"Kukira aku memang bersamanya waktu itu, rasanya aku tak pernah sesenang itu. Kami tidak berbicara satu sama lain. Entahlah, aku tak tergugah mengucapkan sepatah kata padanya."
Darliana menjelaskan dengan kernyitan di dahinya pada teman sejawatnya. Ia tak menyangka kejadian pada dua puluh tahun yang lalu itu muncul kembali usai melihat salah satu temannya memesan makanan nasi kotak dengan lauk telur rebus yang belum dikupas cangkangnya dan dimakan saat itu juga di sebuah kedai tua yang memang menerima pesanan nasi kotak. Darliana mulai mengunyah suapan pertamanya dengan sendok aluminium tipis dari sepiring nasi goreng yang ia pesan, sedang temannya, Wilis memilih menggunakan tangan kosongnya untuk mengupas cangkang telur rebus sebelum beralih untuk mencakup sesuap nasi yang pas di cakupan jari-jarinya.
"Apa kau bahagia, Ana? Kurasa hari-hari memang berjalan apa adanya. Kesenangan itu bahkan hadir sementara saja, begitu juga kesedihan. Bukan, begitu?" Wilis bertanya dan terkadang sebutir nasi terbang melesat dari mulutnya. Darliana menghela napas dan mengeluarkannya secara halus. Ia memahami pertanyaan dan pernyataan Wilis, "aku bahagia tetapi waktu itu banyak orang yang bersedih, terutama ibuku dan aku harus merasa bahagia karena sampai saat ini aku ada, bahkan untuk bertemu kamu sekalipun aku mendapatkan momentum itu".
Wilis tersenyum tipis, lalu melanjutkan kunyahannya yang membuat pipinya melembung. Meja kecil dengan dua kursi yang ditempati Darliana dan Wilis menjadi salah satu eksistensi pelanggan di kedai tua itu. Entah kalah saing dengan kedai modern di seberang jalannya atau memang ditakdirkan sebagai kedai tua pribadi untuk melayani dua pekerja pabrik donat bernama Darliana dan Wilis itu. Dua orang itu menikmati rasa yang pas di lidahnya dengan harga yang pas pula di kantongnya.
"Aneh, makanan ini murah dan enak, kan, Lis? Kau merasakan kenikmatan ini, kan? Sudah lima tahun kita makan di sini semenjak kita bekerja di pabrik donat dan menemukan tempat ini." Darliana melotot pada Wilis.
"Tentu! aku suka telur rebus, lalapan, dan nasi hangatnya di paket nasi kotak. Sepertinya aku terobsesi dengan itu. Selain itu, walaupun tempat ini tua, rasanya nyaman sekali duduk di sini. Ana, kau tak mau mencoba makanan di kedai modern? Aku mau mencobanya, tentu nasi kotak tapi aku tak mau makan di situ karena ramai sekali." Wilis mulai mengintervensi selera Darliana.
"Aku tidak mau kalau kau tak mau makan di tempatnya. Aku, kan, senang makan sambil menikmati tempatnya, tentu tak mau sendirian juga!" Darliana menolak ajakan Wilis.
"Baiklah, kalau memang tidak bersedia, aku, kan, masih punya Raya. Anakku tercinta!" Wilis hendak mengajak anak balitanya sebagai teman makan plan B di kedai modern seberang kedai tua.
"Dasar! mentang-mentang sudah punya anak yang bisa di ajak main, ya! Awas kamu!" Darliana mencubit lengan besar Wilis sebagai candaan.
Tawa keduanya melengking hingga sendok aluminium tipis tengkurap di atas piring beling ditemani dua buah cabai hijau yang tak dimakan Darliana, Wilis berdiri dari tempatnya dan beranjak untuk membuang kardus nasi kotak pada tempat sampah yang di sediakan oleh kedai tua tersebut. Usai bersua, Darliana dan Wilis mulai mengucapkan kalimat perpisahan dan memberi salam pada ibu-ibu seumuran setengah abad yang selalu menjaga kedai tua itu.
"Wilis! besok aku akan giliran tanya 'apa kau bahagia, Wilis?' setelah kau mencoba makanan di kedai modern itu, ya!" Darliana melambaikan tangannya pada Wilis sebelum ia menghilang dari tatapan Wilis.
Langkah kaki Darliana berhenti tepat di pukul 17.13 WIB, ia bertatapan dengan pintu kayunya yang mulai lapuk. Ia mendorong ke bawah gagang pintunya, tiga kali dorongan ia tak bisa membukanya.
"Sialan, pasti Eca, nih! Dasar penakut! Sampai ngunci pintu segala, dikira perampok kali. Eh, tapi siapa juga yang mau merampok rumah kami, ha-ha-ha. Ecaaa! Ecaaa! ini kakak, bukain, dong, pintunya!" Darliana meneriaki nama adiknya sambil menggedor-gedor pintunya.
Lima menit telah berlalu. Tiada seorang pun yang menyahuti teriakan Darliana, apalagi membukakan pintu lapuknya itu. Darliana bosan mematung di depan pintu rumahnya, sesekali ia menyalahkan Eca. Ia mulai mengintip sela-sela selambu di balik jendela dengan kaca hitamnya, barangkali Eca memakai earphone mendengarkan lagu bertajuk "Rasa Sayange" yang kerap ia putar di sela-sela membaca rangkuman materi pelajarannya di ruang tengah.
"Ah, iya, jendela! Kenapa tidak dari ta–Wilis!?" Darliana terjungkat setelah ekor matanya melihat wajah Wilis yang berekspresi sedih di kaca hitam jendelanya. Darliana memastikan pantulan bayangan yang membentuk Wilis itu benar-benar jelas karena langit mulai temaram dan lampu pelataran rumahnya tak kunjung menyala. Pupil mata Darliana semakin membesar ketika ia mendapati pantulan bayangan Wilis mengangkat tangan seolah ingin meminta pertolongan.
"Wilis! Kenapa ka—Eca!?" Darliana ternganga setelah membalikkan badan dan bahunya ditepuk oleh Eca. Eca kebingungan, tak mengacuhkan kakaknya dan langsung membuka pintu dengan kunci yang ia ambil dan sengaja ia sembunyikan di balik sol sepatu rusak di rak depan pintu rumah. Sambil menyalakan sakelar lampu rumahnya, Darliana memaki adiknya, "memang suka memindahkan barang, ya! Kalau kakak nggak tahu gimana, dong, Ca? Bingung, kan, nyarinya. Setidaknya kasih tanda-tanda atau menghubungiku terlebih dahulu, kek. Kenapa kau pulang jam segini? Nggak biasanya."
"Ekstrakurikuler pramuka yang biasanya di Jumat sore terpaksa dimajukan satu hari, pembinanya ada latihan marching band mendadak di Jumat sore besok. Persiapan hari ulang tahun Indonesia seminggu ke depan. Biasa, banyak kerjaan, kasihan mana masih muda. Jelas, ya? Aku mau mandi dulu." Eca menjelaskan panjang lebar hingga akhirnya ia melemparkan handuk pada Darliana, "kau saja dulu, kasihan, nanti menunggu dua kali".
"Ih, dasar! Terima kasih, deh!" Darliana menangkap handuknya dengan mantap dan berjalan menuju kamar mandinya.
Suara air dari keran yang membentur permukaan air di bak mandinya bersahut-sahutan dengan suara azan magrib dari musala dekat rumahnya. Darliana menggapai handuknya, menariknya. Lima jenis mainan kecil-kecil berjatuhan dari balik handuknya, mendarat dengan sempurna tanpa ada yang berposisi selain berdiri. Air yang menempel sehabis mandi kini bercampur dengan keringat dingin bercucuran di sekitaran pelipis Darliana. Ia membungkam mulutnya dengan handuk di tangannya, lalu berteriak kencang.
Eca tidak mendengarkan apa-apa, earphone miliknya benar-benar membuntu lubang telinganya dengan lagu "Rasa Sayange". Bagaikan teleportasi, Darliana tiba-tiba saja menarik earphone Eca dari balik tubuhnya dan berkata, "giliranmu, sebenarnya tidak baik mandi jam segini, buruan!" Eca beranjak dari duduknya, Darliana mengisi kursi Eca dan memakai earphone Eca yang masih memutar lagu "Rasa Sayange" di telinganya. Sambil berbicara sendiri, Darliana mengatakan sebuah kalimat dengan napas berat setelahnya, "semoga tidak terulang".
Hari Jumat sudah hampir berjalan setengah hari. Para pekerja pabrik donat menanti waktu zuhur untuk pulang, Jumat memang istimewa bagi para pekerja pabrik donat karena waktu kerja mereka hanya sampai zuhur tiba. Darliana duduk di samping Wilis yang sengaja membawa anak balitanya ke tempat kerja karena rencananya kemarin, mampir untuk beli makanan di kedai modern seberang kedai tua langganannya bersama anak tercintanya. Sambil memutar-mutar adonan menjadi bulat di tangannya, Darliana sesekali menatap Raya, anak Wilis yang terdiam karena tidak ada mainan di sekitarnya. Mau bermain adonan pun selalu Wilis larang, supaya ia tidak kena semprot mandornya. Darliana kembali fokus pada pekerjaannya.
"Mohon maaf untuk para pekerja, pesanan donat hari ini melambung. Seorang tentara memesan seratus donat untuk besok Sabtu siang pada acara menjelang hari ulang tahun Indonesia di desanya. Dengan berat hati, saya sampaikan kepada kalian untuk menambah jam kerja hingga jam lima sore nanti. Mohon kerja samanya, ya! Semangat!" Kali ini mandor baik memberitakan berita buruk pada seluruh pekerja, terutama pada Wilis yang terlihat agak kerepotan membawa balitanya di tempat kerjanya.
Jarum jam berputar tak terasa jauh lebih cepat diselimuti kerja keras pekerja pabrik donat hingga membunyikan sirine pabrik tanda jam kerja telah selesai. Tepat jam lima sore, Darliana dan Wilis membereskan tangannya dan mulai bergegas pergi untuk membeli makan. Kali ini mereka akan berbeda haluan. Darliana berencana tetap makan di kedai tua langganannya, sedangkan Wilis bersama anaknya hendak memesan nasi kotak di kedai modern untuk dibawa pulang.
Hari mulai temaram, lampu kedai tua mulai berpendar kekuningan menemani seorang pelanggan abadi bernama Darliana. Sepiring nasi pecel hampir habis, tersisa telur mata sapi yang sengaja Darliana makan di akhir. Baginya, suapan terakhir adalah suapan paling membekaskan kenikmatan. Kini tinggal telur mata sapi yang dikategorikan lauk enak oleh Darliana.
Tangan Darliana berhenti seketika, sendok aluminium tipis yang ia pegang hampir membelah kuning telur. Pupil matanya kembali membesar ketika kuning telur itu tiba-tiba menjadi kehijauan dan terlihat busuk di pandangannya. Ia langsung berdiri, mengambil tasnya, dan langsung membayar makanannya pada ibu-ibu seumuran setengah abad. Darliana kelabakan, sebelum ia hendak pergi meninggalkan dan melewati pintu kedai tua, gawai Darliana berdering ia segera berhenti dan mengangkat gawainya. Ibu-ibu seumuran setengah abad itu kebingungan, mengapa Darliana terperanjat hanya karena telur mata sapi yang masih terlihat nikmat di pandangan ibu-ibu seumuran setengah abad itu. Setelah membereskan makanan Darliana, ia menengok sekitaran meja yang diduduki Darliana. Barangkali ada kecoak yang suka mengagetkan pelanggan.
"Halo, Wilis! Ada apa? Kenapa kau terisak-isak, kau menangis? Kau di mana?" Wilis memegang gawainya dengan dua tangan, khawatir akan keadaan Wilis.
"Aku di depan kasir kedai modern, Raya tiba-tiba hilang. Aku sudah mencarinya di sekitar, bahkan hingga dapurnya. Hasilnya nihil, Raya benar-benar tidak ada. Kau di mana?" Wilis menjelaskan dengan isak tangisnya.
"Aku di seberang, Lis. Sebentar, aku akan ke sana sekarang juga." Darliana menyudahi panggilan Wilis, kepalanya menengok ke kanan dan kiri memastikan tidak ada kendaraan yang menyambarnya, menyeberang.
Darliana memasuki pintu kedai modern dan menebas lautan manusia yang memenuhi ruangannya. "Wilis! Wilis!"
"Aku di sini, Ana!" Wilis mengangkat dan melambaikan tangannya. Darliana menemukannya dan segera menghampiri Wilis, membawanya keluar kedai modern bersama lima kardus nasi kotak di dalam plastik merah di tangan Wilis.
"Kenapa Raya bisa hilang, Lis? Lalai banget, sih, kamu! Dia masih kecil, Lis." Darliana mulai ketar-ketir.
"Dia menghilang setelah aku memesan paket promo menjelang hari ulang tahun Indonesia, lima kardus nasi kotak gratis telur mentah seperempat kilogram." Wilis menjelaskan, air matanya masih membasahi pipinya.
Darliana terdiam, "kau tahu, Lis? Sekarang sudah mulai petang. Kau membawa satu plastik berisikan lima kardus nasi kotak, Raya pasti membawa telur-telur itu, kan? Jawab, Lis!", ia mulai menerka kejadiannya.
"Ana! Bahkan sebelum aku mendapatkan telur-telur itu, Raya sudah hilang! Apa hubungannya dengan telur, An? Kau gila, ya?" Wilis mulai marah.
"Lalu? Aku khawatir kalau Raya diculik Kuntilanak." Darliana mengatakan dengan lirih.
"Maksudmu temanmu itu!? Yang membuatmu senang dan tidak bicara sepatah kata itu!? Apa, sih, aku tidak paham, Ana! Kau jangan menambah pikiranku dengan omong kosongmu itu!" Wilis membelakangi Darliana sambil menutupi tangisnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ting!" Notifikasi pesan di gawai Darliana berbunyi keras hingga membawanya untuk melihat sebuah pesan di grup pesan pabrik donat. Kali ini mandor jutek mengirimkan sebuah foto dengan teks seperti ini, "Di dapur adonan kacau sekali! Saya lihat di CCTV, seorang balita berjalan di rak telur mentah sisa. Sebagian pecahan telur mengotori lantai dan bahkan hampir membuat saya terpeleset saat memeriksa ruangannya. Balita itu juga membawa sebutir telur dan memasukkan ke dalam kantongnya. Imbauan untuk seluruh pekerja, harap mengaku siapa orang tua dari balita di foto ini? atau saya laporkan kepada bos kalau tidak ada yang mengaku!"
"Wilis, ini Raya, kan?" Darliana menunjukkan pesan dari mandor juteknya itu kepada Wilis.
"Ini Raya! Benar! Ini Raya!" Wilis merasa kecewa telah menelantarkan anaknya hingga membuat masalah di tempat kerjanya.
"Lis, mandor jutek itu bilang kalau Raya mengantongi sebutir telur dan sekarang sudah petang, aku tahu apa yang harus dilakukan! Ikut aku, Lis!" Darliana menarik Wilis dan lima kardus nasi kotaknya, mereka berlari menuju kantor kecamatan yang tak jauh dari kedai tua dan kedai modern.
"Kau tunggu di sini, Lis, aku akan melakukan yang terbaik untuk Raya." Darliana menyuruh Wilis untuk menunggunya, ia pergi menuju perkumpulan pemain marching band yang terlihat istirahat sehabis latihan.
"Pak Endra! Saya Darliana, kakaknya Eca yang ikut ekstrakurikuler pramuka bersama anda. Bolehkah saya meminta bantuan anda dan teman-teman anda, ini penting sekali." Darliana memohon pertolongan pada pembina pramuka Eca.
"Bantuan apa? Apa yang bisa kami bantu, kami selalu bersedia tapi tunggu habis magrib saja, ya!" Pak Endra melakukan negosiasi waktu, magrib tidak terlalu cocok untuk beraktivitas baginya.
"Saya ingin Pak Endra dan teman-teman bapak memainkan alat-alat musik ini di sekitar jalan kantor kecamatan ini hingga kedai tua dan kedai modern. Harus sekarang, tidak ada waktu lagi atau bapak ingin nyawa seseorang terancam!" Darliana benar-benar yang mengancam Pak Endra.
"Baik! Baik, akan kami lakukan! Walau terkesan tidak masuk akal, saya percaya keputusan anda dan saya juga memutuskan untuk menolong anda karena Eca adalah anak yang dapat dipercaya dan anda adalah kakaknya." Pak Endra mulai berdiri dan memanggul marching bell-nya, begitu juga teman-temannya dengan alatnya masing-masing.
Alat musik itu mulai dimainkan memutari jalan yang telah disebutkan Darliana hingga azan magrib bersahutan dengan irama dari marching band. Orang-orang keluar dan berhenti bak menyaksikan pertunjukan marching band dadakan yang terlihat aneh itu. Putaran ke tiga, langkah Darliana berhenti melihat pintu kedai tua. Ibu-ibu seumuran setengah abad berteriak kepada Darliana dan melambai-lambai kepadanya. Darliana meneriaki pemain marching band untuk segera berhenti memainkan alat musiknya masing-masing, menarik lengan besar Wilis, dan mengucapkan, "terima kasih, ya, Pak Endra dan teman-teman! Nasi kotak itu untuk kalian!". Pak Endra dan teman-temannya geleng-geleng dan membawa lima kardus nasi bungkus Wilis dan kembali ke kantor kecamatan.
"Nak Darliana, kau harus tahu ini, aku paham apa yang kalian lakukan barusan. Apakah kau kenal dia?" Ibu-ibu seumuran setengah abad menunjuk seseorang di balik selambu dapur kedai tuanya, seseorang di antara lima macam mainan kecil-kecil yang tidak bicara dan terus memainkan mainan-mainan itu. Darliana membuka selambu sedikit demi sedikit dan Wilis berteriak, "Raya!"
Seseorang itu langsung pingsan, dia Raya, anak Wilis yang hilang waktu petang. Wilis menangis tersedu-sedu, ia berhasil menemukan Raya dengan bantuan Darliana, Pak Endra, para pemain marching band lainnya, dan ibu-ibu seumuran setengah abad.
Wilis dan Darliana pergi meninggalkan kedai tua dan berterima kasih kepada ibu-ibu seumuran setengah abad. Raya digendong Wilis menuju rumahnya, Darliana menemani Wilis. Mulut Darliana seperti gatal ingin mengatakan sesuatu, namun menunggu waktu yang tepat.
Wilis membersihkan badan Raya karena baunya amis sekali. Darliana mulai buka suara, "Lis, kau tahu kuntilanak yang pernah kuceritakan padamu? Sebenarnya ia bukan temanku, aku masih kecil, seumuran Raya. Di umur itu indra manusia sangat sensitif. Aku belum pernah cerita asal-usul kuntilanak itu bisa bermain denganku, kan? Maafkan aku".
"Kenapa minta maaf, An. Memang bagaimana asal-usulnya? Sebelum kau cerita, lihatlah ini, ini telur yang ada di saku Raya, isinya kosong, An." Wilis menjeda percakapan dan memperlihatkan satu butir telur tanpa isi kepada Darliana.
"Itulah, asal-usulnya. Aku bernasib sama dengan Raya. Saat aku masih kecil, aku diajak ibuku membeli telur. Aku pulang duluan tanpa sepengetahuan ibuku sambil membawa sebutir telur di saat petang menjelang magrib. Di tengah jalan, seseorang seperti yang kukenal melambaikan tangannya. Ia mengajakku bermain, banyak sekali mainan yang ia berikan kepadaku. Aku di ajak bermain di loteng, di kandang kambing tetanggaku, hingga pada akhirnya aku ditemukan di bawah kolong kasur tanteku bersama mainan-mainan itu setelah ibuku menyuruh warga memainkan alat musik. Kata ibu, yang menculik dan mengajakku bermain adalah Kuntilanak dan makhluk itu sering lalai ketika mendengar dan menikmati dendang alat musik. Bisa, dikatakan, anak kecil membawa telur mentah di waktu petang adalah pamali. Begitu kurang dan lebihnya, Lis" Darliana menghela napas setelah menjelaskannya, "satu lagi, kubur pakaian yang digunakan Raya saat ia menghilang. Telur yang kau pegang juga. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan ibuku saat itu".
"Baiklah, Ana, aku akan menguburkannya. Terima kasih atas bantuanmu, ya!" Wilis mengambil pakaian Raya dan menguburkannya bersama telur kosong itu. Setelah merapikan tanah kuburan pakaian Raya dan telur kosong itu, Darliana mulai kembali bercanda pada Wilis, "Lis, cepat kau mengaku kalau kau ibu balita di CCTV itu sebelum mandor jutek itu mulutnya ember".
"Ha-ha-ha, tentu, sesegera mungkin!" Ujar Wilis mulai mengembangkan bunga bibirnya.
Raya mulai sadar, ia berlari dari dalam kamar dan memanggil ibunya. Wilis juga berlari untuk memeluk Raya. Darliana menyampaikan pertanyaan, "Apa kau bahagia, Wilis? Bukankah, sedih dan senang itu sementara?"
"Aku akan selalu bahagia, An, sama sepertimu! Semua ini sementara, ya!" Wilis juga memeluk Darliana.