya ana ae sing tuku tapi setitik. Paling wong lima nek gak enem.” “Paling pada tuku sate kelinci.” “Gak paling mas. Ya ancen ngunu. Sampeyan wong ngendi mas?” “Sidoarjo. Nek mbake?” “Halah aku wong kene kae lho, Sarangan. Omahku mburine SD.”
Gadis berkulit putih itu ramah juga. Tapi entah mengapa yang berkunjung sedikit. Padahal menu-menunya juga beragam. Tidak hanya mi instan saja. Di situ juga tersedia nasi pecel, nasi campur, nasi liwet, dan gado-gado.
Tak lama, gadis itu membawakan hidangan buatan tangan lembutnya padaku. Langkahnya begitu anggun dan sedap dipandang mata. Dia bahkan duduk di depanku, menemani makanku. Tapi tenang, tidak sampai menyuapi, kok.
“Monggo, mbak. Tak mangan sik!” “Hooh, Mas. Enakna!” “Kok sampeyan nyempil dewe nang kene toh? Kok gak rada ranaan dodolane? “Hihih, ga apa mas. Enak ae nang kene. Tenang.” “Ooh. Ngunu toh. Eh iya ket maeng kok ngomong ae ya aku. Kenalan sik, mbak! Aku Indro!” “Heh, kok isa tepak! Aku Indri! Terus Dono karo Kasino nang endi?” “Hahaha. Sori ya mbak. Dono karo Kasino lagi sibuk turing!”
Itulah Indri. Seorang penjaga warkop yang cantik nan ramah. Selain itu, dia juga doyan ngomong suka bercanda. Gaya ketawanya pun aneh. Sekalinya ketawa ngakak, bikin kuping setengah budeg. Bau badannya wangi juga rupanya. Tak sesuai dugaanku kalau dia itu bau keringat akibat kena kompor atau bau minyak. Apalah dayaku kalau begitu. Yang bau asap kendaraan. Maklum, habis perjalanan jauh. Hehehe.
Hanya beberapa menit saja Indri meluangkan waktunya untuk mengobrol denganku sebelum pada akhirnya dia kembali beraksi di depan kompor. Kulihat hari juga sudah mulai senja. Ini saat yang tepat untuk menyudahi perjalanan. Kukeluarkan sejumlah uang untuk membayar Indri. Maksudnya, membayar semua hidangan yang telah dibuatkan oleh Indri. Begitu. Ya kali cewek yang kayak begitu cakepnya mau dibayar cuma 20.000?
“Ini ya uangnya!” “Tu, wa, ga… uangnya pas. Makasih, Mas!” “Sama-sama. Eh, Mbak. Ehm… anuuu…” “Apa ya mas?” “Mumpung ada mbak nih, saya mau minta tolong.” “Apa mas?” “Fotbar yuk. Mau gak?” “Foto? Hahahaha? Buat apa? Ya wis, ayo-ayo…tapi sekali foto 50 ribu ya…” “Wah tekor aku!” “Ora-ora, guyon mas. Ayo-ayo. Pake HP sampean ae. HP ku kamerena burek.” “Oke, 1,2,3… Terimakasih lho, Mbak!” “Sama-sama. Saya juga makasih. Saya tetep seneng kok mas biarpun cuma didatengi satu pembeli. Langsung ke Sidoarjo?” “Iya, Mbak! Mari, saya duluan!” “Iya. Hati-hati Mas Indro! Besok kalau ke Sarangan jangan lupa mampir ke sini!” “Siap!”
Senjaku begitu indah kini. Meski Indri bukan kekasihku, namun aku bahagia karena bisa ngobrol dengan wanita cantik sepertinya. Senyumku makin berkembang dan lelahku menjadi hilang. Bagiku, perjalanan kali ini menjadi self reward-ku yang efektif. Semangatku kembali terisi dan terus membara. Bahkan sampai aku sampai pulang ke rumah dan beraktivitas kembali.
Cerpen Karangan: Falkisah