I wish I could pretend I didn’t need ya…
Kaki kita melangkah lamban di trotoar yang basah. beberapa dari banyaknya lampu jalan yang bisa tertangkap mata mulai benderang selepas hujan menyisakan titik-titik air kecil yang sama sekali tidak mengganggu. untung saja di daerah ini berjalan kaki sudah menjadi hal biasa. tangan kita saling menggenggam, aku menyukainya karena setiap kita melakukannya itu akan mengingatkanku pada perasaan saat kali pertama kita melakukannya. aku benar-benar melihatmu bertingkah seperti perempuan pemalu, “Ini nggak sehat buat jantung!” katamu dan aku setuju dengan itu, walau sampai sekarang terkadang aku masih belum terbiasa dengan perasaan itu.
Kita bergurau kalau fasilitas umum ini kita beri nama “Jalan kita” untuk menghargai jasanya karena beberapa kali kita bicara sampai tertawa saat kita berjalan diatasnya. atau, karena jalan ini yang membawa kita menemukan tempat-tempat terbaik untuk singgah berdua. seperti, rooftop tertinggi di kota ini yang jadi tempat favoritku. atau kafe kecil disisi kiri jalan yang juga sering dia datangi saat aku sedang tidak ada disini. mungkin masih ada lagi. yang jelas jalan ini adalah sejarah jika aku sedikit berlebihan.
“Pokoknya salah Fiersa Besari.” katanya. “Hahaha iya salah dia pokoknya,” timpalku sambil tertawa. “Temen macam apa yang kayak ini? pegangan tangan segala, sleepcall sampe jam tiga pagi,” “Temen kok ehem…” “Anda diam!” potongnya, “Entah kita yang kayak lagu atau lagu yang kayak kita ya?” tambahnya. “Pokoknya dm nanti bang fiersa, bang gara-gara lu gua ketawa mulu!” “Iyaa nanti gua juga dm!” candanya. lalu ia terdiam kemudian tertawa sambil mengeluarkan ponsel, kita berhenti berjalan “Eh ada lagi tau,” “Apa?” tanyaku. “Nih dengerin!” ia memberiku sebelah headsetnya agar aku dapat mendengarkan karena cukup bising. suara musik dan nyanyian mengalun ditelingaku,
“You say we’re just friends But friends don’t know the way you taste, la-la-la ‘Cause you know it’s been a long time coming Don’t you let me fall, oh Ooh, when your lips undress me Hooked on your tongue”
Kita berdua tertawa lepas.
“Dm Camila Cabello sama Shawn Mendes juga!” candaku sedikit malu karena yang ini lebih dari sekedar tidak sehat untuk jantung. tetapi, ini bisa membuat kita bisa melepaskan hormon serotonin dan meningkatkan adrenalin. “Iya bodo nanti dm!” “Mana nyanyinya centil gitu. kayak lu waktu itu.” “Mana ada gua centil? yang mana?” bantahnya. “Nanti aja, kalo diinget-inget gua pengen ketawa mulu.” ledekku “Yang pas gimana ih?” “Pikir aja sendiri.”
Di sekitar “Jalan Kita” banyak hal yang terjadi. khususnya bagiku, aku tidak tau bagaimana dengannya, tapi yang pasti, aku tidak lagi merasa hampa dan sendirian. beberapa tempat yang kita kunjungi disini seolah membuat cerita betapa aneh dan mengejutkannya tahun demi tahun jalinan pertemanan kita ini. pertemanan sejak kita belum sama sekali berpikir tentang hidup yang rumit. segalanya terasa benar dan bahagia hingga akhirnya kita bisa dibilang sudah setengah dewasa karena beberapa hal sudah tidak lagi terasa benar dan bahagia dan terkadang itu menjadi topik yang bagus untuk dibicarakan berdua. Aku sudah menulis tentang ini sebelumnya yang kuharap menjadi doa baik agar kita bisa segera melewati badainya. semoga. Aku dan dia masih melangkahkan kaki diatas “Jalan Kita”
“Katanya waktu itu kita terakhir ketemu buat sementara waktu. sampai sekarang kita masih ketemu lagi juga.” ledeknya. Aku tertawa, “Nggak tau, nggak bisa kayaknya.” jawabku “Lagian sok-sok an sih!”
beberapa minggu yang lalu sebelum hari ini…
I wish it wasn’t so damn hard to leave ya…
“Kayaknya ini hari terakhir kita ketemu deh untuk sementara waktu, gua mau ngelupain semuanya dulu, mulai hidup baru, beresin semuanya.” kataku aku dan dia duduk di sebuah kafe di seberang “Jalan Kita” pertemuan yang sebenarnya sangat aku suka. tapi seperti yang kukatakan, kita sudah setengah dewasa dimana beberapa hal dalam hidup tidak lagi terasa benar dan bahagia. kadang kita seolah sudah merasa menghabiskan jatah gagal namun ternyata masih ada gagal yang lain. bahkan ada saatnya kita dihancukan berkeping-keping.
“Kalo itu yang lu mau yaudah gapapa, gua juga mau selesain masalah gua.” katanya. “Iya,” aku mengangguk. “Menurut lu kita gimana si?” tanyaku. “Kalau gua boleh jujur, gua mau ada buat lu seutuhnya, gua mau ketika gua ada buat lu disaat masalah-masalah gua udah selesai. karena lu adalah salah satu orang yang gamau gua sakitin. sewaktu masalah gua selesai gua mau ngasih diri gua yang utuh.” “Iya gua ngerti kok, gua juga sama. ya menurut gua nggak fair aja kalo kita jalan berdua gini tapi ya kita begini aja. makanya buat sementara gua sama lu mungkin harus nggak ketemu, beresin apa yang harus diberesin dari masalah masing-masing.” “Iya kalo emang maunya lu gitu, kayaknya emang harus gitu. gua juga ngerti kok.” ia terdiam sesaat kemudian bertanya, “Berarti ini hari terakhir kita ketemu?” “Iya,” aku mengangguk. “Lu pulang ke kosan lu apa lagi nginep disini?” lanjut tanya nya. “Nginep disini,” jawabku “Kalo gitu malam ini gua nginep di tempat lu aja, biar ada kesan terakhir kali ketemu buat sementara waktunya.” terangnya. “Yaudah.” “Lu nginep dimana emang?” “Di motel, tapi karena malam ini spesial yaudh gua check-out, kita nginep ditempat lain aja yang lebih baik.”
Locked in the hotel, When your lips undress me…
Masih disekitaran “Jalan Kita” gedung cokelat menjulang tinggi. hotel bintang empat tidak terlalu buruk untuk menjadi tempat kita singgah bermalam. kita memilih kamar di lantai yang tinggi sehingga kita bisa jelas melihat “Bintang Lampu” katamu yang berkerlap-kerlip dari atas sana, menertawai bisingnya jalan dan sesaknya manusia yang kadang membuat kita tidak mau terlibat dengan hal-hal semacam itu untuk sejenak. memberikan utuh tubuh serta hati kita kepada ruang ketenangan, membiarkannya bekerja untuk memberikan kita sedikit waktu untuk merasakan kedamaian yang berharga.
“Gua check-in yang double bed kok nggak usah takut gua macem-macem,” kataku sambil berjalan menuju kamar. “Siapa yang takut?” bantahnya.
Di dalam kamar kita terduduk dan bersandar di kasur yang berbeda setelah ia membuat teh dan kopi hangat. ternyata memang benar, terasa sangat nyaman dan damai. dari jendela dia atas sini kita menyaksikan “Bintang Lampu” katamu. tak jauh berbeda pemandangannya pada saat kita berada di rooftop tertinggi tempat favoritku di kota ini. tapi, kali ini kita benar-benar hanya berdua. kita membicarakan banyak hal. bahkan membual jika kita bisa membeli tempat ini dan tinggal bersama suatu hari.
“Lu mau tiduran disini?” tanyaku sambil menepuk satu bantal disebelahku. “Lagian mesen double bed.” jawabnya lalu ia bergegas berpindah keatas ranjangku.
Kami menonton televisi, menertawakan yang disiarkannya seperti biasanya kita menertawai hal-hal tidak penting lainnya. sampai akhirnya ia memindahkan sandaran kepalanya pada lenganku. membuatku bisa merangkul bahunya lalu mengusapnya pelan. dia terdiam kemudian kembali memindahkan sandaran kepalanya, kini tepat diatas dadaku dan itu cukup membuatku menahan napas untuk beberapa saat.
“Kita ngapain sih disini?” candanya sambil tertawa kecil. “Nggak tau,” jawabku juga tertawa. Ia menempelkan kepalanya ke dadaku, seolah memastikan yang sedari tadi ia dengarkan bukanlah suara degup jantung. “Deg-degan,” lanjutnya. “Dikit.” jawabku kemudian aku memegang pergelangan tangannya, tepatnya di nadi. Memastikan juga apakah ada detak disana. “Lu juga deg-degan!” dia kembali tertawa, “Ngapain sih kita disini bego?” “Gua juga ga tau.” kami tertawa bersama. aku terdiam sesaat kemudian mengarahkan bola mataku keatas dan itu sangat mudah ditebak. “Lu mau lebih deg-degan lagi nggak?” lanjutku. “Pasti mau bridging.” tebaknya. Aku tersenyum, “Udah kayak gini ngapain pake bridging segala?” “Terus?”
Aku kembali terdiam, aku bisa merasakan suara degub jantungku semakin kencang. aku takut jantungku bisa tiba-tiba saja keluar dan aku terbunuh. “Mau kiss?” tanyanya lagi, aku benar-benar merasa terbunuh.
Mata kita terpejam, perlahan bibir kita saling mendekat hingga akhirnya bersentuhan dan terekat. suara dari televisi yang menyala di kamar ini sudah menjadi tidak menarik. Seperti yang Eve Glicksman katakan, pencinta kuno percaya ciuman benar-benar akan menyatukan jiwa mereka karena roh dikatakan terbawa dalam napas seseorang. kini tubuhnya berada di atas tubuhku, aku tak menghitung setip setiknya. Mungkin ciuman ini terjadi selama beberapa menit hingga kemudian sorot mata kita bertemu dan saling menatap.
“Jangan diliatin ah,” kataku. “Biar nggak lupa mukanya.” candanya. “Gimana muka bisa beda.” aku tertawa, dia juga. “Biar nggak lupa!” jelasnya lagi.
Aku membelai rambutnya, meyisirnya lembut dengan jemariku sambil kupandangi juga wajahnya. “Dia sangat kusayangi,” pikirku. kemudian bibir kita kembali saling bersentuhan. lidah kita menari seperti Anna Pavlova. aku berharap kita hanya ada bersama bintang lampu dan hening di pencakar langit. meskipun jika aku mendapat bintang dari langit tergelap pun, aku akan bergegas meninggalkannya demi ciuman ini.
Banyak hal yang terjadi hingga akhirnya dia telelap di pelukanku sampai sinar mentari mengusir bintang lampu yang seolah semalaman menjadi lukisan terbaik bagi kita. aku bahagia. pertemuan terakhir untuk sementara ini begitu meninggalkan kesan, sungguh!
Ooh, you keep me coming for ya…
Dan hari ini pada akhirnya itu hanya bual, pertemuan terakhir untuk sementara waktu bukan ide yang baik. sekuat apapun upayaku mencoba untuk pergi, aku pasti kembali lagi. aku memang tidak memaksanya untuk tetap tinggal, namun aku hanya ingin dia tidak hilang dari duniaku meskipun itu untuk sementara. ada baiknya aku ingin berjanji saja untuk tidak menyerah! tetap menjadi sang bertahan! Mewujudkan mesin waktu yang membuat kita bisa mengulang atau bahkan mengembalikan situasi yang rumit. atau, seburuk-buruknya aku bisa berharap pada sedikit keberuntungan dan keajaiban. belajar arti penerimaan dan pengertian. mengajaknya lagi pergi ketempat-tempat terbaik di sekitaran “Jalan Kita”. Membuat cerita berbeda hingga segalanya menjadi jelas. Karena kenyataannya, hari ini aku dan dia masih melangkahkan kakiku diatas “Jalan Kita” dengan tangan saling menggenggam.
“Nanti bulan maret banyak konser tau!” ucapnya. “Yaudah nanti nonton ya sama gua.” “Ayo!” antusiasnya. “Tapi mulai sekarang gua mau manggil lu Senorita ah.” aku tertawa. “Anda diam!” “Bodo! Senorita, hahaha.” “Anda diam!”
Selesai.
Cerpen Karangan: Aditya Isman Blog / Facebook: Aditya Isman