"Bang, aku istirahat dulu ya?" ucapku manja pada suami yang sudah cukup lama tak kujumpa.
"Baik lah ... Abang akan membereskan bawaanmu dulu. Kamu beristirahatlah!" Bang Fajar keluar dari kamar, sementara aku merebahkan diri pada ranjang yang ada di dalam kamar ini.
Perasaan lega menyelimuti hatiku. Akhirnya kami berdua bersatu kembali setelah menyusul suami ke kota tempat suamiku ditugaskan. Saat ini aku telah sampai di rumah dinas yang dititipkan kepada suamiku yang bekerja di Dinas Perhubungan.
Sebuah rumah yang cukup luas, jika ditempati oleh kami berdua saja. Pernikahanku dengan Bang Fajar baru berumur satu tahun. Alhamdulillah, setelah pernikahan kami, suamiku lolos sebagai aparatur negara meskipun jauh dari kampung halaman. Hingga saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak pun, tetapi kami masih tetap menikmati indahnya kebersamaan berdua.
Ini adalah kali pertamaku menginjakan kaki di salah satu kota di Pulau Sulawesi setelah perjalanan panjang dari kota kelahiranku yang berada di Sumatera. Setelah dua kali transit, perasaan lelah mendera, membuatku ketiduran begitu saja di ranjang yang ada di kamar tanpa sempat bertanya apa-apa.
*
*
*
"Bang, mau ke mana? Sekarang sudah malam." Dalam diam tanpa mengatakan apa-apa, suamiku membuka pintu menuju keluar begitu saja.
Dia pergi tanpa sepatah kata pun, hingga membuatku menjadi heran. "Baaaang!" teriakku mencoba menghentikan langkah kaki Bang Fajar.
Namun, tak ada tanda-tanda bahwa Bang Fajar menungguku. Dia terus melangkah bagai hilang di kegelapan malam. Aku pun menyusulnya karena penasaran pada apa yang hendak di lakukannya malam-malam begini.
Sesuai dengan apa yang aku lihat, kuikuti arah ke mana dituju oleh suamiku. Namun, aku tak melihat bayangan Bang Fajar lagi. Aku pikir, aku sudah ketinggalan jauh, sehingga aku pun mulai berlari mencoba untuk terus menyusul.
duuugh
bruugh
Kakiku tersandung sebuah benda yang membuatku jatuh tersungkur di atas gundukan tanah yang terasa basah. Apakah aku sedang berada di sebuah kebun? Petani sedang menggemburkan tanah untuk bertanam sesuatu?
Tanpa pikir panjang, aku bangkit hendak melanjutkan langkah kaki berlari menerabas kelamnya malam. Namun, sepertinya dari tanah tersebut, ada yang menarik kakiku.
"Aaaghhh!" Aku langsung menyentakan kaki karena kaget. Setelah merasa benda itu terlepas dari kaki, aku melanjutkan berlari memilih untuk kembali ke rumah saja.
Ah, aku tak tahu harus ke mana? Aku berjalan dari arah mana?
"Baaang ... Bang Fajaaar? Baaaang ..." Aku mulai berteriak tak karuan berharap suamiku kembali karena mendengar panggilanku.
Kakiku kembali merasakan ada yang bergerak seakan menggelitik. Kebetulan sekali cahaya bulan yang temaram, bisa membuatku melihat apa yang tiba-tiba meraba dari bawah sana. Ada benda putih terus bergerak membuat perasaanku jadi berdebar.
Aku lihat ke arah belakang, ternyataa itu ... makhluk itu menarik kakiku. "Baaaang ... Baaaaang ... tolooong aku Baaang!" Aku berteriak tak karuan melihat seonggok rangka manusia terus menarik kaki.
"Baaang ... Baaaaang ... tooolong!"
"Niki! Niki! Bangun lah!" Sebuah tepukan halus dan sapaan lembut membuatku langsung terbangun dan memeluk tubuh suamiku. Aku menangis dengan debaran jantung tak karuan.
"Bang ... tadi ... tadi ... ada kerangka menarik kaki aku!" tangisku dalam dada bidang suamiku.
Suamiku mengusap punggung dan rambutku dengan lembut. "Kamu pasti bermimpi. Sekarang sudah masuk rembang petang. Memang tidak baik tidur jam segini." ucapnya dengan lembut. Suamiku memang selalu lembut padaku. Hal itu lah yang membuatku tak sabar untuk menyusulnya, aku rindu akan belaian ini.
Suamiku mengambil air mineral yang sudah disiapkannya di atas nakas di samping ranjang. Setelah meneguk beberapa kali, akhirnya perasaanku terasa sedikit tenang.
"Bagaimana? Udah baikan?" Aku pun menganggukan kepala.
"Kamu gak usah mandi dulu ya? Udah mau malam soalnya." titahnya.
Kali ini aku menggelengkan kepala karena tidak setuju. Tubuhku terasa lengket dan tidak nyaman. "Aku mandi aja, Bang. Soalnya habis perjalanan jauh."
"Jangan! Sudah mau malam." ucap suamiku.
"Biasanya aku mandi jam segini juga kok, Bang." ucapku bangkit ranjang bergerak menuju koper yang sudah disusun dengan rapi oleh suamiku.
"Beda dong, di sana itu suhu udaranya panas. Di sini, kita berada di dataran tinggi yang sejuk. Nanti kamu malah sakit. Apa kata mertuaku nanti, bila mengetahui anaknya sampai di tempatku malah sakit?"
Namun, aku tak bergeming. Tubuhku sungguh terasa tidak nyaman. Apalagi, hari ini adalah kali pertama kami berjumpa kembali setelah tiga bulan berpisah. Aah, aku yakin akan terjadi sesuatu yang diinginkan malam ini. Kami berdua sudah saling merindu, makanya aku pastikan untuk berikan yang terbaik di malam spesial ini.
Tanpa menjawab kata suamiku, aku hanya memberikan kedipan manis dan senyum menggoda kepada Bang Fajar. Dia seakan mengerti apa yang aku pikirkan, suamiku hanya bisa memberikan senyuman penuh arti. Aku pun diantarnya menuju bagian dapur, di sana lah kamar mandi rumah dinas ini terletak.
"Jangan lupa berdoa dulu sebelum masuk kamar mandi!" ucap suamiku mengingatkan. Dengan patuh, aku pun berdoa di dalam hati.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِث
“Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma inni ‘audzu bika minal khubutsi wal khobaits.”
Artinya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan-setan lelaki dan setan-setan perempuan.”
Setelah itu, aku pun masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Saat keran mengalirkan air, terdengar suara Bang Fajar mengajakku berbicara dari arah luar.
"Sayang, mandinya yang bersih ya?" Suaranya terdengar sedikit menggodaku.
"Baik, Sayang!" ucapku balas menggodanya.
"Aku masuk ya?" tanyanya.
"Jangan!" ucapku lagi.
"Kalau begitu, aku tunggu di sini?" ucapnya lagi.
Aku tak menjawab lagi, hanya bisa menyunggingkan senyuman karena sudah membayangkan apa yang terjadi usai magrib nanti. Setelah itu tak terdengar lagi suara apa pun selain aliran air dari keran.
Tiba-tiba, aku teringat bahwa suamiku ini selalu mengingatkan jangan berbicara di dalam kamar mandi. Dia selalu mengatakan supaya jangan berlama-lama di kamar mandi. Kali ini kok tumben sekali?
Setelah beberapa waktu, aku menyelesaikan mandi dan langsung berwudhu karena akan masuk waktu sholat magrib, setelah itu aku keluar. Namun, aku tak menemukan bayangan seorang yang katanya menungguku.
Aku pun melangkahkan kaki menuju ruang tengah. Bayangan Bang Fajar tampak masuk ke kamar yang berbeda dengan yang tadi. Aku pun bergerak mengikutinya, tetapi Bang Fajar malah keluar dari kamar yang tadi.
"Lho? Bukannya Abang masuk ke kamar yang ini tadi?" tanyaku merasa heran.
Kening suamiku sedikit berkerut. Satu alisnya naik melirik ke arah pintu yang aku tunjuk. "Bahkan, semenjak tinggal di sini aku belum pernah masuk ke sana. Mungkin kamu berhalusinasi." ucapnya santai.
"Bang, tadi katanya mau menungguku di luar kamar mandi?"
"Hah? Abang semenjak tadi menyusun barang-barang bawaanmu di kamar."
deegh
Siapa yang bicarA denganku tadi?
"Sekarang kamu bersiap dulu, aku mau berwudhu. Kita sholat berjamaah sebelum keluar makan malam." ucap suamiku.
Aku pikir suamiku akan langsung memaksa untuk melakukannya. Ternyata, hanya pikiranku saja. Sekerang aku mengerti, setelah lama tidak berjumpa dengannya, pikiranku menjadi sekotor ini terhadap suamiku sendiri. Sampai aku lupa bahwa suamiku adalah pria soleh yang berhasil menakhlukan hatiku.
Setelah melaksanakan sholat magrib berjamaah, Bang Fajar mengajakku menuju pusat kota mencari makan, karena dia tidak pintar memasak. Itu lah penyebab yang membuatku harus segera menemaninya. Dari pada tiba-tiba ada yang menggantikanku memasak untuk dia dan aku tidak dibutuhkan lagi bukan?
Kami pun menuju ke pusat kota di negeri yang sudah masuk pembagian waktu indonesia tengah. Dia mengajakku ke warung kecil langganannya semenjak tinggal di sini. Ternyata yang menjual adalah seorang ibu paruh baya.
"Waaah, jadi ini istrinya Nak Fajar?" tanya wanita paruh baya tersebut.
Bang Fajar memberi kode dengan mendorong lembut punggungku agar menyalami seorang yang sudah dianggap sebagai ibu angkatnya di kota ini. Aku pun mencium tangan wanita tersebut.
"Iya, Inak. Ini Niki baru saja sampai sore tadi." terang suamiku.
Setelah mengobrol sejenak, kami pun menyantap makanan tersebut. Setelah selesai, kami segera kembali pulang. Lalu melihat sebuah kompleks pemakaman.
'Jadi di sini beneran ada kompleks pemakaman?'
Tiba-tiba aku teringat akan mimpi yang tadi aku alami. Bulu romaku seperti berdiri. Kami melewati beberapa orang yang sedang berjalan kaki. Mereka pun memperhatikanku dengan tatapan dingin. Mereka pasti bingung melihat orang baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Aku pun menganggukan kepala, mereka melakukan hal sama.
Setelah sampai di rumah, waktu isya pun telah masuk. Kami langsung melaksanakan kewajiban berjamaah. Nah, aku pun telah bersiap untuk malam pelepasan rindu di antara kami berdua, menggunakan lingerie yang telah aku siapkan dari tempat asalku.
Bang Fajar pun masuk ke kamar. Dia tersenyum melihat tingkah lakuku yang seakan sengaja menggodanya duluan. "Kamu nggak capek sama sekali ya?"
Aku hanya mengulas senyuman di bibir dan menggelengkan kepala. Bang Fajar pun duduk di belakangku. "Biar aku pijit dulu ya? Biar kamu lebih rileks."
Emangnya dia masih bisa menahan diri untuk memijitku, meskipun aku sudah seseksi ini? Ternyata pijitan yang dimaksudkan adalah pijitan erotis hingga hal itu terjadi juga.
Usai lelah, kami berdua tertidur dan tengah malam aku terbangun. Suamiku sudah tidak ada di sisiku. Aku pun turun dari ranjang mencari suamiku.
Dari arah dapur terdengar suara desahan perempuan sembari tertawa kecil. Sontak membuat perasaanku menjadi tak enak dan aku mencari ke arah sumber suara, dan ... alangkah terperenjatnya diriku hingga jatuh terduduk mendapati suamiku tengah berduaan dengan seorang wanita berpakaian putih, dengan rambut panjang dan bermuka pucat.
"Baaaang? Apa yang kamu lakukan?" teriakku.
"Bang! Bang! Bang!"
"Niki! Niki! Niki!" Sebuah tepukan lembut kembali membangunkanku dari mimpi buruk tadi.
Nafasku tersengal, Bang Fajar kembali memberikanku air mineral yang masih sisa tadi. "Kamu mimpi buruk lagi?"
"Kamu selingkuh dengan wanita lain selama aku tidak ya?"
Bang Fajar membulatkan matanya. "Ataghfirullah, apa yang kamu katakan? Kenapa malah menuduhku selingkuh?" ucapnya mendekap kedua bahuku.
"Aku tadi melihatmu mencium wanita rambut panjang di dapur? Kamu berani sekali membawa wanita lain masuk ke rumah ini!"
"Ataghfirullah, apa yang kamu katakan? Bahkan, aku tak beranjak sedikit pun dari sisimu semenjak kita tidur tadi. Kamu itu bermimpi, Sayang. Kamu pasti lupa zikir dan berdoa sebelum tidur tadi."
Aku pun melihat diriku masih memakai lingerie yang tadi. Aku segera mengusap wajah dan mulai sadar bahwa sepertinya aku memang mimpi buruk.
"Astaghfirullah al azim ..." gumamku kembali mengusap wajah.
Bang Fajar menarikku dalam pelukannya. "Jika aku selingkuh, ngapain juga aku membawanya ke rumah ini? Mainnya di dapur lagi? Nggak elite banget," candanya sembari mengusap rambutku.
"Yang ... sekali lagi yuk? Jelang mandi sebelum subuh," bisik suamiku.
*
*
*
Sebelum berangkat kerja, Bang Fajar mengantarkanku ke rumah Pak RT di kompleks rumah dinas yang kami tempati. Memberitahukan bahwa aku, sebagai istrinya akan tinggal di sini bersama. Setelah itu suamiku berangkat menunaikan tugas negara yang dia emban.
Sementara aku, segera membereskan isi rumah ini. Mulai menatanya dengan sebaik mungkin dan menyusun benda-benda yang aku bawa dari tempat asalku.
klinting
klinting
buk
buk
buk
Terdengar suara-suara aneh bagai gelas dan benda lain lain beradu. Bulu romaku seakan berdiri, apa yang terjadi? Apa yang sedang terjadi?
Aku pun memilih untuk menghentikan kegiatanku. Bergerak menuju kamar karena perasanku sungguh tidak nyaman. Bulu kudukku terasa berdiri. Aku pandangi seluruh bagian rumah ini. Suasana rumah ini terasa sejuk berlebihan.
Entah memang karena berlokasi di dataran tinggi, atau hal lain yang tersimpan di rumah ini?
Aku pun memilih untuk segera menghubungi Ama, wanita yang melahirkanku. Kami pun membicarakan segalanya. Ama dititipkan menjaga seorang cucu, anak dari Uni-ku, kakak perempuanku yang bekerja di luar provinsi.
Aku pun menceritakan pengalamanku, aku sering berminpi buruk ... tetapi, saat asik berbicara, panggilan ku putus. Aku lihat, ponselku tiba-tiba kehilangan signal. Ini memang sungguh aneh, perasaan tadi sebelum menelepon signal di sini ada tulisan 5G-nya. Namun kenapa tiba-tiba kosong?
Aku pun segera berpindah tempat menuju ke luar rumah. Sengaja duduk di bangku yang memang sudah tersedia di sana. Namun, di luar rumah ini juga tidak ada signal. Aku pun melakukan ritual lama, dengan mengangkat ponsel yang ada di tanganku dengan setingginya.
"Kenapa, Kakak?"
Ada sebuah suara yang membuatku menoleh pada sebuah rumah yang ada di sebelah rumah dinas suamiku. Di sana tampak seorang wanita tersenyum ramah kepadaku.
"Lagi nyari signal ni, Mbak." jawabku.
Lalu wanita yang entah lebih tua atau bisa juga lebih muda dariku ini mengecek ponselnya. Dia menatapku heran. "Apa hape kakak rusak?" tanyanya.
"Oh, enggak kok Mbak. Tadi baik-baik saja kok waktu menelepon ibuku yang ada di kampung halaman." ucapku.
"Coba lah Kakak tengok ke sini, jaringanku tidak ada masalah sama sekali." ucapnya dengan dialek khas yang mirip dengan Inak yang dikenalkan Bang Fajar tadi malam.
Aku teringat belum berkenalan juga dengan tetanggaku ini. Lalu aku bangkit dan berjalan menuju ke rumahnya. Aku pun mengulurkan tangan dan dia langsung menyambut uluranku. "Aku Niki, istri Bang Fajar yang tinggal di sini." ucapku.
"Oh, iya ... Bang Fajar, itu kawan suami aku, namanya Tito. Kalau aku namanya Maylina. Kakak panggil aku, May, saja." ucapnya.
Aku pun duduk di kursi sebelah May duduk kembali mengecek ponsel. "Lhoh? Kok tiba-tiba penuh lagi?"
May terlihat tertawa geli. "Kayaknya Kakak dikerjai sama penunggu sana." ucapnya
"Penunggu???" tanyaku sembari memberi tanda petik pada kedua tanganku.
"Ssstttt!" telunjuk May berada di bibirnya. "Anggap saja itu tanda perkenalan dengan pemilik sebelumnya, Kak." ucapnya dengan wajah misterius.
"Kakak jangan bilang pada siapa pun apa yang terjadi pada rumah itu. Agar 'dia' tidak ganggu-ganggu Kakak lagi." tambahnya.
*
*
*
Pada sore harinya aku menyiapkan makanan untuk suamiku. Namun, tiba-tiba aku merasakan ada getaran dari dalam tanah hingga membuat tubuhku terjatuh. "Gempa ... gempa ...." Aku bangkit dan berteriak tak karuan berlari menuju keluar rumah.
Namun, pintu tak bisa aku buka. Lantai terus bergetar dan pintu tak mau terbuka. Aku hanya bisa terduduk pasrah, apakah kali ini aku akan mati karena rumah ini runtuh karena gempa?
Aku intip ke arah luar rumah, lantai masih terasa bergetar, tetapi tak ada yang keluar dari rumah. Apakah semua orang yang tinggal di sini mengalami hal yang sama?
"Hai, Kau manusia!"
Sebuah suara membuatku terperenjat. Aku pun melihat ke arah sumber suara. Di sana tampak sebuah tubuh bewarna hitam penuh bulu dengan wajah mengerikan. "Aaaaaggghhhh ...."
*
*
*
"Niki ... Niki ...." Tepukan halus pada wajah kembali membangunkanku. Aku peluk Bang Fajar dengan tubuh terasa bergetar.
"Banh ... tadi ... tadi ...." Aku lihat saat ini sedang berada di dalam kamar.
"Tadi apa, Sayang?" tanya Bang Fajar membelai rambutku, menyiapkan air mineral yang ada di nakas samping ranjang.
"Kamu sepertinya sangat lelah. Sesampai rumah ini kamu langsung ketiduran"
"Maksud Abang apa? Aku kan tidak ke mana-mana. Tadi saat aku as—" Aku lihat pakaian yang aku kenakan. Ini adalah pakaian saat aku berangkat dari kota kelahiran menuju ke tempat suamiku.
"Hah? apakah sepanjang kejadian yang aku alami ini hanya lah mimpi?"
Lalu sebuah makhluk bewarna hitam melintas di depan pintu kamar ini. Makhluk itu menyeringai memamerkan giginya yang tajam dan matanya yang merah. Sesaat, dia berubah mirip suamiku Bang Fajar, sesaat kemudian dia berubah bentuk menjadi sosok wanita yang berwajah pucat yang dicumbu suamiku di dalam mimpiku.
"Aaaagggghhhh ...."
*
*
*
"Niki ... Niki ..." Tepukan halus di wajah membangunkanku.
Aku terbangun dengan posisi dan pakaian yang sama seperti saat aku sampai di kota suamiku bekerja. Apa-apaan ini? Apa yang terjadi dengan rumah ini?
Kenapa aku seperti selalu terbangun karena hal lain ... mimpi lain ... tetapi dengan posisi yang selalu sama. Aku bangkit dan menarik suamiku.
"Bang, aku tak mau tinggal di sini. Rumah ini aneh. Ayo kita kontrak aja rumah di tengah kota? Aku tak mau tinggal di sini."
Namun, Bang Fajar yang aku tarik tiba-tiba berubah bentuk menjadi sosok hitam dipenuhi bulu bermata merah.
Ya Allah, apa yang terjadi pada hamba. Tolong lah hamba yang terjebak dalam mimpi aneh ini.
Aku pun berpasrah diri menengadahkan kedua tanganku memohon padanya dengan sangat sedih.
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
"Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’, wa si’a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim”
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqoroh: 255)
"Niki ... Niki ..." Sebuat tepukan kembali membangunkanku. Bang Fajar terlihat begitu cemas. Saat ini aku berada di dekat pintu di mana sebelumnya aku terkunci karena lantai terasa bergetar.
Jendel terihat terbuka. Jendela rumah ini begitu lebar tanpa terali. "Apa yang terjadi, Sayang?" tanya suamiku.
"Tadi ku dengar Kakak teriak. Saat aku intip aku lihat kakak sedang pingsan dan pintu terkunci. Makanya aku telepon suamiku, dan kebetulan sedang perjalanan pulang dengan Bang Fajar. Pintu terkunci, kami terpaksa mencongkel jendela." terang Kak May tetangga yang baru aku kenal tadi.
"Bang ... ini memang Bang Fajar kan?"
"Tentu, tentu saja aku Fajar, suamimu."
"Bang, kita pindah saja ya? Aku tidak bisa tinggal di sini. Kita sewa rumah sederhana saja di tengah kota yang ramai." pintaku memeluknya.
Bang Fajar terdiam sejenak. Lalu menghela nafas panjang. "Baik lah, tapi nanti kamu jangan mengeluh jika uang belanja berkurang. Kamu tahu sendiri gajiku kecil."
"Tidak apa, Bang. Yang penting kita tidak tinggal di sini. Kalau masalah uang masih bisa kita cari. Aku juga kuliah sampai S-2 ini Bang. Kalau di pusat kota, mungkin banyak pekerjaan yang bisa kulakukan." ucapku sedikit memaksa.
Pokoknya, aku tidak mau tinggal di rumah ini. Aku memaksa Bang Fajar pindah dari rumah ini malam ini juga. Aku tidak mau ada hal-hal aneh lain yang alan terjadi.
*
*
Di saat mereka semua meninggalkan rumah dinas itu ... beberapa makhluk yang menghuni di sana mengeluarkan seringainya.
"Ini adalah tempat kami. Hanya kami yang boleh tinggal di sini."
"Hahahaha ...."
"Hihihihi ...."
Bermacam suara tawa tak bisa didengar oleh manusia menggema di rumah dinas itu.