“Kamu yakin mau kita putus?” “Kita gak punya pilihan selain putus kan? Terus buat apa dipertahanin?” jawab perempuan itu dengan tegas.
Kedua sejoli itu sedang berada di sepinya kafe. Duduk di dekat jendela yang berembun karena hujan di luar. Suara uap dari air mendidih kopi itu beradu dengan suara helaan nafas pria di depannya.
“Cla, kamu kalau mau ambil keputusan jangan waktu emosi,” tenang pria didepannya dengan mengusap wajah kasar. “Aku tau kamu capek sama hubungan kita, tapi bukan berarti kita selesai. Aku, aku sayang banget sama kamu.”
Clara terkekeh. “Sayang? Sikap mana yang nunjukin kalau kamu sayang aku?-”
“Terus pengorbananku selama ini kurang hah?” suara itu sedikit meninggi.
“Pengorbanan yang mana?” tanya Clara. “Kamu selama ini gak pernah ngasih pengorbanan sedikit pun. Kamu pernah ngerti perasaaanku waktu aku sedih? Kamu tau rasanya kamu bilang sayang tapi sikap kamu gak pernah nunjukin kamu sayang aku? Sakit, Ndra. Aku udah dari dulu sabar sama sikap kamu, aku ngertiin kamu. Nyatanya aku juga yang ngalah, aku juga yang capek. Aku juga masih gak percaya, apa kamu juga masih sayang sama mantan kamu? Kamu kaya nyari diri mantan kamu di aku, Ndra.”
Endra menatap dalam mata Clara. “Iya kalau aku masih sayang mantan aku kenapa? Kalau aku belum bisa lupain mantan aku kenapa? Kamu yang jadiin semuanya ini rumit. Sekarang maunya putus kan? Oke aku turutin maumu. Kita resmi putus.” Endra langsung berdiri, dan meninggalkan Clara sendiri di kafe.
Tak disadari air mata Clara jatuh membasahi pipi. Ia menatap punggung Endra dari jendela hingga menghilang. Dada perempuan itu naik turun, rasanya tidak tenang.
“Kenapa gue yang sedih? Harusnya gue bahagia karena udah lepas dari rasa sakit itu.” Clara mengusap air matanya kasar, lalu menarik slingbagnya untuk keluar kafe.
Selang dua hari, Endra dan Clara sering bertemu, namun mereka tak saling sapa. Hanya mata mereka yang menebarkan berbagai kerinduan. Endra sekarang lebih fokus dengan kerja dan kuliahnya, sedangkan Clara sibuk menyusun tugas akhir.
“Lo jadi pendiem banget, Cla?” tiba tiba Jaka berceletuk sembari duduk sebelah kursi kantin Clara. “Biasa aja gak sih?” “Lo sendiri terus sekarang. Udah gak sama Endra emang?” Jaka memakan baksonya yang ia pesan. Ia melihat Clara menyerumput es teh dengan raut bingung. “Ya gitu lah.” Clara itu perempuan tipe apa apa sendiri dan agak pendiem. Jaka mengangguk angguk dan melanjutkan makanan.
Ting! Pesan masuk di handphone Clara. Buru buru perempuan itu membuka.
Endra Cepet banget lo dapet yang baru
Clara menaikkan satu alisnya lalu clingak clinguk memgingkari penjuru kantin. Ternyata Endra dipojok sedang memperhatikannya.
Clara Jangan sok tau deh
Ting! Endra Pulang matkul temui gue, di kafe biasa.
Clara Buat apa?
Endra Bahas hubungan kita
Clara Kita udah selesai kalau lo lupa
Endra Kemarin kita ambil keputusan terlalu emosi, Cla. Nanti gue jemput, gak ada penolakan.
Clara mengertakan giginya. Mengenggam ponselnya erat erat.
Endra maunya apa sih? Mau perbaiki hubungannya biar gue gak bisa move on gitu? Cihhh. batin Clara.
Apakah keputusan Clara dan Endra putus itu pilihan yang terbaik? Atau malah menjadi sakit karena mereka putus?
Cerpen Karangan: Nadia Luthfita Faadhillah Blog / Facebook: Nadia Luthfita