Asa di Hati Aruna
Brukkk...
"Awww, sakitttt!!! Yoi, minggirrr...," ujar Cakra yang sedang berbaring telungkup dengan seseorang berada diatasnya.
"Maa.. Maaf kak, ga sengaja!" sahut seseorang kepada Cakra.
"Kamu ngapain lompat dari tembok, kamu telat ya?" ujar Cakra pada seorang gadis yang saat ini berdiri kaku dan menunduk di depannya.
"I..., Iya, tapi tolong jangan dilaporin ya kak. Kali ini aja, lain kali engga bakalan telat lagi," ujar sang gadis memohon kemurahan hati Cakra yang merupakan anggota kedisplinan sekolah mereka SMU Kencana.
"Enak aja peraturan tetap peraturan, siapa nama kamu?" tanya Cakra.
"Ehmm, Aruna kak."
"Nama lengkap, kelas berapa?"
"Aruna Larasati, kelas I - 2 kak."
"Alasan telat?"
"Ngantar ibu saya ke rumah sakit kak, tadi ibu saya jatuh waktu sedang siap-siap mau bekerja," jelas Aruna.
" Jadi kenapa lompat pagar?" tanya Cakra.
"Saya ada ujian hari ini kak, saya engga mau ujian ulangan makanya saya terpaksa harus lompat tembok biar bisa masuk. Kakak kan tau peraturan sekolah kita engga ngebolehin siswa yang terlambat masuk." Aruna berusaha menjelaskan alasannya memutuskan melompati tembok demi masuk sekolah.
"Alasan kamu bisa dipertanggungjawabkan engga?"
"Bisa kak, kalau kakak engga percaya, nanti kakak boleh ikut aku ke rumah sakit tempat ibu aku di rawat. Aku engga bohong beneran...."
"Oke, nanti pulang sekolah aku tunggu kamu di gerbang sekolah, jangan sampe kamu menghilang ya. Kamu tau konsekuensi kalo sampe kamu boong ya," ujar Cakra tegas.
"Iya kak, makasih banyak ya kak. Nanti aku pasti jumpai kakak di gerbang sekolah. Sekali lagi, makasih banyak ya kak. Aku masuk kelas dulu. Permisi kak." Aruna segera berlari menuju ke kelasnya.
****
"Ehmmm, tepat janji juga nih anak," gumam Cakra yang melihat Aruna berjalan ke arahnya.
"Maaf nunggu kak, tadi piket bersihkan ruangan dulu," balas Aruna.
"Gapapa, udah yuk. Aku engga bisa lama, ntar ada eskul basket jam 4."
"Ayo kak, kita naik angkot aja dari sini ya."
"Angkot? Engga ahhh. Aku bawa motor kok, naik motor aku aja."
"Ooooh, iya deh kak." Kiara mengikuti Cakra yang berjalan ke arah parkiran sekolah mereka.
Setelah sampai, Aruna langsung membawa Cakra ke ruangan tempat ibunya dirawat.
"Masuk kak," ujar Aruna pelan sambil membuka pintu. Aruna berjalan melewati dua bangsal yang ada di dekat pintu dan menuju bangsal yang paling dekat dengan jendela.
"Runa, kamu udah datang sayang?", sapa Risma ibu Aruna yang sedang terbaring dengan kaki kanan yang sedang di balut perban.
"Iya bu, oh iya bu.... Ini Kak Cakra, kakak kelas Aruna di sekolah," ujar Aruna memperkenalkan Cakra pada ibunya.
"Ohhh, kenapa temen kamu sampe ikut kesini, nak? Engga ada masalah kan disekolah kamu?" tanya Risma khawatir.
"Ehmm, gapapa bu. Saya Cakra kakak kelas Aruna. Kebetulan saudara saya ada yang di rawat disini, jadi saya ngajak Aruna sekalian biar bareng.” Cakra berbohong agar Risma tidak khawatir.
“Oh, saya kira Aruna ngelakuin kesalahan di sekolah.”
"Engga bu, kalo begitu saya permisi dulu ya bu. Kebetulan saya ada eskul di sekolah. Jadi harus balik lagi kesana," ujar Cakra.
"Baik. Hati-hati, Nak Cakra."
Aruna mengantarkan Cakra kembali ke parkiran.
"Ya udah aku balik ya," ujar Cakra.
"Ya kak, hati-hati. Makasih karena kakak sampe boong biar ibu engga khawatir," balas Aruna. Aruna berdiam di bangku yang tersedia di depan kamar dimana ibunya dirawat setelah kepergian Cakra.
"Ahhh, gimana ngasih tahu ibu kalo tenggat pembayaran SPPnya tanggal 10 ini?!" gumamnya lirih. Aruna sudah menunggak SPP selama tiga bulan. Akhir bulan ini adalah tenggat waktu yang diberikan oleh sekolah untuk membayar tunggakannya. Pihak sekolah memberikan keringanan kepada orang tua Aruna untuk membayar SPPnya karena ayah Aruna baru saja meninggal enam bulan yang lalu. Dan selama ini ayah Arunalah yang menjadi tulang punggung keluarga mereka.
Sepeninggal ayah mereka, Ibunya yang menggantikan posisi sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Risma membuka jasa cuci dan setrika, untuk tambahan Risma juga berjualan nasi uduk yang dititipkan ke warung-warung di sekitar rumah mereka. Penghasilan Risma hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
"Tuhan, apa yang harus aku lakuin, apakah aku memang harus putus sekolah dan mengubur impianku untuk melanjutkan studi hingga ke universitas? Apa aku harus berhenti sekolah dan membantu ibu saja untuk membiayai kehidupan kami dan sekolah Arka?! Kiranya Tuhan berkenan untuk membantu kami," seru Aruna dalam doa singkat.
****
"Runaaaa," seru Cakra yang melihat Aruna sedang duduk termenung di salah satu bangku di taman sekolah mereka.
"Kak Cakra."
"Ngapain bengong sendirian disitu, engga takut kesambet kamu?"
"Hehehe.. Gapapa kak." Aruna hanya tertawa lirih dan kembali terdiam sesudahnya. Cakra yang melihat wajah sedih Aruna pun bertanya,
"Run, kamu kenapa? Ibu kamu gimana udah baikan, udah pulang dari rumah sakit?"
"Udah kok kak, kemarin sore udah balik ke rumah."
"Jadi kenapa kamu keliatan sedih?"
"Gapapa kak, cuma lagi mikir sesuatu aja," ujar Aruna.
"Kalo kamu mau, kamu bisa cerita sama aku kok. Mana tahu setelah cerita kamu bisa lega atau mungkin aku bisa bantu."
Aruna menatap Cakra yang kini juga sedang menatapnya. Aruna ragu untuk mengutarakan masalah yang sedang dihadapinya kepada Cakra karena mereka baru saja kenal.
"Kalo kamu keberatan untuk cerita gapapa kok, aku ngerti," ujar Cakra melihat Aruna yang masih saja bungkam.
"Ehmmm, kemungkinan aku cuma bersekolah sama bulan ini aja kak. Aku udah nunggak SPP selama tiga bulan dan udah dapat peringatan bahwa batas akhir pembayarannya adalah akhir bulan ini. Ibu engga punya uang untuk bayar SPPnya karena penghasilan ibu cuma cukup buat makan sehari-hari. Bapak udah engga ada, udah dipanggil Tuhan enam bulan yang lalu."
"Ohh maaf aku engga tau", ujar Cakra karena menyesal memaksa Aruna untuk bercerita.
"Gapapa kak."
"Ehmmm, aku pinjamin uang buat bayar SPPnya gimana? Nanti kamu bisa nyicil ke aku."
"Engga usah kak, aku engga enak berutang budi sama orang lain. Lagian aku udah mutusin engga ngelanjutin sekolah lagi kak, biar bisa bantu ibu. Biar adik aku aja yang sekolah."
Cakra hanya terdiam mendengarkan perkataan Aruna. Bel sekolah berbunyi menandakan mata pelajaran berikutnya sudah menanti. Pembicaraan mereka terputus saat itu juga, dan mereka kembali ke kelas mereka masing-masing.
Beberapa hari kemudian,
"Aruna," ujar Cakra yang berdiri menjulang dihadapan Aruna.
"Wahh.... Ternyata nyariin kamu engga susah ya. Bangku ini tempat kesukaan kamu ya?" lanjut Cakra.
"Hehehe iya kak, disini tenang." Aruna menjawab seadanya.
"Run, kemarin aku nyari data dirimu kamu di bagian kesiswaan. Ternyata kamu selalu diperingkat pertama ya di kelas. Kamu mau engga ngajarin adik aku, jadi guru privatnya. Dia masih kelas 2 SD dan lumayan pintar jadi kamu pasti engga susah ngajarin dia. Ntar kamu dibayar dimuka sama mama aku, jadi kamu bisa pakai buat bayar SPP kamu. Gimana kamu tertarik engga?"
"Itu beneran kakkk?"
"Iya beneranlah..., Kemarin aku udah cerita sama mamaku dan mama udah setuju."
"Wahhh, kalo memang boleh aku mau banget kak. Tapi aku tanyain ibu dulu, kak.
"Ya udah, kamu ngobrol dulu sama ibu kamu. Besok kabari aku kalo uda ada jawabannya ya. Aku duluan ada rapat Osis." Cakra meninggalkan Aruna sambil berlari.
Akhirnya Aruna menceritakan kepada ibunya perihal tawaran yang diajukan oleh Cakra. Ibunya pun menyetujuinya dengan syarat Aruna tetap menjaga kesehatannya dan tidak memaksakan diri. Akhirnya tiga kali seminggu Aruna megajar les privat untuk adik Cakra. Penghasilan Aruna dari mengajar les tersebut bisa membantu Aruna untuk melunasi tunggakan SPPnya dan juga sebagian bisa ditabung untuk keperluan sekolah ia dan adiknya.
Aruna merasa sangat beruntung bila mengingat perjumpaannya dengan Cakra. Ia tahu Tuhan mengirimkan Cakra untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya. Pengorbanan ibunya demi kehidupan mereka, dibalas Tuhan dengan bantuan yang datang dari orang lain. Aruna juga tahu pengorbanannya dalam membantu perekonomian keluarga mereka akan terbayar lunas saat ia berhasil nanti. Ia tahu bahwa proses tidak akan pernah mengkhianati hasil.
T A M A T