Lukisan yang terbentang di museum tempo hari berhasil membuatku penasaran. Sebuah karya istimewa dari seorang pelukis anonim yang menyuratkan seorang wanita cantik mengenakan baju kebaya yang tengah menangis, sedang duduk di atas seekor naga dan diikuti oleh beberapa makhluk kecil. Memang, semua orang bisa melampiaskan tema itu. Hanya saja, sentuhan ‘magis’ pada material yang digunakan membuat rasa ingin tahuku mencuat.
Konon katanya, wanita itu adalah penggambaran dari para wanita Indonesia saat ini yang telah termakan zaman. Namun, asumsi itu langsung terbantahkan saat pelukis menjawab bahwa lukisan ini adalah representasi dari sebuah buku kuno yang ia temukan di hutan. Sempat menganggap bahwa itu hanya rekayasa belaka yang diciptakan untuk melatarbelakangi lukisan, tapi ternyata salah. Semua keraguanku langsung buyar, tatkala aku tak sengaja menemukan sebuah kertas kuno dengan aksara Jawa di atasnya.
Aksara itu, menuntunku kemari.
“Pertiwi Pawukir Prasasti.” Seraya berdiri termenung di depan hutan belantara, aku membuka kembali lembaran kertas kuno tadi.
Apa maksudnya ini? pikirku.
Memang, bagi seseorang yang bermukim di perkotaan sepertiku, hal seperti ini termasuk awam. Terlebih, di daerahku sama sekali tidak diajarkan tentang aksara-aksara seperti ini. Ya, pada akhirnya aku harus tetap menggunakan internet untuk memuaskan rasa penasaranku.
“Kayaknya, benar ini tempatnya,” ucapku seraya menelisik ke segala arah demi mencocokkan gambar yang ada di internet dan yang asli.
Magelang, kota yang penuh dengan destinasi wisata, tetapi nyatanya juga menyimpan beribu kisah mistis di dalamnya. Tak heran, karena kehidupan di sini masih diselimuti oleh adat. Banyak orang yang penasaran dan mulai menelusuri tempat-tempat tersembunyi tersebut.
Aku, Pertiwi, adalah salah satunya. Namun... sepertinya, hanya aku yang ada di Hutan Kalijawi ini. Memang cukup aneh, karena sejak awal aku diarahkan menuju jalan-jalan sempit nan terjal. Takut, tapi rasa ingin tahu memang telah menguasai diriku.
Tanpa menunggu lama lagi, melangkahlah aku ke dalam hutan belantara tersebut. 10 menit, sejauh ini, semua berjalan dengan cukup baik. Sepertinya, memang hanya hutan belantara seperti pada umumnya. Penuh pepohonan dan semak-semak belukar.
Akan tetapi, anggapanku itu tak bertahan lama. Semua berubah, tatkala kedua netraku menangkap sebuah pantulan cahaya hijau dari balik dedaunan. Dan, pada saat itu juga kertas lecek yang kupegang... berubah.
Semua tulisan yang tadinya memenuhi seluruh ruang, secara tak terduga, menghilang begitu saja. Lenyap, bagai terserap oleh kertas. Tentu saja aku terkejut, reaksi yang wajar bagi seorang penakut sepertiku. Refleks, kertas itu kubuang, tak peduli apa pun yang terjadi.
Bagaimana bisa?!
Setelah menenangkan diri dan meyakinkan bahwa peristiwa tadi hanya halusinasi saja, aku pun kembali memungut kertas yang ditahan oleh rerumputan tersebut. Walau jari-jemariku bergetar ketakutan, tapi untuk saat ini aku lebih mementingkan hasrat penasaran.
Saat kulihat, ternyata memang benar, tulisan itu benar-benar berubah!
“Adil ka Talino?” tanyaku bingung. Sebuah kalimat yang tertulis di sini membuatku sedikit ragu. Sepertinya, ini bahasa Filipina?
Perlu beberapa menit untukku supaya bisa memendam sempurna rasa penasaran ini. “Heehh! Bahasa apaan sih ini? Kok rumit banget? Mana nggak ada sinyal lagi di sini!” Aku yang tak tahan lagi, meluapkan emosiku sekeras-kerasnya. Toh, tidak ada siapa pun di sini. Mungkin?
“Siapa kamu?!” Seseorang memekik keras padaku. Suara seorang wanita yang berasal dari arah belakang. Aku sontak berbalik, menengok demi untuk memastikan siapa gerangan yang tiba-tiba datang memekik seperti itu.
Mataku membola sempurna ketika mendapat fakta bahwa orang yang ada di belakangku ini adalah seorang wanita cantik. Lembut mata sayu menyejukkan, bulu mata lentik yang melengkung sempurna semakin mempercantik kulit putih naturalnya. Juga, jika dilihat-lihat lagi, tampaknya wanita ini berasal dari Suku Dayak, terlihat dari pakaian tradisional yang melekat di sekujur tubuhnya. Tak heran, ia benar-benar permata yang indah!
Namun, masalahnya, bagaimana bisa perempuan Dayak sepertinya bisa sampai ke Magelang? Dan masuk ke hutan yang bahkan aku tidak pernah tahu?!
“Sepertinya kau bukan penduduk Gerbang Eka, siapa kamu?” Sekali lagi, ia bertanya padaku.
Aku pun lekas menjawabnya, “Ah, maaf. Nama saya Pertiwi, saya adalah seorang wartawan dari kota.”
Eh, tunggu... Gerbang Eka?!
“Hum ... orang kota? Tidak mungkin bagi orang biasa sepertimu bisa menembus dinding pusaka dari Yang Mulia Ratu.” Sesaat setelah mengucap hak tersebut, ia mendadak terdiam. Seperti sedang menyadari sesuatu, wanita itu langsung menoleh ke arahku. “Tunggu, siapa namamu tadi?”
“Pertiwi,” jawabku.
Ia terdiam membisu selepas mulutku mengucap namaku. Aneh, memangnya apa yang salah dengan namaku?
“Maafkan Hamba, Tuan Putri.” Entah apa lagi yang ada di pikirannya, tanpa disangka-sangka, ia justru malah duduk bersimpuh di hadapanku. Dan menyebutku sebagai Tuan Putri? Serius, memangnya ini dunia fantasi?
“Eh ....”
“Laksamana Tirta, Ruh Agung yang menyatukan batin. Adil ka Talino, akhirnya kemakmuran akan berpihak kepada kami lagi,” ucapnya seraya merapal sebuah mantra, kemudian menambahkan, “Putri Pertiwi, perkenalkan nama saya adalah Darmi. Tolong, izinkan saya untuk menuntun Tuan Putri menuju Gerbang Pusaka Yang Mulia Ratu.”
“Ah ...” Aku hendak menolak ajakan ‘Omong kosong’ itu. Tapi, tak tahu kenapa, mulutku tiba-tiba tertahan. “Ba-baik.”
Pada akhirnya, aku tetap mengikuti wanita tersebut. Ia mengangguk dan menuntunku menuju arah kilauan cahaya yang muncul di balik dedaunan tadi. Sesuai dugaanku, cahaya itu bukanlah sekadar cahaya pantulan dari genangan air. Melainkan cahaya silau dari kumpulan permata yang menghiasi hampir seluruh bagian gerbang.
Setibanya di sana, aku langsung disambut oleh beberapa penari yang melenggak-lenggok ke sana kemari. Kalau tidak salah, namanya adalah Tari Serumpai!
“Tuan Putri, ini adalah Gerbang Eka. Gerbang tempat berkumpulnya orang,-orang Utara yang kental akan perdamaian,” terangnya, “Suku dayak.”
Ia melangkah di depanku seraya sesekali menjelaskan. Memang, sejauh mata memandang, aku selalu melihat senyuman yang menghiasi wajah orang-orang berpakaian tradisional tersebut. Memang, menurut buku yang kubaca, Suku dayak adalah orang-orang yang terkenal dengan keramahannya dalam menyambut tamu. Bahkan, sampai di dunia antah berantah ini, mereka juga tetap ramah.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi.
Seusai melakoni perjalanan singkat, akhirnya tibalah aku di penghujung gerbang. Darmi berhenti di depanku dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya. “Tuan Putri, Anda telah melewati Gerbang Eka. Untuk selanjutnya, Anda akan melewati dua gerbang lainnya sebelum bertemu dengan Yang Mulia.”
"Namun, sebelum Anda pergi, Hamba ingin Tuan Putri menggunakan ini." Darmi menyodorkan tangannya dan menyelipkan sesuatu pada tanganku.
Kalung?
"Gunakan kalung ini dan Anda bisa mazuk ke sana."
“A-Ah.” Lagi-lagi, mulutku seolah tidak bisa digunakan untuk setidaknya bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya mengangguk untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh Darmi.
Selanjutnya, aku melihat sebuah pantulan cahaya berwarna kuning dari kejauhan. Sepertinya, itu adalah tujuanku selanjutnya.
Aku melangkah perlahan menuju ke tempat itu. Sedikit was-was kalau saja ekspetasiku salah.
Tanpa kusadari, kertas kuno itu telah berganti kalimat lagi. Aku berhenti sejenak untuk melihat apa kalimat yang akan muncul.
Sama seperti sebelumnya, Gerbang misterius itu tertutup oleh dedaunan. Ah, Gerbang Dwi!
Aku mengingat apa yang dikatakan oleh Darmi beberapa saat lalu. Kalung yang ia berikan padaku tadi, lekas ku pakai. Konon, perkataan Orang Dayak itu selalu benar?
Setelah memakai kalung dengan liontin hijau mengkilap, aku segera mendekat ke depan gerbang misterius yang kutemui.
Kali ini, tampak seorang pria mengenakan baju Koteka yang sedang berdiri dengan tatapan tajam di depan gerbang. Selayaknya seorang prajurit penjaga yang mengawal istana.
Aku melangkah mendekat ke arah gerbang dan hendak menyapanya. Namun, sebelum aku melakukan itu, ia sudah lebih dulu memberiku tatapan tajam bak elang yang hendak memangsa. Nyaliku seketika ciut, tak berdaya di hadapannya.
"Ko siapa?" Ia bertanya dengan dialek orang Timur.
"Ah, aku, Pertiwi."
"Pertiwi?" Kedua alisnya terangkat kaget. "Beta pernah dengar nama itu. Apakah Nona adalah orang yang dibicarakan oleh Ratu, ho?"
Ratu? Tuhan, kenapa daritadi mereka menyinggung Ratu terus?
"Aa-"
Sebelum aku melanjutkan perkataanku, pria itu menyela lebih dulu. "Ah, maaf, Tuan Putri. Hamba tidak tahu jika itu adalah Anda, tolong, ampuni Hamba." Lagi-lagi, ia duduk bersimpuh seperti Darmi.
"Perkenalkan, nama Hamba adalah Biwar. Penjaga Gerbang Dwi."
"Oh... halo, Biwar!"
"Halo, Tuan Putri. Senang bertemu dengan Anda lagi." Ia tersenyum, "Apuni Inyamukut Werek Halok Yugunat Tosu."
Eh?
"Sepertinya, Tuan Putri diarahkan oleh Darmi. Kalau begitu, saya akan tunjukkan jalan langsung menuju Gerbang Pusaka."
"Mari ikut saya, Tuan Putri." Ia mengulurkan tangan kepadaku seraya memberi hormat khas papua. Dengan senyuman senang hati, aku menerima ulurang tangan itu, walau aku juga belum begitu mengerti, bagaimana mekanisme yang terjadi pada hutan magis ini.
Sama seperti Darmi, Biwar juga menunjukkan jalan kepadaku sembari menjelaskan apa yang ada di Gerbang Dwi.
"Seluruh penduduk di Gerbang Dwi adalah orang-orang Timur. Sebagian besar, adalah suku Papua."
Aku menyimak penjelasan dari Biwar dengan penuh fokus. Papua, nama yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tanah dengan berbagai keindahannya.
Tak heran, bagaimana sekarang aku bisa melihat burung cendrawasih tengah berterbangan di segala sudut. Silih berganti hinggap di dahan pepohonan.
Anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari dan tertawa tanpa rasa beban. Para orang dewasa tengah bersiap dengan kayu bakarnya. Iya, inilah pemandangan Papua yang belum pernah kulihat.
Papua, tanah yang harusnya juga ikut bahagia.
Tanpa sadar, mataku mengembun. Kenapa aku tidak pernah menyadari bahwa Indonesia juga memiliki surga lain. Selama ini, fokusku hanya terpaku pada tanah Jawa dan tidak menyadari bahwa masih ada begitu banyak surga di dunia ini.
Dasar!
Tiba saatnya aku dan Biwar telah sampai di penghujung gerbang. Aku kembali disambut oleh tarian adat khas Papua, Sajojo.
"Nona telah sampai di penghujung gerbang. Beta berpesan, sebelum menemui Sang Ratu, Tuan Putri sebaiknya bersedia menggunakan tanda penyucian ini."
"Tanda penyucian?"
Biwar mengambil dua tempurung kelapa yang berisi bubuk berwarna merah dan putih. Ia mencelupkan jari telunjuk dan tengahnya di sana, sebelum kemudian memberikan cap jari di kedua pipiku.
"Semoga Tuan Putri diberkati." Ia mengukir garis lengkung pada bibirnya. "Baiklah, Tuan Putri sudah boleh pergi."
Aku mengangguk. Kali ini, aku menyusuri jalan rerumputan ini untuk menemukan rute terakhir yang akan dituju. Gerbang Pusaka.
Setelah sekian lama melakukan pencarian, akhirnya aku menemukannya. Tak seperti bayanganku, kali ini gerbangnya tak lagi berada di balik dedaunan. Melainkan tepat berdiri kokoh di antara dua pepohonan tinggi nan besar.
Papan yang bertuliskan, 'Jiwa Jagad Nusantara'.
"Ah, jadi ini tempat yang dibicarakan sama Biwar dan Darmi?" Aku mendongak, menatap tulisan besar yang terpampang jelas di gerbang ini. Bulu kudukku seketika berdiri, merinding, membayangkan bagaimana wujud Sang Ratu yang sangat dihormati oleh para rakyatnya?
Kali ini, sepertinya tidak ada penjaga gerbang. Aku melangkah masuk sendirian ke dalam gerbang besar ini. Diiringi oleh rasa khawtir, gelisah, dan takut, aku celingak-celinguk berupaya mencari tanda-tanda kehidupan manusia.
Sayangnya, tidak ada siapapun yang tertangkap di jangkauan kedua mataku. Namun, hasilnya tak sepenuhnya nihil. Dari dekat, aku mendengar suara gamelan yang dimainkan beriringan.
Berharap akan menemukan siapa pun di sana, aku segera berjalan menghampiri sumber suara. Suara yang terdengar semakin jelas, semakin jelas, dan semakin jelas.
Hingga akhirnya, suara itu benar-benar terdengar nyaring di telinga, menandakan bahwa aku telah berjarak dekat dengan tujuanku. "Gamelan ... selanjutnya pasti ...."
Kertas kuno-Ku berubah lagi. Kali ini, ia menunjukkan kalimat berbeda, "Sing Kuasa mboten tau sare."
Ah, sesuai apa yang aku pikirkan. Bahasa Jawa.
Suara lembut seorang sinden merasuki lamunanku dan membuyarkannya pada waktu bersamaan. Suara yang sangat merdu itu seolah membuatku terhipnotis.
Aku mendekati tempat orang-orang memainkan gamelan itu. Tapi, anehnya, ketika aku sampai di sana, tidak terlihat satu pun orang. Hanya seorang wanita dengan kebaya yang sedang duduk di atas batu sambil menyanyikan tembang Jawa.
"Wong ala ketok buntute ...." Ia masih terlarut dalam tembang lagunya.
Aku tidak tega untuk merusak suasana itu. Alhasil, diriku hanya bisa terdiam mendengarkan hingga dia bisa menyelesaikan tembangnya.
"Ndhuk." (Nak) Tanpa disangka, di tengah-tengah tembangnya, ia berhenti dan memanggilku.
"E-Eh, iya?"
Ia tersenyum. "Desa mawa cara, negara mawa tata."
"Apa kamu tau artinya?"
Aku sontak menggelengkan kepala sebagai wujud jawaban.
"Artinya, setiap desa punya adat tersendiri, begitu juga negara yang punya hukumnya sendiri." Wanita itu berdiri dari posisi duduknya. "Itu sama seperti gambaran Nusantara pada saat ini. Dunia memang telah menginjak modernisasi, tapi Nusantara tidak boleh kehilangan Nusantara-Nya."
"Kowe ora lali karo kewajibanmu ta, Ndhuk?" Ia melanjutkan untuk bertanya.
"Kewajiban? Kewajiban nopo?"
Wanita berkebaya itu semakin berjalan mendekatiku. "Pertiwi, mosok kowe wes ora eling? Alasanmu lahir di tengah-tengah keramaian adalah untuk menyatukan lagi Nusantara yang telah lama hilang."
"Hah? Aku tidak pernah mendapat perintah it–"
Deg!
Aku teringat kembali kepada beberapa mimpi yang aku dapat. Salah satunya, saat aku menginjak usia 13 tahun, aku pernah mendapat mimpi tentang seorang wanita berkebaya yang mengatakan bahwa ia menitipkan Nusantara kepadaku.
Jadi...
"Ndhuk." Dia tiba-tiba mengubah ekspresi wajahnya. "Kamu adalah penerus pemimpin tanah air ini selanjutnya. Tolong, pimpinlah Nusantara menuju kejayaan dan berantas segala kecurangan yang ada di negeri ini."
Aku meneguk ludah. "Tapi, aku tidak bisa–"
"Ojo omong ngono, Ndhuk. Kamu ini adalah generasi Ratu yang lahir di tengah-tengah dunia modern. Jadi, kamu pasti lebih tau bagaimana cara memimpin. Dibandingkan aku yang cuma seorang tua."
"Hmmm...." Aku berpikir keras. Tidak, aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padaku.
"Ndhuk, piye?"
"Ehmmm...."
Kringgg! Krrringg!
"HAHH?!" Suara alarm membangunkanku. Aku langsung memegangi pipiku, memastikan bahwa kali ini aku benar-benar sedang hidup di dunia nyata.
Fyuhhh...
Ternyata itu hanya mimpi. Ya, mungkin saja itu adalah teguran bagiku karena akhir-akhir ini aku lebih menyukai budaya negara lain.
Ah, ini jam berapa?
Tunggu, Jam setengah tujuh?!
Aku beranjak dari kasurku dan segera menuju kamar mandi. "Maaaa ... kenapa nggak bangunin!"
Aku menganggap bahwa mimpiku itu hanyalah khayalan belaka. Tanpa kusadari, ternyata... kertas kuno itu memang benar-benar ada di meja belajarku.
~Tamat~