(15 tahun yang lalu)
Polisi memeriksa keadaan mereka. Silva baik-baik saja. Polisi itu membawa paman Silva ke dalam ambulance. Silva berada di dalam mobil salah satu polisi, menuju rumah sakit.
Silva terdiam. Masih teringat jelas bagaimana kecelakaan itu terjadi. Silva masih terlalu kecil untuk menyaksikan kejadian itu. Usianya masih 5 tahun.
Tangannya bergetar hebat bila teringat siapa yang merencanakan dan melakukannya. Silva sengaja tidak memberitahu yang sebenarnya pada polisi. Karena mereka mungkin tidak akan percaya dengan semua yang ia katakan.
Dua jam kemudian, dokter keluar dari ruang operasi. Dokter itu mengatakan bahwa nyawa pamannya tidak bisa diselamatkan.
***
(5 tahun kemudian)
Gemerlap lampu disko dan hentakan musik keras sudah menjadi sahabat baik Silva. Tokyo sudah seperti surga dunia baginya. Setelah kejadian lima belas tahun lalu, Silva hidup sendiri. Ketika ia tahu kalau pamannya tidak bisa diselamatkan, ia melarikan diri saat polisi-polisi itu mengurus jasad paman.
Silva tinggal bersama seorang pemilik klub malam. Orang itu punya 4 klub malam di dunia. Jepang, Korea, Singapura dan Indonesia. Awalnya ia mengira laki-laki itu akan mempekerjakan Silva disana. Ternyata.. justru dia menyekolahkan Silva ke Jepang ketika Silva berumur 6 tahun. Saat itu dia meninggalkan Indonesia karena ada urusan di Jepang dan Silva pun dibawanya.
***
Bandara Internasional Soekarno Hatta, Indonesia. Pesawat yang membawa Silva ke Indonesia baru saja mendarat. Silva berjalan menuju tempat informasi. Sebelum sampai disana, Oyaji memanggilnya dari jarak kira-kira 100 meter. Silva tersenyum dan menghampirinya.
“Oyaji, O genki desu ka?”
“Genki desu. Bagaimana perjalananmu?”
“Oyaji lihat sendiri kan aku selamat sampai di sini. Berarti perjalananku lancar.”
Oyaji, panggilan ayah dalam bahasa Jepang. Ya, pemilik 4 klub malam di dunia itu sudah Silva anggap ayah sendiri. Secara, Silva sudah tidak memiliki ayah, ibu serta paman. Bisa dibilang, dia sebatang kara di dunia ini. Beruntung dia berjumpa dengan oyaji. Pengusaha yang sangat baik hati.
“Oyaji, kenapa aku harus kembali ke Indonesia?” tanya Silva. Oyaji membawa tas bawaan Silva.
“Kamu harus kuliah di sini,” jawab Oyaji.
“Kuliah? Kuliah di Jepang kan lebih baik daripada di sini,”
“Silva, oyaji nggak akan kembali ke Jepang. Oyaji ingin menghabiskan masa tua di Indonesia. Jadi, oyaji nggak pengen kamu sendirian di Jepang. Makanya oyaji panggil kamu ke sini. Lagi pula, kamu kan orang Indonesia. Sekolah di mana pun itu sama aja, asal niatnya,” jelas Oyaji.
Silva mengiyakan semua alasan yang diberikan oyaji. Ada benarnya juga, Silva kan orang Indonesia, tinggal lama di negeri orang, ujung-ujungnya pasti kembali ke ‘rumah’ sendiri.
Dan ternyata selama kurang lebih 14 tahun Silva di Jepang, oyajinya sudah mengganti status kewarganegaraannya menjadi warga Indonesia.
***
Bulan depan Silva sudah mulai menjadi mahasiswa. Oyaji mendaftarkannya di Universitas swasta. Karena Silva sudah terlambat untuk mendaftar di perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Ospek. Ya, itu sebutan untuk masa orientasi mahasiswa di Indonesia. Menurut cerita yang Silva dengar, ospek di Indonesia adalah masa penyiksaan mahasiswa. “Sekejam itu kah?” pikirnya lalu tertidur.
***
Hari ‘penyiksaan’ itu pun tiba. Kemeja putih dan rok bawahan hitam selutut. Rambut dikepang dua dan no makeup, termasuk nggak boleh pakai bedak. Serta membawa berbagai macam barang di dalam tas. “Kalau kayak gini, mending bawa kantong doraemon,” Silva menggerutu karena kesal.
Silva melihat sekitar. Ingin sekali dia tertawa melihat yang lainnya berpenampilan sepertinya. Silva ingat sebelum berangkat tadi, oyaji menertawainya dengan penampilan seperti itu.
15 menit kemudian, seluruh peserta ospek berbaris menurut kelompok yang sudah ditentukan.
Dan... hari pertama berjalan lancar.
***
Ospek hari kedua—lancar.
***
Ospek hari ketiga. Silva turun dari kamar. Dia melihat oyaji sudah berada di ruang makan... bersama seseorang yang tidak asing baginya.
“Kakaaaaaaaakkk.... kapan kakak balik dari Korea?” teriak Silva pada anak semata wayang oyaji itu.
“Dari Korea? Sudah tiga tahun yang lalu,”
“APA????” Silva menoleh ke arah oyaji.
Tetsuya Akihara. Anak kandung satu-satunya yang dimiliki oyaji. Dia pindah dari Jepang ke Korea ketika ia masuk SMA. Sebenarnya waktu itu Silva juga akan dipindahkan ke Korea. Tapi Silva menolak karena sudah sangat betah tinggal di Jepang. Ternyata setelah SMA, Tetsu ni-chan sudah pindah ke Indonesia dengan alasan ingin menemani oyaji. Dan Tetsu ni-chan kuliah di tempat yang sama dengannya.
Kampus. Baru mendaratkan kaki di area kampus hari ini, perasaan Silva menjadi nggak karuan. Kenapa ini? Bukannya tadi pagi happy banget yah karena ketemu kak Tetsuya, pikir Silva.
Agenda ospek hari ini adalah menjadi mahasiswa yang pemberani. Tiap peserta disuruh memperkenalkan diri dihadapan jajaran kepengurusan BEM. Makin aneh aja nih ospek, batin Silva. Sammy, salah satu senior, menyuruh Silva untuk memperkenalkan diri dihadapan Presiden dan Wakil Presiden BEM. Mereka berdua terkenal dengan sebutan Sadis Couple. Steven dan Mia. Silva melihat salah satu mahasiswa, bernama Diana, yang keluar dari ruang Sadis Couple sambil menangis ketakutan.
“Hey, kamu diapain kok sampai nangis gitu?” tanya teman disebelahnya.
“Aku takut. Mereka jahat banget. Aku sakit hati,” jawab Diana masih menangis tersedu-sedu.
Silva melihat sekitar. Peserta lain yang kebagian di ruangan itu terlihat ketakutan.
Giliran Silva masuk ke ruangan itu. Dia tidak merasa ketakutan, tapi ada perasaan yang sangat mengganggu pikirannya.
Silva sudah berada dihadapan Sadis Couple ini. Silva hanya bisa melihat muka kak Mia. Sedangkan kak Steven masih menunduk, sehingga Silva tidak bisa melihat mukanya. Kak Mia mempersilahkan Silva untuk memperkenalkan diri. Ya, dengan ekspresi yang mengerikan.
“Nama saya... nama saya Silvana Akihara. Dulu sekolah di SMA Seigaku, Jepang—“
“Kamu ngapain kuliah di Indonesia. Lebih enak di Jepang kan?” kak Mia memotong
“Karena oyaji ada di Indonesia. Beliau nggak pengen saya sendirian di Jepang. Makanya saya disuruh kuliah disini,” jelas Silva.
“Kamu bukan asli Jepang, kan? Mukamu nggak ada Jepangnya sama sekali. Kamu tahu ndeso? Ya, itu mukamu.”
“Saya orang Indonesia asli 100%. Oyaji itu ayah angkat saya yang asli orang Jepang. Setelah 15 tahun lalu paman saya dibunuh orang, oyaji yang merawat saya sampai sekarang.”
“Kamu curhat?” tanya kak Mia.
“Enggak sih. Kan memperkenalkan diri. Biar kakak lebih kenal, makanya saya cerita.”
Kak Mia terdiam sejenak. “Terus.. kenapa bukan kamu aja yang dibunuh? Kenapa harus pamanmu?”
“Sebenarnya saya juga akan dibunuh waktu itu. Tapi kayaknya Tuhan masih kasi saya kesempatan untuk tinggal di dunia ini.”
“Waktu itu kamu tahu siapa yang pembunuhnya?”
“Kak Mia penasaran? Mmmm... mereka ayah dan anaknya. Mereka benci banget sama keluarga saya. Terlebih lagi laki-laki tua itu. Kayaknya tuh orang ada dendam kesumat ke paman,” cerita Silva. Tiba-tiba dia terdiam dan... “Om Jafar... Stevano...” Silva berbisik menyebutkan kedua nama itu. Mungkin kak Mia sadar dengan apa yang sedang terjadi pada Silva saat itu. Tangan Silva bergetar hebat.
Silva melihat kak Steven menegakkan kepalanya. “Silvana...” kata kak Steven lirih tapi Silva bisa mendengarnya. “Ya, kak?” katanya. Kak Steven berdiri terkejut melihat Silva. Sedangkan Silva heran melihatnya. “Kamu.. kamu Silvana Zinandar?” tanyanya pada Silva. Silva terdiam terkejut. Lalu Silva melihat name tag di jas almamaternya. Alexandre Stevano.
Silva keluar dari ruangan itu. Kak Mia berteriak pada Silva agar ia kembali karena ‘sidang’ belum selesai. Namun Silva tetap berjalan. Pintu Silva buka dengan kekuatan penuh. Pintu itu tidak langsung ditutup, pintu itu dibiarkan terbuka. Dan Silva berkata dengan sangat lantang pada peserta lainnya yang sedang menunggu giliran, “KALIAN JANGAN TAKUT MASUK KE RUANGAN ITU!!! DIA... eee.. MEREKA... POKOKNYA KALIAN JANGAN TAKUT SAMA MEREKA!!! KALAU MEREKA MACAM-MACAM SAMA KALIAN,—“ Silva menoleh ke arah kak Steven, bukan, Stevano, “KALIAN LANGSUNG AJA LAPOR POLISI!!!”. Silva berlari meninggalkan area itu. Semua peserta dan panitia ospek yang ada di situ heran.
Silva menuruni tangga dari lantai 2 sambil menangis. Ada Tetsuya disana yang hendak naik lantai 3. “Silva!! Silvana!!” panggil Tetsuya namun Silva tidak menghiraukan. Tetsuya bingung ada apa dengan adik angkatnya itu. Kemudian Tetsuya sadar, Silva bertemu Stevano, batinnya.
***
Tetsuya tiba di rumah. “Tetsuya, Silvana wa naiteita,” kata Oyaji memberi tahu bahwa Silva menangis. Tetsuya segera ke kamar Silva.
Pintu kamar Silva terbuka. “Silva, boleh aku masuk?” tanya Tetsuya meminta ijin. Silva menganggukkan kepala. Tetsuya duduk di sebelah Silva yang masih menangis.
“Kenapa kakak nggak bilang kalau dia satu kampus dengan kakak?” tanya Silva
“Aku nggak tahu kalau secepat ini. Rencananya aku mau bilang setelah ospek selesai, tapi ternyata kamu tahu duluan,” jawab Tetsuya merasa bersalah.
“Kalau kakak tahu di sana ada Stevano, kenapa kak Tetsu ngebiarin oyaji daftarin aku ke kampus itu? Kenapa, kak?”
“Awalnya aku juga nggak setuju. Tapi oyaji maksa. Mungkin karena ada aku di sana, jadinya kamu nggak akan sendirian. Akhirnya aku setuju. Dan aku janji pada diriku sendiri, oyaji, bahkan pamanmu, kalau aku akan lindungi kamu dan mereka apapun yang terjadi. Jadi... kamu nggak usah cemas, aku akan selalu ada buat kamu.”
Silva langsung memeluk Tetsuya sambil menangis terisak.
***
Hari terakhir ospek. Peserta ospek berbaris sangat rapi di halaman Fakultas Komunikasi. Silva berada dibarisan paling belakang. Setelah kejadian di ruang ‘sidang’ itu, Mia tidak henti-hentinya ‘menyiksa’ Silva. Mungkin hari terakhir ini, Mia bakalan lebih sadis lagi dari hari-hari sebelumnya.
Saat ini Steven alias Stevano sedang memberi pengarahan. Setelah selesai, Mia mulai beraksi.
“Hey, udik!?” panggil Mia pada Silva.
Semua peserta diam seribu bahasa.
“Barisan ketiga. Peserta paling belakang tolong ke depan!!” kata Mia.
Yolanda, teman Silva menoleh ke arah Silva. Silva melihat Yolanda, “Kenapa, Yol?”
“Tuh dipanggil,” kata Yolanda berbisik.
Silva mengalihkan pandangan ke arah Mia. Mia langsung menunjuknya agar keluar dari barisan dan berjalan ke depan.
Silva sedikit enggan untuk maju karena masih ada Stevano disebelah Mia. Sedangkan Mia sedari tadi berteriak-teriak karena Silva tidak cepat menuruti perintahnya.
Silva menoleh kanan-kiri, didapatinya Tetsuya berdiri dengan jarak hampir 100 meter darinya. Tetsuya memberi isyarat agar dirinya cepat menuruti perintah Mia. Dan dia juga mengisyaratkan, bahwa tidak akan terjadi apa-apa yang berkaitan dengan Stevano. Karena Tetsuya tahu, Stevano tidak akan berani berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini.
Silva sudah berada dihadapan Mia yang saat ini ekspresi mukanya berubah menjadi serigala. “KENAPA DARI TADI AKU PANGGIL, KAMU NGGAK LANGSUNG KE DEPAN? KENAPA???” bentak Mia tepat di depan muka Silva.
Silva menghela napas. “Kak Mia tadi manggil saya? Yang saya dengar tadi kak Mia manggil udik. Kan nama saya bukan udik, jadinya saya diam aja,” jawab Silva ringan.
“Berani ngelawan kamu ya!? Oke kalau gitu, ada hukuman buat kamu.”
Hukuman lagi? Nih orang hobi banget sih ngasi hukuman, batin Silva.
Mia berjalan menuju seseorang yang saat ini sedang memperhatikan Silva. Lalu ia menggandengnya menuju Silva.
“Hey udik, cowok ini namanya Tetsuya. Ini orang Jepang asli, nggak kayak kamu. Tapi dia tinggal lama di Korea. Aku pengen kamu ngerayu dan bilang ‘I Love You’ ke dia pakai bahasa Korea sampai dia mau dirayu sama kamu,” kata Mia yang mengira bahwa Silva tidak bisa berbahasa Korea.
“Sampai dia mau? Gimana maksudnya?” tanya Silva
“Peluk dan cium pipinya. Kalau dia nolak, berarti kamu gagal dan harus dihukum lagi dengan hukuman lain,” jawab Mia.
Mia ini, bahkan semua yang ada di area ospek, asli nggak tahu kalau Silva dan Tetsuya saudaraan. Meskipun hanya saudara angkat. Tetsuya hanya diam dan Silva pura-pura nggak kenal Tetsuya. Sebelumnya, Sandra, senior lain yang anti Mia itu memberitahu Silva kalau Tetsuya anti banget sama cewek. Silva sempat kaget. “Kalau kamu berhasil peluk bahkan nyium si Tetsuya dan dia nggak nolak, berarti Tetsuya emang nggak mau dirayu sama Mia. Bukan berarti Tetsuya anti cewek, tapi karena Tetsuya eneg sama Mia,” bisik Sandra. “Kak Mia suka sama kak Tet—maksudku Tetsuya?” tanya Silva, Sandra mengangguk pasti.
Semua pasang mata memperhatikan Tetsuya dan Silva. Mia sudah dipastikan ketir-ketir menyaksikan sesuatu yang tidak ingin dia lihat. Mia hanya ingin memastikan bahwa Tetsuya nggak gay. Karena selama ini Mia berusaha mendekatinya, tapi Tetsuya selalu menghindar seperti ketakutan.
Silva tersenyum manis pada Tetsuya. Sedangkan Tetsuya menahan tawa.
“Oppa.. Neomu neomu bogoshipo. Tetsu oppa, saranghamnida!!” kata Silva lalu memeluk Tetsuya dan mencium pipi serta keningnya dengan sikap genitnya.
Tetsuya membalas pelukan Silva. Bahkan dia juga mencium pipi dan kening Silva. Dan Tetsuya berkata, “Saranghaeyo, nae dongsaeng.”.
“Wooo... gamsahamnida,” jawab Silva yang terkejut mendapat balasan itu.
Sudah dipastikan semua orang yang ada di sana tidak mengerti apa yang diucapkan Tetsuya dan Silva. Mungkin mereka hanya tahu kata ‘saranghae’. Namun semuanya terkejut melihat apa yang dilakukan mereka berdua. Apalagi Mia. Mungkin saat ini dia sedang patah hati.
***
Setelah ospek berakhir. Silva berjalan menuju gerbang. Terlihat Stevano berjalan menuju ke arah Silva. Silva hanya menunduk. Stevano menabrak Silva. Sehingga Silva terjatuh. Stevano mendekati Silva seolah-olah menolongnya, namun... “Jangan kamu pikir bisa bebas dari aku. Aku dan ayahku masih punya hutang. Hutang menghabisi sisa keluarga Zinandar,” bisik Stevano lalu meninggalkan Silva.
***
Saturday night. Let’s party tonight!! Silva mulai berdandan. MakeUp minimalis, rambut terurai, sexy mini dress berwarna merah dan high heels menghiasi tubuh Silva malam ini. Ya, sang Dancing Queen itu mulai beraksi. Ketika di Tokyo, Silva memang dijuluki Dancing Queen. Dia mendapat juara dance se-Jepang selama 8 kali berturut-turut. Dan juara dance sedunia selama 3 kali berturut-turut.
Silva datang ke klub malam milik oyaji yang berada di Indonesia itu. Staf-staf klub malam tersebut menyambut senang kedatangan Silva. DJ mulai memainkan musiknya. Dan Silva mulai turun ke lantai dansa.
Silva yang asyik menari, tiba-tiba berhenti. Dia melihat oyaji dan Tetsuya datang ke klub malam. Bukannya dia tidak suka mereka datang, tapi ada perasaan ganjil ketika ia melihat kedua orang yang ia sayangi. Silva menghampiri mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang tidak ingin ia lihat. Ya, Stevano berada di belakang oyaji dan Tetsuya.
Stevano tidak sendiri. Ada segerombolan orang di belakangnya, termasuk ayahnya, om Jafar, pembunuh pamannya 15 tahun lalu. Orang-orang itu mulai menembaki semua pengunjung klub malam milik oyaji. Darah mengalir kemana-mana. Silva hanya bisa terdiam menyaksikan itu semua. Oyaji!? Kak Tetsu!? Dimana mereka?, tanyanya dalam hati sambil menoleh kanan kiri mencari oyaji dan Tetsuya. Beberapa detik kemudian, Silva melihat oyaji terkapar. Berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa lagi. Silva berteriak dan menangis histeris.
Tanpa disadari, Silva berjalan mundur. Dan... Stevano sudah berada di belakangnya. DOR. DOR. Dua peluru masuk ke dalam tubuh Silva. Ia tidak dapat menahan sakit dan akhirnya ia terjatuh. Penglihatannya mulai kabur. Namun ia melihat ada seseorang berdiri tegak di depan ia terbaring. Sesorang itu mengarahkan pistol ke arah Stevano dan ayahnya. Lalu... tiba-tiba semua menjadi gelap dan sepi.
***
Cahaya putih menerangi sudut ruangan gelap. Perlahan cahaya itu semakin terang. Silva membuka mata. Apakah aku sudah mati?, pikirnya. Silva bangun dari tempat ia berbaring. Ia melihat seisi ruangan itu. Masih sama keadaannya seperti terakhir ia meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke klub malam milik oyaji. Ini kamarku?, pikirnya. Lalu Silva keluar dari ruangan itu. Mendengar suara gaduh di bawah. Silva menuruni satu per satu anak tangga. Sesampainya pada anak tangga yang terakhir, ia melihat oyaji berada di ruang makan. Beberapa detik kemudian pintu utama rumah diketuk oleh seseorang. Silva berjalan menuju pintu dengan perlahan. Namun Tetsuya lebih dulu membuka pintu itu. Dan... Paman!?, kata Silva terkejut. Paman Silva melihat keponakannya berdiri beberapa meter darinya. Lalu ia memeluk Silva dan menanyakan kabar. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Tetsuya mempersilahkan paman Silva untuk masuk dan sarapan bersama dengan oyaji.
Silva masih berdiri mematung. Ia masih bingung dengan semua ini. Tetsuya mendekati Silva dan berkata lirih, “Bukankah aku sudah janji akan selalu menjagamu dan menjaga mereka!?” kata Tetsuya lalu mencium kening Silva.
***
“Life is FICTION”