Kala itu hujan mengguyur kota tua. Suara-suara berdendang mencekam atap kedai di samping kampus Unika St Paulus. Genangan air di jalan raya terlihat sangat menarik dipandang mata. Ditengah hujan itu, ada seorang gadis berparas cantik, lagi duduk termenung di kedai itu. “Hm… Ya hujan. Engkau menyiksaku hingga tak bisa pulang. Secangkir kopiku tak akan mampu mengalahkan dinginnya genangan airmu itu”
Di bawah teduhnya kedai, langit sudah sangat muram. Hujan tak kunjung usai dan terus mengguyur kota tua. Seorang pria yang rupawan berlari dari gerbang kampus dan ingin singgah sebentar di kedai itu, menunggu hujan reda. Tak langsung duduk ataupun memilih tempat duduk, pria itu perlahan pergi ke dapur kedai dan memesan secangkir kopi.
“Bude, pesan secangkir Kopinya untuk saya” “Baik nak, tunggu sebentar ya”
Setelah memesan kopi, dia langsung menuju teras kedai. Teras yang sangat istimewa dengan suasana kota yang cukup menyenangkan. Matanya langsung tertuju pada wajah gadis yang sudah dari tadi termenung menuggu hujan reda.
“Hay… Apakah saya boleh duduk disini” Sambil tersenyum. “I..iya kak, boleh” Sedikit gugup. Setelah diizinkan untuk duduk, mereka berdua pun berbincang sambil menyuguhkan seruput kopi. Keduanya seolah-olah mulai terlena dengan rasa kopi di kedai itu. Apalagi hujan tidak berpihak pada mereka berdua.
“Nama kamu siapa dek?” “Sintia kak. Kalau kakak punya nama siapa?” “Nama saya Ren” “Baiklah kalau begitu kak”
Banyak kata-kata yang diucapkan. Tak terasa waktu berlalu. Terlihat di jam dinding sudah nampak pukul 17:15 sore hari. Hujan sudah mulai reda, namun gerimis masih menepis. Kabut menutup pandangan mata. Mereka berdua pun bergegas pulang.
“Kak, ayo kita pulang, selagi hujan reda” “Baiklah. Tapi Santia pulangnya dengan siapa?” “Itu dia kak, tidak ada ojek yang lewat lagi” Dengan wajah cemasnya. “Kalau begitu saya saja yang antar ya” “Tapi kak…!” “Ya… Ayo naik motornya sekarang, takut keburu malam”
Ditengah gerimis, jalan masih kabut dan mereka berdua pun berjalan perlahan menuju rumah Sintia. Pada langkah pertama itulah nantinya yang akan menjadi kenangan terindah dalam kehidupan mereka berdua. Dalam perbincangan mereka di hari itu, sudah banyak pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan. Namun, tak sedikitpun mereka berdua menyusun pertanyaan tentang siapa pemilik rasa yang ada di dalam hatinya.
Hari-hari berlalu. Senja tenggelam di tanah Timur. Malam bergegas bangkit dari tidurnya. Dan pria rupawan itu masih duduk santai di meja kamar tidurnya. Kopi, buku dan pena berbalut tinta hitam menjadi teman baiknya di malam itu. Tak lupa secarik kertas telah Ia siapkan juga. Semua itu hanya untuk melontarkan segala sesuatu dalam isi kepalanya. Entah kata-kata apa yang akan ia tuliskan malam. Mungkinkah Ia akan menuliskan tentang rasa atau tentang rindunya kepada Sintia, entahlah!
Malamnya muram ketika mengingat pada pertemuan. Ia pun tertidur pulas di depan meja tanpa sekalipun bermimpi tentang Sintia.
Sebulan kemudian, Ia ingin menyapa Sintia. Namun, beberapa bulan lalu Ia lupa untuk meminta nomornya Sintia. Hari itu, Ia berada di kampus bersama kawan-kawannya. Perasaannya seolah tak karuan. Mondar-mandir tidak jelas di depan teras gedung utama.
“Woy… Kenapa lu mas bro?” Memukul pundaknya. “Nggak apa-apa kok Pren!” Sahutnya. “Daripada galau mending kita ke kantin sebelah yo” Mendengar kata kantin sebelah, Ia mulai mengingat pertemuan singkat dengan Sintia di waktu lalu. “Hmm… Ayo kita ke kantin!”
Selang beberapa menit, mereka akhirnya tiba di kantin. “Hay Bude” Memanggil perempuan tua yang selalu setia memberikan mereka kopi. “Kok Bude baru lihat mukanya. Selama ini kemana saja nak?” “Itu dia Bude, kami terlalu banyak kesibukan sehingga tidak sempat singgah di kedai ini” “Kalau begitu Bude siapkan kopinya dulu, biar kalian tidak jenuh” “Baik Bude”
Tidak terlalu memakan waktu lama, Bude langsung menyuguhkan seruput kopi untuk mereka. “Nak ini sudah kopinya. Silahkan dinikmati ya!” “Terima kasih Bude”
Seruput kopi menemani mereka semua di sore itu. Masih tentang dirinya yang sangat merindukan pertemuan singkat di kedai itu. Kopi mulai menggerogoti imajinasinya, Ia mulai menyiapkan pena dan menuliskan surat singkat di atas kertas putih. Apapun yang Ia tuliskan di sore itu, semuanya pasti tentang wanita yang Ia temui di kedi kopi. Yaitu wanita bernama Sintia.
Dear Sintia Engkau yang kudamba sepanjang masa Kini senja sudah membayang Hujan tak lagi menyerbu diriku di kedai ini Tak seperti pertemuan singkat kita Hujan mengguyur dan mempertemukan kita Di kedai ini, tanpa hujan mengusik Mungkin aku akan menulis tentang pertemuan hari itu. Ya… Singkat, namun sangat melekat padaku. Aku berusaha menolak lupa pada dirimu. Namun, itu tidak mungkin. Satu yang menjadi pintaku, semoga waktu mempertemukan kita di kedai kopi ini lagi nanti.
Dari Ren yang kau temui di kedai kopi.
Pertemuan singkat itu membuatnya merana di setiap waktu. Ingin bertemu namun itu belum tentu terjadi.
Setengah jam bersama dengan kawannya di kedai kopi, dirinya tak pernah mengikuti perbincangan karena dirinya sibuk menulis surat singkat untuk Sintia.
Disaat dirinya melipat secarik kertas putih itu, salah satu kawannya bertanya. “Mas, suratnya sudah selesai ditulis belum?” “Oh iya, aku lupa ternyata aku datang dengan kalian semua disini” Bingung. “Ya sudah, kita pulang yo. Kalau ada waktu besok kita datang kesini lagi!” “Baiklah kalau begitu”
Sebelum pulang, mereka tak lupa pada si Bude. “Bude kami pamit dulu ya. Terima kasih untuk kopinya”. Pamit bersamaan. “Yo. Hati-hati di jalan”
Jalan pulang dengan hangatnya persahabatan.
Selesai…!
Cerpen Karangan: Ronaldus Heldaganas Blog / Facebook: Ronaldus