Kamu tau? Ada banyak kata yang tidak dapat aku utarakan pada dirinya. Tapi mungkin aku akan mencoba ketimur, atau mungkin barat.
Kamu harus tau. Bintang itu baik. Manusia paling baik yang pernah kujumpai saat ini.
Bintang itu bukan dari keluarga kaya. Tapi dia sangat royal. Yang dengan santainya mengeluarkan uang untuk pengangguran ini. Bahkan tak segan segan membelikan buku sebagai upah membantunya menyelesaikan tugas.
“Duit dari mana?” Ngepet, kak.
Dan juga, aku ini manusia biasa yang tidak bisa konsisten dengan ucapan. Aku seorang manusia yang hobi sekali menjilat ludah sendiri.
“Gimana rasanya?” Enak. Boleh dicoba.
Aku dan Bintang sudah berteman dari setahun lalu. Beragam suka duka kami lewati bersama. Bahkan mungkin lebih banyak sukanya ketimbang duka saat kami bersama.
Kata orang, “Tidak ada pertemanan murni antara perempuan dan laki-laki.” Ya, orang itu benar. Aku menyukai Bintang. Dan ternyata rasaku terbalas.
Pikiranku terasa berhenti, tatkala dirinya mengajakku untuk berpacaran.
“Kenapa harus pacaran? Kita sekarang ini saja tidak jauh berbeda dari mereka yang berpacaran.” Aku menatap kedua matanya langsung. Hembusan angin malam yang dingin membuatku sedikit mengeratkan tubuhku sendiri.
“Aku ingin pacaran itu supaya kamu gak kemana-mana, dan cukup sama aku aja.” “April, aku tau ini egois. Tapi aku tidak bisa melihat kamu bersama yang lain,” sambungnya.
Aku terdiam dan mulai mengalihkan pandangan mataku ke bawah. Menatap aspal yang sudah rusak termakan waktu.
Bingung harus jawab apa. Otakku buntu, kak. Saat itu aku memberanikan diri menoleh ke arahnya. Betapa kagetnya aku melihat kedua matanya yang mulai membasah.
“Jangan nangis!” pintaku. Bintang justru tertawa kecil, “Aku cuman takut kamu sama orang lain, Ti.” Lalu dia usap perlahan kedua matanya. Dan aku masih menatapnya cukup lekat.
“Harus banget pacaran?” tanyaku. Dia menengok, kelihatan sekali matanya yang sembab.
Kamu tau? Dia itu gila. Hobi tertawa dan tersenyum ketika sedih. Seperti saat itu, dia tersenyum kecil kak setelah aku bertanya seperti itu.
“Sebenarnya tidak pacaran pun tak masalah.” “Tapi apa kamu bisa jamin, tidak akan berpaling ke laki-laki lain?” tanyanya, “Apa kamu bisa jamin tidak akan meninggalkan aku?”
Aku terdiam, sebegitu takutnya dia aku tinggalkan.
“Lalu kamu jawab apa?” Aku? “Iya, kamu.” Aku jawab, “Kalau aku bisa menjamin itu bagaimana?” Dia luluh, kak. Dia tidak keberatan.
“Kalau kamu bisa jamin ini, aku tidak masalah kita tidak pacaran,” ujarnya. “Tapi apa jaminan yang akan kamu berikan?” Otakku kembali berpikir, kak. Saat itu bingung harus jawab apa. “Lalu kamu jawab apa?” Aku jawab, “Aku berani jamin itu. Kalau nanti aku berbohong, aku tambah pendek satu centi.” “Sepuluh centi, gimana?” tawar Bintang. Aku mengangguk, “Aku rela boncel demi kamu!” Lalu kami bersalaman, seperti tengah melakukan transaksi jual beli motor seperti yang ayah lakukan kemarin.
Namun kak, sepertinya kami memang tidak cocok berpacaran satu sama lain. Ada saja masalah yang kami ributkan. Pada bukan Februari kami beneran pacaran, kak. Namun, di tanggal 8 aku memutuskan untuk mengakhiri itu.
“Kenapa?” Gak kuat, kak. Trust issue yang ia alami terlalu parah. Tingkat posesif dan cemburunya juga sudah membuatku hampir mati. Masa lalunya yang buruk membuat dia sangat posesif terhadapku. Dia hanya takut hal yang lalu kembali terulang. Dan aku kira, setelah kejadian malam itu; ketika aku meminta putus. Kami akan menjadi orang asing. Aku kira juga nantinya dia hanya akan menjadi penonton story saja.
Nyatanya tidak, kak.
Kami kembali menjadi April & Bintang yang dulu. Kami berteman kembali. Walau sesekali ia tetap mengucapkan rasa sayangnya kepadaku.
“Kamu senang, Ril? Kamu lebih suka seperti ini?” Iya, kak. Ini lebih baik. “Kamu menyesal?” Menyesal untuk apa? Aku sama sekali tidak menyesal menjadikan ia pacarku kala itu. Kalau aku menyesal, semua air mata dan kata-kata sayang terasa percuma ‘kan?
Aku tidak menyesal memacari sahabatku sendiri.
Cerpen Karangan: Averyl Sky Blog / Facebook: Mutiaveryl