Rasa bosan mulai menyerang Dimas yang mengamati Bu Mela, wali kelasnya, yang sibuk menilai hasil ulangan harian teman-temannya. Sudah setengah jam lebih Dimas menunggu, tetapi Bu Mela belum juga memulai pembicaraan. Hanya sapaan basa-basi saat ia masuk ke ruangan itu. Di puncak rasa bosan yang dirasakan Dimas, seseorang mengetuk pintu ruangan itu. Baik Dimas maupun Bu Mela langsung menoleh, melihat siapa yang datang. Berbeda dengan Bu Mela yang tampak sumringah, Dimas justru mengerut heran.
“Ibu mencari saya?” sapa Kirana yang masih berdiri di ambang pintu.
Bu Mela mengangguk mengiyakan, “masuk Kin.”
Dengan langkah ragu, Kirana masuk dan mengambil duduk di samping Dimas yang menatapnya tanpa henti. Ia mengalihkan perhatiannya dari Dimas untuk menutupi kegugupannya. Baru saja ia duduk, Bu Mela menyodorkan setumpuk kertas ujian semesteran yang sudah diberi nilai. Kening Kirana mengerut bingung mengetahui kertas ujian itu bukan miliknya, tetapi milik Dimas.
“Gimana menurut kamu, nilainya Si Dimas ini?” tanya Bu Mela.
Mendengar perkataan Bu Mela, sontak Dimas menegakkan badannya seraya menoleh ke kertas yang berada di tangan Kirana. Ia memastikan itu benar-benar kertas ujian semester miliknya. Spontan Dimas menatap Kirana untuk mengetahui reaksi cewek itu.
Kirana tersenyum kikuk, setelah sempat melirik Dimas. Ia tidak berani berkomentar apa-apa mengenai nilai Dimas yang berada di bawah angka lima semua.
“Dimas ini, ngerjain soal sambil tidur kayaknya,” sindir Bu Mela.
“Ya tidak juga, Bu. Soalnya saja yang susah,” elak Dimas.
“Temen-temenmu yang lain saja bisa di atas nilai KKM lho, cuma kamu yang di bawah. Semua mata pelajaran lagi,” sungut Bu Mela.
Dimas mengusap-usap pipi untuk mengalihkan rasa malu. Kalau saja Bu Mela mengatakan itu hanya di depannya, mungkin ia tidak merasakan kesal dan malu disaat bersamaan. Namun beliau dengan lantangnya mengatakan itu semua di depan Kirana yang sejak tadi diam, tak nyaman dengan pembicaraan ini.
“Saya akan belajar lebih giat lagi, Bu,” ucap Dimas.
“Harus itu. Ujian semester nanti nilai kamu harus di atas KKM. Biar Kirana yang mengajarimu.”
“Saya?”
“Bagaimana…?”
Dimas dan Kirana kompak angkat bicara karena sama-sama terkejut. Mereka saling bertukar pandang kebingungan.
“Iya, Kirana yang bakal ngajarin kamu di rumah. Kalian satu kampung ‘kan?”
Masih sedikit bingung, Dimas mengangguk membenarkan ucapan Bu Mela. Kirana memang sekampung dengannya, hanya saja rumah Kirana berada di ujung kampung.
“Ya sudah, kalian belajar bersama. Untuk masalah waktu, kalian bisa atur sendiri.”
Dengan lesu Dimas mengangguk, “baik, Bu.”
“Bagus. Pokoknya Ibu nggak mau tahu ya. Ujian semester nanti kamu harus dapet nilai di atas KKM.” Bu Mela beralih menatap Kirana, “tolong Dimas dibantu ya, Kirana.”
“Iya, Bu.” Kirana mengangguk setuju.
Dimas menghela napas panjang. Wali kelasnya yang satu ini paling pintar menyindir murid yang membandel seperti dia, tapi akan berkata lembut dengan murid kesayangannya, Si Kirana. Sekali lagi Dimas melirik Kirana yang masih tampak bingung meski sudah menyanggupi permintaan Bu Mela. Sepertinya dia masih belum tahu apa yang harus dilakukannya nanti, sama seperti Dimas.
Setelah keluar dari ruangan Bu Mela, Dimas melihat Kirana yang juga menatapnya ragu. Seolah ada yang ingin dia bicarakan. “Apa?” tanya Dimas mengerutkan kening.
“Kapan kita mulai belajar bersama?” tanya Kirana.
“Terserah kamu.”
Dimas langsung melangkahkan kaki pergi, meninggalkan Kirana yang nampak berpikir keras. Sejujurnya baru kali ini Dimas berbicara langsung dengan Kirana, karena itulah ia bingung harus bersikap seperti apa. Akhirnya Dimas memilih cepat-cepat pergi. Urusan belajar bersama itu, masih bisa dipikirkan nanti. Toh ujian semester masih lama. Pikir Dimas tak acuh.
*****
Derap kaki Kirana terdengar pelan saat melintasi halaman rumah bergaya Joglo. Meski rumah itu masih berada di kampung yang sama dengannya, Kirana jarang sekali mengunjunginya. Rumah itu adalah rumah Nenek Sulastri yang tinggal sendirian sejak suaminya meninggal. Namun beberapa bulan yang lalu, Nenek Sulastri tidak sendirian lagi. Anak dan cucunya pulang dari Jakarta untuk menemani Nenek Sulastri. Cucu dari Nenek itulah yang sekarang ini ingin ditemui Kirana.
Kirana mengetuk pelan rumah itu, seraya memberikan salam. Tidak menunggu lama, dari dalam terdengar seseorang menyahut. Nenek Sulastri tersenyum senang melihat Kirana datang ke rumahnya, meski saat pertama membuka pintu sedikit terkejut. Setelah mengetahui apa maksud kedatangan Kirana, Nenek Sulastri langsung memboyongnya ke dalam. Nenek Sulastri menyuruh Kirana untuk menunggu sebentar selagi beliau memanggil Dimas.
Tak berselang lama, Nenek Sulastri kembali dengan Dimas yang mengikuti di belakang. Cowok itu terlihat terkantuk-kantuk seakan baru saja dipaksa untuk bangun tidur. Wajah Dimas semakin masam ketika mengetahui siapa yang datang, seakan tidak rela tidur siangnya terganggu hanya untuk belajar.
“Ngapain ke sini?” tanya Dimas ketus.
“Heh, Dimas! Kalau bicara dengan perempuan itu yang sopan,” omel Nenek Sulastri diikuti gerutuan Dimas.
“Kata Bu Mela, belajar kelompoknya mulai hari ini.” Kirana berusaha tampak tenang, meskipun sebenarnya ia begitu gugup.
“Besok saja kenapa sih.” Dimas menjatuhkan diri di sofa, berniat melanjutkan tidurnya.
“Kamu ini gimana to, Le. Kirana ini ‘kan sudah datang jauh-jauh ngajarin kamu, malah mau males-malesan terus.” Nenek Sulastri menepunk-nepuk pundak Dimas agar tidak tidur lagi, “sana ambil bukunya terus belajar.”
Decakan keluar dari bibir Dimas. Malas-malasan ia melangkah menuju kamar mengambil buku. Saat berpapasan dengan ibunya. Ibunya itu justru melengos menahan tawa. Inilah yang paling tidak disukai Dimas sejak tinggal di Solo. Ia harus berhadapan dengan neneknya yang puritan. Saat mengetahui nilai ujian semesteran kemarin buruk, yang pertama memberikan segala petuah yang tidak kunjung berhenti adalah neneknya. Sangat berbeda dengan ibunya yang sesekali memintanya belajar, tetapi tidak marah jika ia menolak.
Saat Dimas kembali ke ruang tamu, di sana tidak hanya ada nenek dan Kirana. Namun ibunya ikut menimbrung. Sedikit banyak Dimas mendengar percakapan mereka, terutama masalah di sekolah. Nenek dan ibunya itu pastilah tidak melewatkan kesempatan untuk mencari tahu bagaimana sikapnya saat di sekolahan. Beruntung Kirana tidak menceritakan yang aneh-aneh pada mereka, hanya menjawab secukupnya saja.
Hari pertama belajar bersama Kirana, terasa buruk bagi Dimas. Suara Kirana yang pelan membuatnya mengantuk, dan berakhir mendapatkan jeweran di telinga saat neneknya tahu ia ketiduran. Belum lagi alasan terkuat mengapa ia tidak suka kunjungan Kirana, mulai hari itu hingga beberapa bulan kedepan adalah ia tidak suka belajar. Itu membuat waktu bermainnya berkurang drastis, belum lagi ejekan dua sahabat karibnya di sekolah, semakin membuatnya enggan belajar bersama Kirana.
Namun ada hal yang membuat Dimas terpaksa bertahan menjalani ini semua. Ia pernah tanpa sengaja mendengar doa ibunya. Doa yang sangat sederhana, yang tidak pernah sampai di telinganya sama sekali. Ibunya hanya berharap bisa melihatnya bisa lulus SMA. Ya, selama ini, belum genap dua tahun ia memakai seragam abu-abu putih. Sekolah Pancasena, tempat ia sekolahnya sekarang. Sudah dua sekolahan yang mengeluarkan Dimas, dengan alasan tidak sanggup mengatasi kenakalannya.
Dimas sadar telah banyak mengecewakan ibunda tercintanya itu karena keegoisannya. Selama ini ia berbuat nakal untuk melampiaskan rasa kekecewaan pada ayahnya, yang tak pernah ada dalam kehidupannya. Bukan karena orang tuanya bercerai, tetapi ayah Dimas terlalu sibuk bekerja dan tidak pernah meluangkan waktu sedikitpun untuk Dimas. Jangankan waktu, sekedar menyapa saat pagi di meja makan saat mereka makan bersama pun tidak pernah dilakukan ayahnya. Semua usaha yang dilakukan Dimas untuk membuat ayahnya sekedar melirik kearahnya, terasa sia-sia sampai akhirnya Dimas memilih meluapkan amarahnya dengan kenakalan di sekolah. Barulah ayahnya mau berbicara dengan Dimas meski itu berarti kemarahan ayahnya yang didapat, saat menerima laporan tidak menyenangkan dari sekolahnya.
Hari ini acara belajar bersama dengan Kirana sedikit berbeda. Yang biasanya mereka belajar berdua saja di rumah, kali ini Dimas mengajak Kirana ke rumah Agus. Tidak hanya Agus saja yang telah menunggu mereka, Eko juga sudah menunggu dengan tidak sabar. Semua ini ide Agus yang memaksa Dimas mengajak Kirana ke rumahnya untuk ikut belajar bersama, meski sedikit berat hati akhirnya Dimas menyetujui rencana Agus. Satu jam pertama belajar, mereka masih belajar dengan serius. Setelah jam-jam berikutnya Dimas bersama kedua temannya itu justru sibuk bermain dengan burung merpati balap, mengabaikan Kirana yang menatap mereka dengan tatapan bingung.
Barulah setelah adzan magrib Dimas mengantar Kirana pulang. Sepanjang jalan mereka tidak berbicara apa-apa, hanya sesekali Dimas melirik ke spion untuk memeriksa Kirana yang tampak pucat. Sesampainya di rumah Kirana, ia sempat bertemu dengan ayahnya Kirana. Namun pria paruh baya itu langsung mengusir Dimas dengan kasar. Dimas yang enggan berurusan lebih lama dengan ayah Kirana langsung pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
“Dimas!”
Panggilan dari depan rumah tak jauh dari rumah Kirana menghentikan laju motor Dimas. Ia berhenti mengetahui Renata, teman dekat Kirana yang memanggilnya.
“Dimas, kalian dari mana?” tanya Renata gusar.
“Belajar barenglah,” jawab Dimas tak acuh.
“Gila kamu, Dim. Jam segini baru nganterin Kirana pulang.”
“Kenapa memangnya?” Kening Dimas berkerut heran.
“Ah sudahlah. Besok-besok jangan kemaleman. Kasihan Kirana.” Nasehat Renata.
Mendengar perkataan Renata, jantung Dimas berdegup kencang. Seakan diingatkan. Waktu pertama Kirana datang ke rumah untuk belajar bersama, neneknya sudah memperingatkan Dimas untuk tidak membuat Kirana pulang setelah adzan ashar berkumandang. Ditolehnya rumah Kirana yang sudah tertutup rapat setelah ia diusir tadi. Ada rasa khawatir yang mendera hati Dimas, seakan firasat buruk menghampiri.
*****
Sambil menahan sakit yang teramat sangat di telinganya, Kirana mengikuti langkah ayahnya masuk ke rumah. Rintihan kesakitan dan juga ucapan maaf yang dilontarkan Kirana, seakan tidak dipedulikan oleh pria paruh baya itu. Ayah Kirana baru melepas jewerannya setelah berada di dalam, tapi itu bukan berarti hukuman untuk Kirana sudah selesai. Melihat ayahnya mengambil sebilah rotan yang terselip di balik kursi, Kirana hanya bisa pasrah.
“Sudah berani pacaran ya sekarang!” bentak Ayah Kirana seraya mengayunkan rotan ke arah tubuh Kirana.
Tidak hanya sekali. Permukaan rotan itu mendarat di tubuh Kirana berkali-kali. Meski ini bukan yang pertama untuk Kirana, sabetan yang menerjang tubuhnya kali ini lebih keras hingga ia merosot ke lantai karena tidak sanggup menahan sakit.
“Ampun, Yah. Kirana tidak pacaran, kami tadi belajar kelompok.” Kirana menangis tersedu. Dari ekor matanya, ia melihat ibunya menengok. Namun wanita paruh baya itu seakan tidak peduli melihat Kirana dihajar habis-habisan oleh ayahnya.
“Membantah kamu ya!” Ayah Kirana semakin beringas meluapkan amarahnya menyabet Kirana tanpa ampun. “Kamu ini kerjanya menghabiskan uang, sekarang mau belajar jadi pelacur. Hah!”
“Tidak, Yah.” Kirana terbatuk saat kaki ayahnya menendang perut.
Tubuh Kirana terasa luluh lantak saat ayahnya pergi tanpa menoleh setelah puas menghajarnya. Tertatih-tatih Kirana bangkit dan berjalan menuju kamar. Lelehan air matanya masih terus mengalir, sebagai satu-satunya ungkapan betapa rasa sakit mendera jiwa dan raga Kirana. Sejak kecil sampai sekarang ia tidak mengerti mengapa ia diperlakukan berbeda dari kakak adiknya. Kirana lebih sering menerima hukuman dari kesalahan kecil hingga kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya. Setiap hari ia selalu merenungi nasibnya yang semakin berat, ayahnya yang tak segan menghajarnya dan ibunya yang tidak pernah menganggapnya ada. Hanya tangisan lirih tiap malam yang menjadi satu-satunya pelega hati Kirana yang seharian disesaki oleh tekanan batin.
Terkadang rasa iri menghinggapi Kirana saat melihat kakak adiknya mendapat perhatian. Apalagi adiknya yang sejak kecil selalu dimanja, apapun yang diinginkan selalu dipenuhi. Tidak seperti Kirana yang mesti mengemis ketika bayaran sekolah sudah jatuh tempo, itupun ia harus menyiapkan badannya untuk mendapatkan sabetan rotan terlebih dahulu. Beruntung sekolahnya sekarang membebaskannya dari biaya sekolah karena ia merupakan murid terpandai, Ia hanya perlu belajar dengan giat agar bisa menggapai cita-citanya.
*****
Hari ini Dimas datang lebih awal ke sekolah. Perasaannya tidak nyaman sejak kemarin sore, mengkhawatirkan keadaan Kirana. Ia tidak begitu mengenal Kirana dan keluarganya meski sudah beberapa bulan sering bertemu untuk belajar bersama. Pertemuan mereka hanya sebatas belajar, Dimas sendiri merasa tidak perlu mencari tahu tentang Kirana. Namun setelah percakapannya dengan Renata kemarin, menyadarkan Dimas akan suatu hal. Kirana sudah membantunya banyak hal, berbeda dengannya yang tidak pernah melakukan timbal balik pada temannya itu.
Saat memasuki kelas tanpa bisa ditahan, helaan napas lega lolos dari mulut Dimas. Di bangku tengah terlihat Kirana sedang berbicara dengan Renata. Entah mengapa ia tadi sempat khawatir tidak bisa melihat Kirana pagi ini. Tanpa berpikir panjang, Dimas menghampiri kedua cewek itu.
“Kiran…” Dimas menyentuh lengan Kirana sesampainya di belakang cewek itu.
Kirana tidak hanya terjengit kaget, tetapi juga meringis menahan sakit saat menoleh. Melihat ada yang tidak beres, Dimas langsung mengambil duduk di samping Kirana dengan tatapan menyelidik.
“Ada apa, Dim?” Kirana buru-buru membenarkan jaketnya yang melorot, untuk menutupi lebam yang baru saja diobati Renata.
“Lengan kamu kenapa?” tanya Dimas yang sempat melihat sekilas warna ungu kebiruan di lengan cewek itu.
Dengan cepat Kirana menggeleng dan menudukkan kepala, enggan bertatapan langsung dengan Dimas. Ia malu jika harus menceritakan apa yang terjadi padanya, bagi Kirana itu adalah aib. Hanya Renata dan Bu Mela yang mengetahui keadaan dirinya, karena mereka yang paling dekat dengan Kirana. Selebihnya ia tidak ingin orang lain tahu apa yang terjadi padanya, termasuk Dimas.
Dimas mendengus kasar, baru kali ini ia melihat Kirana ketakutan seperti itu. Ia yakin semua ini ada hubungannya dengan lebam itu, tapi apa penyebabnya? Dimas berpikir keras, mengira-ngira benda apa yang bisa menorehkan luka seperti itu.
“Siapa yang ngelakuin itu?”
“Itu bukan apa-apa,” jawab Kirana dengan suara bergetar.
Dimas menghela napas berat, mencoba untuk meredakan emosi. Ingin rasanya ia mencecar Kirana, tetapi saat menoleh ke arah Renata. Cewek itu memberikan isyarat untuk tidak mendorog Kirana terlalu jauh, membuat Dimas harus puas dengan dugaan-dugaan di dalam kepala. Tanpa bisa memperoleh jawaban langsung dari Kirana.
*****
Dari balik buku yang di pegang, Dimas memperhatikan Kirana yang begitu serius memeriksa jawaban dari pekerjaan rumah yang diberikan guru mereka tadi. Sejak mengetahui seberapa buruk perlakuan Ayah Kirana dari cerita Renata, Dimas tidak pernah lagi mengajak Kirana ke rumah teman-temannya. Ia juga tidak membiarkan Kirana pulang terlalu sore. Seperti pesan neneknya, Kirana pulang saat adzan ashar berkumandang dari surau kampung mereka.
“Kiran, sudah ashar,” ucap Dimas mendengar suara adzan sudah terdengar sayup-sayup dari surau.
Kirana menegakkan kepala dan mengangguk mengerti. Ia membereskan peralatan sekolahnya dan memasukkan ke tas, “hari ini belajar terakhir kita.”
“Kenapa?” Dimas memandangi Kirana bingung.
“Besok hari terakhir ujian semester bukan, setelah itu kamu sudah bebas bermain,” terang Kirana seraya terkekeh.
Mulut Dimas membulat kemudian tersenyum, ia bahkan lupa kalau mereka sudah ujian. Ternyata waktu tidak terasa cepat berlalu, ada sedikit rasa kecewa mengetahui ia tidak lagi bisa bersama Kirana seperti ini lagi.
“Bagaimana kalau nilaiku jelek lagi?” tanya Dimas.
“Kalau begitu, kamu harus belajar lebih rajin lagi.”
“Tidak masalah, asal kamu yang ngajarin.” Dimas melihat semu kemerahan di kedua pipi Kirana.
“Aku pulang dulu, ya.” Kirana beranjak dari tempat duduknya dengan sedikit salah tingkah.
“Hati-hati di jalan.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Dimas, membuat Kirana semakin bersemu merah dan buru-buru keluar. Sepeninggal Kirana, Dimas merutuki ucapannya barusan. Sebenarnya Dimas merasa senang dekat dengan Kirana. Dia tidak hanya cantik, tapi juga pintar. Sayang nasibnya saja yang buruk, lahir di keluarga yang tidak menyayanginya. Dimas pernah bercerita kepada ibunya tentang keadaan Kirana, tetapi ibunya itu menasehatinya untuk tidak ikut campur masalah keluarga Kirana. Begitupun dengan neneknya. Keadaan Kirana bukanlah sebuah rahasia di kampung ini, hanya saja mereka segan untuk menegur kedua orang tua Kirana. Satu-satunya yang pernah menegur mereka adalah sesepuh kampung ini, tapi tetap saja sia-sia karena tabiat orang tua Kirana tidak berubah sampai sekarang.
Seminggu sudah berlalu sejak ujian semester berakhir. Selama itu pula Dimas tidak bertemu dengan Kirana bahkan saat penerimaan rapot. Entah mengapa Dimas justru merasa aneh karenanya, yang terbiasa melihat Kirana berada disekitarnya selama beberapa bulan terakhir ini. Di area parkir sekolahan yang mulai sepi, Dimas menunduk lesu. Di tangan tergenggam erat buku rapot, yang baru saja diambil ibunya. Ibunya sangat bahagia melihat nilai Dimas yang naik drastis, tapi Dimas tidak merasakan bahagia yang sama.
“Renata!” Dimas memanggil Renata yang melintas dan buru-buru mendekati cewek itu, “di mana Kirana, Kenapa tidak datang?”
“Buat apa nyariin Kirana, bukannya kamu sudah dapat nilai bagus. Sudah tidak ada lagi yang bisa kamu manfaatkan dari Kirana,” jawab Renata ketus.
Dimas meringis merasa bersalah. Terakhir kali bertemu Kirana setelah pulang, ia mengatakan kata-kata yang tidak mengenakkan di depan teman-temannya. “Aku mau minta maaf sama dia, aku tidak bermaksud seperti itu,” sesalnya.
“Kirana sakit, dia dirawat di RSU.” Renata akhirnya membuka suara, tidak tega juga melihat wajah penyesalan Dimas.
“Sakit apa?” tanya Dimas terkejut.
“Aku tidak tahu. Orang tuanya membawa Kirana ke RSU tengah malam buta, sampai sekarang tidak ada yang boleh menengoknya,” sesal Renata.
Serta merta Dimas kembali menghampiri motornya. Tidak dipedulikannya panggilan Renata yang mencegahnya pergi. Dimas ingin memastikan Kirana baik-baik saja. Ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi menuju RSU, hingga sampai di sana tidak membutuhkan waktu lama. Satu masalah lainnya adalah, ia tidak tahu di mana Kirana dirawat. Cukup lama ia mencari ruangan di mana Kirana berada, setelah bertanya pada perawat yang berjaga.
Sesampainya di depan ruang inap, Dimas membuka pintu dengan gugup. Sepi, tidak ada satu pun yang terlihat di sana kecuali Kirana yang tergolek lemas di atas brangkar. Cewek itu menoleh saat mendengar derit pintu, menampilkan wajahnya yang pucat.
“Kiran, kamu sakit apa?” tanya Dimas setelah berada di samping brangkar. Tatapan matanya menelisik pada jarum infus yang menancap di tangan Kirana.
“Aku hanya kelelahan,” jawab Kirana tersenyum sendu.
“Kenapa tidak memberi kabar?” desak Dimas, tetapi Kirana hanya terdiam. “Aku mau minta maaf atas ucapanku waktu itu. Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
“Tidak perlu minta maaf. Aku senang mengetahui sudah berguna untukmu.”
Ucapan yang seharusnya bisa menenangkan hati Dimas itu, justru terasa menikam. Andai Kirana tahu, cewek itu selalu berguna untuk siapa saja dengan kelembutan hati yang dimilikinya. Kebodohan kedua orang tua Kiranalah yang membuat Kirana minder dan tertutup. Dimas memberanikan diri menggenggam tangan Kirana, berharap bisa memberikan kekuatan lebih untuk temannya itu. Agar selalu kuat menghadapi ujian terberat hidupnya.
Saat kedua orang tua Kirana muncul di ruangan itu, Dimas terpaksa pulang. Karena ia tidak ingin kehadirannya justru akan mempersulit Kirana. Tidak ada keramahan di wajah kedua orang tua Kirana, bahkan setelah Dimas menghilang. Luapan amarah Ayah Kirana, dimuntahkan tanpa basa-basi lagi.
“Sudah terbuktikan sekarang. Kirana bukan anakku, dia anakmu dengan selingkuhanmu itu!” cecar Ayah Kirana menuding Ibu Kirana.
“Itu tidak benar, Mas. Kirana anakmu, aku bersumpah! Aku tidak pernah selingkuh!” bantah Ibu Kirana.
“Lalu ini apa? Jelaskan bagaimana Kirana punya golongan darah AB, sedangkan keluarga kita semua bergolongan darah O.” Ayah Kirana menyodorkan kertas ke depan wajah Ibu Kirana.
“Tapi Kirana anakmu, Mas.” Ibu Kirana menangis sesenggukan, tidak tahan menanggung cercaan Ayah Kirana yang terus dilontarkan selama belasan tahun.
“Ayah…” Kirana menyela mencoba menenangkan pria paruh baya itu. Namun justru tamparan keras mendarat di pipinya, merobek bibirnya hingga meneteskan darah.
“Berani-beraninya kamu memanggilku ayah. Aku bukan ayahmu, dasar anak haram. Enyah saja kau ke neraka!” bentak Ayah Kirana lalu pergi meinggalkan tempat itu.
“Mas… Mas… tunggu….”
Ibu Kirana ikut menyusul tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera Kirana saat ini. Lelehan air mata Kirana membasahi pergelangan tangannya yang dibalut perban. Di balik perban itu, ada bekas sayatan cutter yang ia torehkan beberapa hari yang lalu. Saat ia pertama kalinya mengetahui alasan mengapa orang tuanya begitu membencinya, terutama ayahnya. Ia bukan anak yang diingkan kehadirannya karena hasil hubungan haram ibunya dulu. Kenyataan yang menghancurkan Kirana begitu telak, hingga tak sanggup menghadapinya lagi. Ternyata hari ini pun ia harus kembali tertoreh luka yang sama.
Kirana menyeka air mata, dengan pikiran kosong dicopotnya jarum imfus lalu melangkah keluar. Tidak untuk menyusul orang tuanya. Ia terlalu lelah menanggung rasa sakit ini, ia sudah tidak sanggup lagi. Tanpa menghiraukan orang-orang yang menatapnya keheranan, Kirana terus berjalan menjauh mencari tempat yang sunyi, yang bisa menenangkan hati.
*****
Di pinggir jalan yang sepi, Dimas memarkirkan motornya. Entah mengapa perasaannya tidak enak, rasanya ada sesuatu yang menahan agar ia tidak meninggalkan Kirana sendirian. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Dimas kembali berbalik ke rumah sakit. Ia tidak menemukan kedua orang tua Kirana di sana, bahkan Kirana pun sudah tidak berada di brangkar. Segera saja Dimas bertanya pada suster ke mana Kirana pergi, tetapi tidak seorang pun suster yang berjaga tahu kemana cewek itu pergi. Mereka hanya mengatakan mendengar pertengkaran kedua orang tua Kirana dan melihat keduanya pergi tanpa Kirana.
Dengan gusar Dimas mencari-cari Kirana ke segala penjuru rumah sakit. Sampai di lantai dasar, Dimas berpapasan dengan para suster yang melangkah terburu-buru. Dimas yang penasaran menghentikan salah satu suter untuk menanyakan apa yang terjadi. Saat mendengar suster itu menjawab ada salah satu pasien yang jatuh dari atas, jantung Dimas langsung berdegup kencang. Ia pun langsung berlari menuju lokasi memastikan apa yang dipikirkannya salah. Sesampainya di belakang gedung, tempat itu sudah banyak orang yang berkerumun. Menghalangi pandangan Dimas dari seseorang yag tergeletak di atas paving yang keras.
“Kiran…”
Napas Dimas tercekat begitu bisa menyeruak kerumunan itu. Orang yang baru saja ditemuinya, kini telah meregang nyawa, di atas darah yang menggenang. Dimas bersumpah, baru kali ini dia menangis. Ia terduduk lemas di samping Kirana yang memejamkan mata untuk selamanya. Panggilan demi panggilan Dimas sudah tidak berarti lagi, hanya seulas senyum yang menghiasi bibir Kirana yang menjadi salam terakhir. Untuk Dimas dan untuk dunia.
Pemakaman Kirana berlangsung singkat keesokan harinya. Teman-teman satu sekolahan memenuhi pemakaman untuk mengantar Kirana beristirahat untuk terakhir kali. Bu Mela dan Renata yang paling terlihat kehilangan. Berbanding terbalik dengan kedua orang tua Kirana. Ayah Kirana tampak tidak peduli, sedangkan Ibu Kirana terlihat lega. Kalau saja pundak Dimas tidak tertahan tangan ibunya, ia sudah menerjang pria yang paling bertanggung jawab atas kematian Kirana. Dalam kediamannya, Dimas mengutuk orang tua Kirana. Memaki siapa saja yang menutup mata atas penderitaan Kirana dan murka akan dirinya sendiri yang tidak sanggup melepaskan Kirana dari jeratan penderitaan. Kirana adalah korban keegoisan orang-orang disekelilingnya. Sebuah cahaya yang redup untuk menerangi orang-orang buta di sekitarnya.
*****
Beberapa bulan kemudian…
“Pak Hadi, ini tes kesehatan Anda. Silahkan diperiksa.”
Tanpa berminat, Hadi menerima kertas yang disodorkan dokter di depannya itu. Memeriksa sekilas tulisan-tulisan yang memenuhi kertas putih itu.
“Dokter. Sepertinya ada kekeliruan di sini. Golongan darah saya O, bukan AB.” Hadi menunjuk kolom golongan darah dengan protes.
“Kami sudah mengujinya di laboratorium, Pak. Tidak ada kekeliruan sama sekali di sana.”
“Tapi waktu SMP dulu, saya mengikuti tes golongan darah dan darah saya O,” terang Hadi ngotot.
“Mungkin ada kekeliruan informasi saat itu, Pak. Meskipun jarang terjadi, terkadang petugas medis yang mengurus tes massal masih bisa keliru.”
Hadi diam seribu bahasa. Dilihatnya sekali lagi kertas di tangannya, huruf AB itu terasa semakin membesar sekarang. Membuatnya diserang sesak napas, seakan baru saja mendapat hantaman keras di dada.
“Kirana, maafkan ayah…”
--- Tamat ---