Dini mengajaku terus berjalan menyusuri torotoar jalan yang dipenuhi banyak orang. ‘Wah suasana ini terlihat seperti di tokyo dan kota kota lain di’ batinku dalam hati. Aku kembali menoleh kearah dini untuk memperjelas lagi dalam melihat wajahnya yang kini berjalan tepat disampingku dengan masih menggenggam erat tanganku. Terlihat ia masih tersenyum seperti biasa sambil sesekali memakan eskirimnya. Terlihat Keringat membasihi rambut hitam yang berada didekat telinganya berkilau saat terkena pancaran sinar matahari pagi. Aku semakin dibuat terpesona olehnya. Setelah tidak lama berjalan dini menghentikan langkahnya yang membuatku tersadar dari lamunanku yang tengah terpesona melihat kecantikan dini.
“Tolong ya Pegangkan” pintanya sembari memberikan es krimnya kepadaku. “Oh, iya” jawabku gugup menerima eskrim darinya. Melihat gelagatku yang seperti itu dini malah menjadi tertawa, mungkin baginya aku terlihat lucu saat itu dengan bagaimana caraku merespon permintaanya yang mendadak. Aku tidak tau apa yang akan dini lakukan setelah itu. Namun semuanya terjawab setelah tidak lama ia menguncir rambutnya sembari tersenyum menatapku. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Ternyata dia berhenti untuk itu. Dan jujur itu membuatnya terlihat semakin cantik dan sekaligus menambah kekagumanku terhadapnya.
Ayok jalan lagi; sambungnya lagi yang kali ini langsung menggandengkan tanganya dilenganku. Aku sangat terkejut untuk hal semacam itu. Bagaimana mungkin di bisa bersikap biasa saja untuk hal hal semacam itu. Apakah di sudah terbiasa, maksudku lebih tepatnya dengan orang yang baru pertama kali dikenalnya seperti aku, apakah dia biasa melakukanya?. Tapi mana mungkin seseorang akan melakukan hal semacam itu untuk orang yang baru pertama kali dikenalnya. kecuali orang itu sudah saling mengenal satu sama lain. Itulah yang ada di fikiranku waktu itu. Sungguh ini terasa sangat aneh.
“Namamu dini?” tanyaku mencoba memecah keheningan diantara kami sambil terus berjalan. Aku mencoba untuk bersikap normal seperti biasanya untuk menghilangkan rasa gugup yang sedang menimpaku. Dini hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaanku, dan kemudian meneoleh mentapku dengan sedikit memiringkan kepakanya. “Dini Anjani” jawabnya tersenyum. “Oh Dini Anjani” gumamku mengulangi namanya. “Kamu adam kan?” tanyanya dengan tersenyum. Entah mengapa aku sangat suka melihat senyuman dini. Itu sudah seperti candu yang ingin terus kulihat darinya. “Iya” aku juga ikut menjawab pertanyaanya dengan penuh senyuman. “Namaku Nur adam, Muhammad Nur Adam lebih lengkapnya” Kami saling bertukar senyuman saat itu.
“Kok kamu tau namaku?” tanyaku penasaran. Tiba tiba dini malah menghentinkan langkahnya yang membuatku hampir terjatuh. “Eh.. eh.. ehh” kataku spontan sembari mengimbangi tubuhku yang sedikit tertarik akibat dini yang tidak melepaskan gandenganya. “Wahh…” gumamnya setelah melihat bola gulali yang dijual di toko itu. “Kamu mau” kataku sambil tersenyum kearahnya. “Boleh” jawabnya dengan senyuman yang kini terlihat menyipitkan matanya. Akupun merogoh saku celanaku kemudian membelikan gulai itu untuknya. Tampak dini sangat bahagia setelah mendapatkan apa yang diinginkanya. Dia memakan gulai itu dengan lahap tanpa merasa malu sedikitpun kepadaku. Aku tersenyum senang melihatnya seperti itu. Dia sangat polos batinku dalam hati.
Kami terus berjalan menikmati suasana pagi yang cerah, suasana yang jauh berbeda dari biasanya. Dimana aku yang untuk pertama kalinya jalan berduan bersama wanita yang baru saja kukenal. Bagaimana caranya memperlakukanku itu sangat luar biasa, dan aku suka meskipun masih sedikit canggung.
Terlihat dibelakang teman teman kelasku masih setia mengikuti kami, akupun melempar senyuman kearah mereka seolah sedang mengatakan kepada mereka aku juga bisa seperti kalian, ‘ini dini pacarku’ batinku mengaku ngaku didalam hati. Terlihat mereka tampak tidak senang melihat dini yang masih menggadeng lenganku.
“Kita mau kemana?” tanyaku kepada dini “Ke sekolah” jawabnya tersenyum. Harusnya aku tidak melontarkan pertanyaan seperti ini kepada dini. Karena itu sama saja seperti sedang memperlihatkan kebodohanku didepanya. Seseorang dengan seragam lengkap sepertiku sudah tentu akan pergi ke sekolah. Namun aku masih saja menanyakan hal itu. ‘Ah bodohnya aku’ batinku dalam hati.
“Tapi kok kamu gak pake seragam sekolah?” tanyaku penasaran. Ya bagaimanapun juga itu sudah bisa dilihat dari pakaian dini yang hanya mengenakan kaos oblong dan rok sebatas lutut, itu mencerminkan bahwa dia tidak ada hubunganya atau urusan dengan sekolah. “Kan kamu yang sekolah” ucap dini menjawab pertanyaanku dengan tersenyum. Aku berfikir untuk tidak melanjutkan pembahasan tentang ini, mungkin dia tidak bersekolah atau tidak sedang ingin ke sekolah. dan aku tidak ingin membuatnya merasa tersinggung dengan obrolan semacam ini. Bagaimana pun juga ini adalah perkenalan awal dan aku tidak ingin ada kesalah pahaman dianatara kami. Mengkuti alurnya saja, adalah satu satunya cara teraman menurutku.
“Sudah sampai” kata dini tersenyum sambari menghentikan langkahnya. “Sampai” gumamku mengulangi perkataanya. ‘Ini kan bukan sekolah’ batinku dalam hati setelah melihat keadaan sekitar, Ini masih daerah pasar. “Sampai disini ya dam” Ucap dini kepadaku dengan penuh senyuman. Aku sempat diam beberapa saat memandang wajahnya yang begitu menawan, di benar benar pemilik senyuman manis itu, dini anjani batinku. “Eh,” apa, iya, iya”. Jawabku spontan sambil garuk garuk kepala. “Sampai sini saja tidak apa apa kok” Jawabku lagi. Dini tersenyum kepadaku sambil melepaskan gandenganya. Aku tunggu kamu disini ya, “habis pulang sekolah kita ketemu disini lagi” pintanya kepadaku. Jujur aku merasa sangat senang mendengar hal ini. Itu seperti sebuah harapan yang telah ia berikan kepadaku. Harapan yang begitu indah dan luar biasa untuk segera kutunaikan. ‘Secepatnya aku akan menemuimu lagi dini’ batinku dalam hati.
“Kalau begitu aku pergi dulu ya” kataku kepada dini seraya berpamitan. Ia hanya tersenyum mengagguk menyetujui perkataanku yang hendak meninggalkanya. Perlahan aku mulai berjalan menjauhi dini yang masih mematung di tempat terakhir kali kami berpisah. Terlihat Dini masih tersenyum kearahku sambil menyilangkan tanganya didepan seperti orang yang sedang dalam penantian. Bagaimanapun juga sebenarnya aku masih ingin berlama lama denganya, bolos satu kali pun tidak masalah jika karena hal semcam ini. Hal yang membuatku bahagia, hal yang baru pertama kali bagiku, dan hal yang membuatku ingin terus melihat senyuman manis itu, dan aku tidak sabar untuk pertemuan selanjutnya sepulang sekolah.
“Ingat, kita ketemu disini ya” teriak dini dengan keras dari tengah tengah kerumunan orang. Aku tersenyum melihatnya yang sedang melambai lambaikan tanganya kearahku. Hal semacam itu mungkin terlihat sepele, tapi justru sebaliknya. Lambaian tangan sebenarnya memiliki arti yang sangat mendalam. Bagaimanapun juga tidak ada satupun yang tau kapan perpisahan datang kepada setiap orang. Dan lambaian tangan itu, bagiku adalah caranya dalam mengahargai pertemuan sebelum perpisahan benar benar dihantarkan. Aku mengangkat jempolku keatas sebagai isyarat mengiyakan perkataanya, meskipun tidak diminta sekalipun, aku pasti akan melakukanya. Mencari dan terus mencarinya dimanapun dia berada, itulah satu satunya hal paling berani yang harus kucoba.
Dini sudah tidak terlihat lagi. Namun mataku masih bisa melihatnya ditempat terakhir kali kita berpisah dengan senyuman yang masih sama. Dia masih menungguku di ujung pasar itu. ‘Dini anjani, tunggu aku’ batinku. Aku terus melangkahkan kakiku menuju sekolah dengan fikiran yang masih terus tertuju kepada dini. Bagaimana senyumanya, secepat itu kini sudah berubah menjadi candu yang ingin terus kulihat darinya. Pertemuan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Namun disisi lain aku kepikiran dini yang tidak ke sekolah, dini yang menurutku masih seumuran denganku harusnya dia bersekolah seperti anak anak lain pada umumnya. Atau jangan jangan dia putus sekolah kemudian memilih membantu orangtuanya berjualan di pasar itu. Jika itu faktanya, aku sangat mengapresiasi apa yang dilakukan dini. Orang orang seperti dia harusnya kita hargai dan kawani dalam bergaul. Dini dan pasar adalah satu kebahagiaan yang baru saja kutemukan.
Tidak terasa aku sudah sampai di sekolah sembari terus memikirkan dini yang baru saja kutemui. Kakiku terus menyicil langkah menuju ruang kelas tampat dimana aku belajar. Setalah sampai didepan pintu aku melihat teman teman kelasku tengah riuh dan terlihat heboh. Samar sama kudengar percakapan mereka yang seringkali meyebut nyebut namaku. ‘Sepertinya aku harus siap untuk bulian hari ini’ batinku. Namun tidak lama setelah aku duduk di kursiku, tiba tiba aldi berbicara dengan intonasi yang cukup keras. “Woy semunya adam sudah punya pacar” teriaknya yang membuat kelas semakin heboh dan riuh. Aku terkejut mendengar hal itu, bagaimana mungkin dengan gampangnya dia mengatakan hal semacam itu didepan semua orang. Padahal antara aku dan dini sama sekali tidak terjalin hubungan apa apa. Dan kami juga baru bertemu hari itu. Namun aku bersyukur, sepertinya mereka percaya jika aku dan dini lebih dari sekedar teman. Atau menganggap kami berpacaran. Terserah mereka lah, setidaknya dengan kesalah pahaman mereka itu akan membuatku tidak dibuli lagi di sekolah. Akupun tersenyum kearah mereka menanggapi pernyataan aldi yang masih berdiri diatas kursi.
Tampak dari mereka ada yang tidak percaya mendengar hal itu. Namun aldi, reza, tono dan iyan terus mencoba menyakinkan mereka yang membuat masing masing dari pacar mereka terlihat cemburu. “Bagus” gumamku.
Cerpen Karangan: Ikwan Alhaki