Pesawat mendarat dengan sedikit guncangan, membuat tubuhku ikut bergoyang ringan. Suara pramugari mengalun lewat pengeras suara, menyebutkan dalam bahasa Korea yang cepat lalu diikuti bahasa Inggris, "Selamat datang di Bandara Internasional Gimhae, Busan."
Busan.
Aku menatap keluar jendela. Garis-garis landasan pacu terlihat, gedung-gedung terminal bandara tampak menjulang, dan di kejauhan ada pegunungan samar-samar di bawah langit biru yang cerah.
Dadaku berdebar. Rasanya aneh. Perjalanan jauh dari Jakarta hingga ke sini kulalui dengan perasaan datar, tapi begitu mendengar kata Busan, jantungku seolah terhentak. Aku nggak tahu kenapa. Padahal niatku ke sini sederhana-sekadar liburan, menikmati masa senggang setelah sekian lama hidup dengan rutinitas yang monoton.
Aku, Hanna. Seorang muslimah lulusan pondok pesantren yang entah bagaimana bisa sampai di negeri orang.
Aku menegakkan dudukku, menarik napas panjang. "Ya Allah, ini beneran aku? Anak pondok yang biasanya cuma hafalan dan ngaji, sekarang bawa koper sendirian ke Korea? Masih kayak mimpi."
Aku ini tipe orang introvert. Aku lebih nyaman sendiri, bukan tipe yang gampang akrab dengan orang lain. Kalau bisa menghindar dari keramaian, aku pasti menghindar. Kalau bisa rebahan seharian, aku akan memilih rebahan. Sifat mageran-ku itu kadang bikin orang sebal. Tapi... entah kenapa, justru sifat itulah yang bikin aku berani ambil keputusan gila ini: liburan ke Busan sendirian.
Kenapa Busan?
Karena aku sering lihat lautnya di drama-drama. Karena katanya sunset di Haeundae indah sekali. Karena aku ingin membuktikan pada diriku sendiri: aku bisa keluar dari zona nyaman.
Aku menutup mata sejenak, berdoa lirih, "Ya Allah, mudahkan langkahku di negeri orang. Jaga aku dari hal-hal yang tidak baik. Aamiin."
Di Bandara
Aku menenteng koper besar, berjalan mengikuti arus manusia. Orang-orang tampak terburu-buru, beberapa langsung disambut keluarga, ada juga yang sibuk memesan taksi. Sementara aku? Sendiri.
Kupandangi papan petunjuk di dinding bandara. Tulisan hangul berjejer rapi, beberapa ada terjemahan bahasa Inggris. Aku menarik koper ke arah stasiun, niatku mau langsung naik kereta menuju pusat kota.
"Hanna, kamu bisa. Jangan panik. Jangan salah naik kereta. Inget tujuanmu: Haeundae Beach."
Aku tersenyum kecil untuk menenangkan diri.
Stasiun Busan
Beberapa jam kemudian, aku tiba di Stasiun Busan. Suasana stasiun ini berbeda dengan Jakarta. Lebih rapi, orang-orang berjalan cepat tapi teratur. Aku menurunkan koper, duduk di kursi panjang, lalu menatap papan digital yang menunjukkan jadwal kereta.
Tulisan hangul di sana membuat kepalaku pusing. Aku hanya bisa menebak-nebak dari angka jam dan garis warna jalur.
"Ya Allah... aku belajar bahasa Arab bertahun-tahun, tapi bahasa Korea? Nol besar. Mana kalau salah naik kereta bisa nyasar jauh. Hadeh, cobaan banget."
Aku menunduk, sibuk membuka aplikasi peta di ponsel. Saat sedang asyik, koperku tersenggol seseorang.
"Aigoo, mianhae..." suara seorang pria terdengar jelas.
Aku mendongak refleks.
Seorang pria tinggi berdiri di depanku. Ia memakai masker hitam, topi bucket yang menutupi sebagian wajahnya. Dari matanya saja sudah terlihat... ada aura berbeda.
Dia buru-buru membetulkan koperku. "Sorry," katanya dalam bahasa Inggris, suaranya rendah dan lembut.
Aku menggeleng cepat. "It's okay."
Dia mengangguk sekali, lalu hendak pergi. Tapi aku terpaku.
Wajah itu... matanya... suaranya...
"Astaghfirullah, jangan bilang..."
Aku teringat. Sosok ini terlalu familiar.
Hyunjin.
Ya Allah, serius ini Hyunjin?
Hyunjin, idol dari grup ZENIX. Grup yang sering trending di media sosial, grup yang banyak fansnya di Indonesia. Teman-temanku di kampus sering bahas mereka, khususnya Hyunjin yang katanya visual banget, mirip Hyunsik seniornya. Aku bukan fans, tapi aku cukup sering melihat wajahnya lewat timeline Twitter dan IG.
Dan sekarang... dia berdiri di depanku?
Aku tercekat. "Nggak mungkin... ini pasti cuma mirip."
Tapi saat ia menoleh lagi, matanya bertemu denganku. Ada senyum samar di balik masker. "Are you tourist?" tanyanya.
Aku kaget. Tapi akhirnya mengangguk pelan. "Yes."
"Where are you from?"
"Indonesia."
Matanya sedikit berbinar. "Ah... Indonesia. Good."
Aku menunduk cepat, wajahku panas. "Astaghfirullah, ya Allah, ini cobaan apa nikmat? Baru sampai Busan, langsung ketemu artis K-pop. Aku bukan fans, tapi jantungku kok kayak mau copot begini?"
Aku ingin pura-pura sibuk lagi. Tapi dia masih berdiri di situ. "Where you want to go?" tanyanya lagi.
Aku menggenggam ponsel. "Haeundae Beach."
Dia terdiam sebentar. Lalu... "Same."
Aku bengong. "S-same?"
Dia mengangguk. "Yes. I go there."
Ya Allah... masa iya artis segede Hyunjin jalan-jalan sendiri naik kereta umum? Tapi dia terlihat santai.
"Don't worry," ujarnya singkat.
Dan entah kenapa, aku akhirnya ikut berjalan bersamanya menuju peron.
Kereta Menuju Haeundae
Kereta datang, kami masuk. Aku duduk di kursi dekat jendela, koperku di samping. Hyunjin duduk di seberang, masih dengan topi dan masker.
Aku menunduk, pura-pura sibuk main ponsel. Tapi jantungku berdetak kencang.
"Ya Allah, aku nggak boleh salah tingkah. Aku kan bukan fans. Aku ini cuma turis biasa. Anggap aja dia orang asing, Hanna. Orang asing yang kebetulan mirip artis."
Hyunjin tampak sibuk dengan ponselnya juga. Tapi sesekali aku bisa merasakan tatapannya mengarah ke jendela, ke laut yang mulai terlihat di kejauhan.
Pemandangan biru luas itu membuatku terpesona. Cahaya matahari memantul di permukaan air, kapal-kapal kecil melintas. Aku tanpa sadar berbisik lirih, "Masya Allah..."
Hyunjin menoleh. "What?"
Aku salah tingkah. "Ah... nothing. Just... beautiful sea."
Dia ikut menatap keluar. "Yes. Beautiful."
Suasana mendadak hening, tapi nyaman.
Haeundae Beach
Begitu turun, aku menghela napas lega. Angin laut menyambut wajahku. Pasir putih membentang luas, ombak bergulung-gulung lembut. Orang-orang bermain, tertawa, memotret.
Aku berdiri terpaku. "Ya Allah... akhirnya sampai juga. Semua capekku kayak terbayar."
Aku menutup mata sebentar, menikmati desiran angin.
Saat membuka mata, kulihat Hyunjin berdiri agak jauh. Tangannya di saku jaket, tatapannya lurus ke laut.
Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuatku... terenyuh.
Dia terlihat kesepian.
Seorang artis terkenal, dikelilingi fans, tapi di sini ia hanya seorang pria muda yang sedang menatap laut dengan hening.
Aku menggenggam tali tas selempangku. "Kenapa rasanya aku bisa mengerti? Aku yang introvert, dia yang mungkin butuh ruang... kami sama-sama mencari tenang."
Hyunjin menoleh sebentar, menatapku. Ada senyum samar di balik maskernya.
Dadaku bergetar.
Untuk pertama kalinya, aku merasa Busan benar-benar menyambutku.
Kami berjalan pelan di tepi pantai. Ombak menyapu kaki-kaki orang yang bermain air, aroma laut makin terasa.
"You come here alone?" tanya Hyunjin.
"Yes." Aku mengangguk singkat.
"Not... afraid?"
Aku tersenyum kecil. "Of course afraid. But... I want to try. New place."
Dia mengangguk. Lalu berkata, "Sometimes... I also want to be alone. Without camera, without people. Just... me."
Aku menatapnya sejenak. Ada ketulusan di balik kata-katanya.
"Ya Allah... ternyata artis juga manusia. Mereka juga butuh sendiri, butuh tenang. Mungkin bedanya cuma... kalau aku, orang nggak peduli. Kalau dia, dunia memperhatikan setiap langkah."
Aku berkata pelan, "Sea... can heal, maybe?"
Dia tersenyum samar. "Yes. Sea... always listening."
Aku melangkah di pasir, menatap ombak. Dalam hati, aku bicara dengan diriku sendiri:
"Hanna, ini gila. Kamu baru sampai Busan, langsung ketemu Hyunjin. Jalan bareng ke pantai pula. Kayak drama banget. Tapi jangan baper. Ingat, kamu cuma turis. Dia idol, dunianya beda. Anggap aja ini hadiah kecil dari Allah karena kamu berani keluar dari zona nyaman."
Aku menunduk, menarik napas panjang. "Terima kasih, ya Allah. Aku merasa hidupku mulai berubah di kota ini."
Hyunjin tiba-tiba berkata, "Do you like Busan?"
Aku tersenyum. "Yes. I love Busan."
Dia menatapku, matanya berbinar. "Me too."
Lalu kami berjalan lagi, membiarkan ombak dan angin menjadi saksi pertemuan aneh ini.
Dan dalam hati... aku tahu, liburanku di Busan tidak akan pernah biasa-biasa saja.