Neina membanting setumpuk kertas keatas ranjang. Siapa bilang menulis itu mudah. Bahkan sampai sekarang untuk menghasilkan satu paragraf saja susahnya setengah mati
Dia melirik setumpuk laporan keuangan yang tak tersentuh diatas meja. Sepertinya laporan itu yang lebih penting untuk dikerjakan. Dari pekerjaan sebagai tenaga administrasi keuangan itulah dia mendapat penghasilan.
"Ah...sialan!" kalau tadi membanting tumpukan kertas sekarang giliran tubuhnya dibanting diatas ranjang.
"Sepertinya aku harus menyerah untuk menulis sebuah cerita."
"Semua yang aku tulis sama sekali tidak menarik."
Wanita muda itu meringkas semua kertas yang bertebaran diatas ranjang. Meremasnya menjadi satu bola dan melemparkannya dalam kotak sampah di sudut ruangan.
"Bunuh saja mimpi ini."
Neina adalah seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun. Dia telah menyelesaikan pendidikan S-1 ekonominya dan sekarang sedang bekerja sebagai staf administrasi keuangan di sebuah perusahaan kecil.
Hidupnya sangat membosankan. Kerja, makan, buang air, tidur lalu kerja lagi. Berputar terus seperti itu tiap hari.
Mimpinya untuk berkeliling dunia sepertinya hanya tinggal mimpi.
Tadi pagi dia baru saja mengecek buku tabungan miliknya. Melihat isinya malah semakin membuatnya kecewa dan putus asa.
"Bagaimana bisa aku berkeliling dunia. Bahkan untuk keluar kota saja, tabunganku hanya cukup untuk menginap selama satu Minggu."
Mengapa dia ingin berkeliling dunia? Karena Neina ingin menjadi penulis besar. Merekam semua perjalanannya dalam rangkaian kata yang teruntai indah.
"Huh," menghembuskan napas kuat-kuat.
Neina memejamkan mata, dalam keadaan sadar dia melantunkan mantra menjadi sebuah doa.
"Tuhan...aku tahu kamu menciptakan setiap makhluk untuk kau cintai. Aku tahu engkau mendengar semua helaan napas bahkan suara-suara yang tak terdengar."
"Tapi Tuhan, apakah kau tak mendengar jeritanku...!" sambil berteriak.
"Aku ingin seperti mereka yang bebas membeli apa saja, bebas bepergian kemana saja. Mau beli sesuatu tanpa melirik tag harga."
"Aku ingin menuliskan hidupku dalam kisah yang indah, Tuhan."
"Bukan cerita tentang seorang wanita yang tinggal di kontrakan kumuh. Yang kamar mandinya harus menunggu setengah jam baru airnya surut."
"Tiap malam tiba-tiba harus membuka mata karena ada makhluk berwarna hitam berlarian di atas tempat tidurku."
"Jadi Tuhan, buktikan cintamu padaku. Biarkan aku hidup bahagia sesuai keinginan dan cita-citaku. Hmmm...please..." menangkupkan tangan di depan dada.
Tangan terus menengadah keatas di depan dada sampai akhirnya Neina tertidur.
Pagi ini hangat mentari menerobos dari kaca jendela yang retak. Bahkan mata Neina yang tertutup menyerap silaunya cahaya matahari.
Dengan malas dia memaksa dirinya untuk bangun. Menyeret kaki-kakinya yang seperti diikatkan beban yang membuat langkahnya makin berat.
Pintu kamar mandi yang retak sana-sini menciptakan pola tertentu yang sama sekali tidak indah. Sedikit saja retakan itu lebih lebar, lubangnya bisa digunakan untuk mencuri lihat siapa yang mandi di dalam.
Disambarnya handuk lebar tapi berwarna kusam dari sisi almari kayu yang reyot ke samping. Benar-benar menyebalkan.
Pagi ini dia harus menyerahkan laporan perhitungan pajak setelah audit yang dia kerjakan semalam. Setumpuk berkas menanti untuk dibawa.
Setelah mandi, menyisir rambut dan mematut diri di depan kaca, mengenakan satu-satunya baju yang pantas dipakai untuk menemui klien dia berangkat menuju kantor.
Neina selalu berangkat kerja dengan berjalan kaki. Tahu kenapa? karena dia sayang mengeluarkan uang untuk biaya transportasi. Lebih baik jalan kaki, lebih sehat. Meskipun debu jalanan adalah teman yang paling setia mengiringi perjalanannya.
Dia paling benci menemui klien dengan banyak berkas begini. Sepatu high heels yang wajib dipakai membuatnya kesulitan berjalan. Kenapa tadi dia tidak memasukkan berkas ini ke dalam tas plastik saja?
"Bodoh," menghentakkan kaki dan mengangkat berkas lebih keatas.
Tinggal sedikit lagi. Kantor sudah ada di depan mata. Sekilas dia melihat ke arah jam tangannya, tinggal beberapa menit lagi maka dia akan terlambat.
"Ah...ayolah, lama sekali lampu berubah menjadi hijau untuk pejalan kaki ini menyala."
Karena tergesa, Neina segera memacu langkah sesaat lampu hijau yang memperbolehkan pejalan kaki menyeberang menyala.
Setengah berlari dia membelah jalanan.
"Sepatu ini benar-benar mengganggu."
Ketika trotoar seberang jalan tinggal selangkah lagi, tiba-tiba Neina tidak bisa menggerakkan kakinya.
"Apa-apaan ini?!"
"Hei."
Dia tarik kaki itu sekuat tenaga. Tepat ketika kakinya lepas dari lubang selokan. Suara klakson sebuah mobil nyaring terdengar.
Disusul kemudian teriakan keras seorang wanita terdengar dan...
"Brak..." benturan keras pun terjadi. Tubuh Neina terpental keras dan jatuh di jalanan, darah menggenang dimana-mana...
Pejalan kaki riuh bergerombol. Terdengar suara bersahut-sahutan.
"Hei, jangan hanya kau rekam saja dengan hape mu, bantu dia!"
Teriak seorang lelaki bersuara bariton marah.
"Tolong wanita itu. Aku takut dengan darah."
Salah satu wanita setengah tua berteriak tapi dia sendiri butuh pertolongan karena pingsan.
Sopir mobil boks yang menabraknya rupanya lelaki yang bertanggung jawab, dia berhenti dan turun. Menelepon ambulans dan polisi agar wanita yang ditabraknya mendapat pertolongan.
"Bertanggung jawablah," teriak salah seorang yang ada disitu.
Lamat-lamat Neina masih mendengar semuanya. Sampai entah pada menit ke berapa pendengarannya menjauh dan semuanya berubah sunyi.
Neina membuka matanya perlahan. Kenapa matanya silau sekali. Dia ingat betul tubuhnya terpental karena tertabrak mobil boks tadi pagi.
"Dimana sekarang aku, kenapa tempat ini sama sekali tidak aku kenali?"
"Nona, segeralah bersiap-siap, jadwal kita pagi ini padat sekali. Nona harus bertemu wartawan untuk promo launching buku terbaru pagi ini."
Lelaki gemulai itu menyampirkan handuk mandi di lengan tangannya.
"Ini untuk saya?" Neina ragu mengambil handuk itu dari lelaki yang ada di depannya.
"Maaf Nona, jangan membuat ulah lagi. Anda sudah sering menyulitkan saya dengan tingkah manja anda Nona."
Makin bingunglah Neina.
"Saya...manja?"
"Kapan?" berpikir keras, "ah, maksud saya sejak kapan saya menjadi perempuan manja?"
Enak saja kalau bicara.
"Hei lelaki gemulai..." menunjuk tepat di dada lelaki itu dengan jemarinya.
"Saya bukan perempuan manja. Asal kamu tahu, saya harus selalu bekerja keras selama hidup saya."
Neina mengedarkan pandangan. Lalu menangkap tatapan aneh lelaki di depannya.
"Sekarang kamu jelaskan sama saya. Apa kamu menculik saya?"
"Kembalikan semua berkas milik saya. Kalau saya terlambat kerja saya bisa dipecat dan saya akan jadi gelandangan."
Neina berjalan memutar mengelilingi ruangan sambil terus mengoceh. Sementara lelaki itu mengekor di belakang seperti sudah biasa mengalami hal ini.
"Maaf, Nona. Kali ini dengarkan saya, segera mandi karena kita harus segera berangkat."
"Hei...!!" berteriak menunjuk hidung lelaki cantik itu.
"Jangan mengatur saya!"
Neina kembali mengitari ruangan, "lagi pula ini rumahnya siapa sih. Rumah ini membuatku pusing saja. Mana pintu keluarnya coba!"
"Aku harus keluar dari sini!" mulai naik darah. Memegang kerah baju lelaki gemulai itu dan mengangkatnya sedikit keatas.
"Oh...ayolah Nona. Jangan bercanda!"
"Tentu saja rumah ini milik Nona. Bahkan sudah beberapa tahun Nona tinggal disini. Nona sendiri yang mendesain rumah ini. Memang susah untuk keluar karena rumah dikelilingi kaca. Tapi waktu itu Nona sendiri bilang..."
Melepaskan tangan Neina perlahan kemudian memperbaiki letak kerah bajunya.
"Biar kalau ada pencuri masuk tidak bisa keluar, Ce.." menirukan dengan suara lucu.
"Hei laki-laki jadi-jadian...eh bukan, perempuan jadi-jadian. Sejak kapan aku punya rumah Segede dan semewah ini!" berteriak sampai suaranya serak.
"Baiklah Nona, saya sudah cukup bersabar."
Lelaki gemulai itu mendorong Neina masuk ke kamar mandi, melepas pakaian Neina dengan paksa lalu menggendong dan menceburkannya ke dalam bath tub.
"Woi...orang gila!! meskipun kamu jadian jadian kamu itu laki-laki. Gila apa kamu!!"
"Kamu menelanjangi aku sialan!!" teriak-teriak tidak karuan.
"Lihat, kamu bahkan kuat menggendongku cuman untuk menceburkan aku dalam bak mandi ini!!"
"Sialan kamu, woiiii...setannnn!"
Teriakan memekakkan telinga itu, seperti angin sepoi di telinga lelaki jadian itu.
"Saya Mince, Nona. Begitu biasa Nona memanggil saya."
Lelaki itu mendekati Neina yang ada dalam bak mandi dan sedang bingung menutupi anggota tubuh rahasianya.
"Kalau Nona masih berontak. Saya bahkan sanggup memperkosa Nona."
Berbisik dengan suara berat asli miliknya.
Neina langsung diam. Tangannya menyilang di depan dada dan sisa tubuhnya di tenggelamkan dalam air sabun yang pekat—dan itu membuat tubuh bawahnya tidak kelihatan.
"Kalau sudah selesai, silahkan Nona ke ruang kostum dan pakai apa saja yang saya sediakan."
"Woi...!"
"Iya Nona?" membalikkan badan dan menatap Neina dengan pandangan tegas.
"Dimana ruang kostumnya?" tanya Neina perlahan.
"Ikuti saja lorong di depan yang ke arah kiri."
Neina mengangguk dan melanjutkan mandinya.
Wow...ini rumahnya? Bagaimana bisa ini menjadi rumahnya? Kamar mandinya saja seluas rumah ibu pemilik kontrakan. Semua dikelilingi kaca. Kemanapun dia memandang, dia bisa melihat bayangannya sendiri.
"Sialan kamu Na, narsis juga kamu rupanya," tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.
Semua isi kamar mandinya ini adalah barang mewah dan berkilat.
"Tunggu dulu, kalau ini semua milikku berarti aku adalah...aaaaaa," menendang-nendang dalam air sambil tertawa lebar, "hahaha...aku kaya...aku kaya...hahaha."
Baiklah, aku sekarang orang kaya. Jadi aku harus bersikap seperti orang kaya. Peduli setan dari mana aku mendapatkan kekayaan ini.
Tunggu...tunggu, dia tadi bilang akan ada launching buku baru?
Neina melompat keluar, menyambar handuk mandi dan melilitkannya menutup tubuh. Berjalan cepat ke arah ruang kostum sesuai petunjuk Mince si lelaki gemulai.
Benar saja lelaki itu ada di dalam. Di atas etalase kaca setinggi pinggang sudah siap berjajar baju yang harus dipakai Neina.
Atasan berwarna pink cerah. Neina menyentuh kainnya, mmm...bahannya lembut, pasti mahal.
Di sebelah atasan ada celana pensil yang di setrika halus berwarna peach, perpaduan yang bagus.
Ada syal motif bunga yang memberi kesan hangat dan sebuah tali pinggang kecil berwarna keemasan.
Di bawah berjajar sepasang sepatu warna kulit yang cantik.
"Silahkan bersiap Nona, saya tunggu di ruang rias."
Ruang rias, mana lagi itu.
"Hai..."
"Iya Nona?!" membungkukkan badannya sedikit.
"Mmm...dimana ruang riasnya?" bertanya ragu-ragu.
Mince menunjuk satu ruangan yang tersembunyi dibalik kaca. Sebenarnya tidak tersembunyi sih, hanya kacanya saja memantulkan bayangannya sendiri.
Neina menuju ruang rias sambil menjinjing sepatu di satu tangannya.
Dia melihat semua orang yang ada disitu saling bisik sambil tertawa kecil.
Mince mendekat dan mengambil sepatu itu dari tangan Neina.
"Tidak biasanya Nona membawa sepatu Nona sendiri."
Wah bahkan karpet dibawah kakinya terasa tebal dan lembut.
Neina duduk di kursi yang disediakan di depan cermin. Para penata rambut dan bagian make up menyentuh wajahnya takut-takut.
Karena heran Neina melambaikan tangan memanggil Mince. Yang dipanggil mendekat hampir menempelkan telinganya karena sang Nona memintanya mendekat lagi dan lagi.
"Apa mereka takut padaku?" bisik Neina.
Mince mengangguk.
"Kenapa?" bertanya masih dengan berbisik.
Mince mengendikkan bahu, "Nona akan tahu sendiri sebentar lagi."
"Aw...hei, sakit tahu!" berteriak karena kulit kepalanya sakit akibat rambut yang tertarik sisir.
"Maafkan kami Nona...maafkan kami," semua yang ada disitu membungkuk bersamaan, tidak berani mengangkat wajahnya.
"Karena itu Nona," bisik Mince pada dirinya sendiri.
Neina terkejut tapi segera menguasai diri, "lupakan...lanjutkan tugas kalian."
Meskipun banyak drama akhirnya acara rias-merias itu selesai.
Neina mematut dirinya di depan kaca. Ternyata cantik juga wajahnya kalau dirias begini.
"Perutku lapar..." bisik Neina pada Mince saat keduanya berjalan menuju pintu keluar, "apa kita tidak bisa makan dulu?" lanjutnya lagi.
"Maaf Nona, anda terlalu banyak drama pagi ini. Kita tidak punya waktu untuk makan pagi."
Ah...ingin nangis rasanya, setelah kaya pun makan juga sama susahnya. Bedanya kalau waktu itu tidak ada yang dimakan, kali ini tidak ada waktu untuk makan.
"Sialan!" runtuk Neina dalam hati.
Di depan pintu ada sebuah mobil mewah berwarna hitam yang menunggu. Neina tidak segera masuk, tapi berdiri sambil tengok kanan kiri.
"Kita naik apa?"
"Ah, ayolah Nona. Anda melelahkan sekali pagi ini."
Neina memandang takjub mobil di depannya. Jangan-jangan...
Dia menunjuk mobil sambil memberi kode tanpa suara. Dan Mince mengangguk pasti.
"Aaaa...," mulut Neina terbuka lebar dengan mata berbinar.
"Ayo," ditariknya tangan Mince ketika pintu mobil itu terbuka dengan sendirinya.
Tuhan...sepertinya engkau mendengar doaku.
"Hihihi..." tertawa sendiri.
Di dalam mobil suasananya sunyi. Tidak ada yang berkomunikasi selama perjalanan. Kesunyian itu membuat pikiran Neina menerawang.
Pagi itu aku mati kan. Harusnya aku mati. Aku tidak ingat apapun tentang peristiwa setelah kecelakaan.
Sekarang dia bangun dengan kondisi jauh berbeda. Rumah mewah, mobil mewah, kekayaan dan dia sekarang adalah seorang penulis terkenal. Paling tidak seperti itu lah kesimpulan dari yang dia dengar sekilas dari Mince.
Dalam diam dia memandang wajahnya yang terpantul dari kaca spion.
Ini wajahku, persis aku...
"Kenapa Nona. Wajahnya disentuh terus dari tadi," ujar Mince.
Neina menggeleng, tidak ingin semua pertanyaan dan keraguannya di dengar orang lain.
"Saya akan menceritakan sejarah hidup Nona lagi dan lagi, setiap kali Nona lupa," berbisik dan tersenyum menenangkan.
Apakah aku sering seperti ini. Sering lupa begini.
Mobil membawa mereka ke sebuah mall besar yang berada di pusat kota.
Ketika pintu terbuka. Para wartawan berkumpul tepat di depannya. Beberapa orang tinggi besar menyeruak dalam kerumuman dan memberinya jalan khusus. Mince yang lemah gemulai berubah kuat disaat yang tepat.
Tangan Neina di tariknya dan membawa tubuh wanita itu dalam perlindungannya.
"Tetap di depan saya Nona."
Neina mengangguk, kemana semua kekerasan hatinya. Dia menjadi lunak dan sedikit takut dengan kerumunan yang ada di depannya.
Dalam mall sudah disediakan sebuah meja dan buku yang berjajar ditata rapi. Beberapa banner yang memuat gambarnya dipajang dalam ukuran besar.
Tuhan apakah aku benar-benar menjadi seorang penulis. Sedikit air mata menetes di pipinya, di sela-sela senyum yang terkembang. Dan tanpa diduga Mince menyodorkan sehelai sapu tangan tepat di depan wajahnya.
Mince mengangguk. Wajahnya seperti berucap, semua akan baik-baik saja, ada aku disini.
"Nona tidak perlu mengatakan apapun, saya yang akan menjawab semua pertanyaan."
"Nona hanya harus melayani penggemar dengan menandatangani buku yang mereka bawa," bisik Mince, wanita itu mengangguk.
Neina memandang Mince lekat, ah Mince...kenapa lelaki setampan dan segagah kamu harus dipanggil Mince sih...
Setelah setiap orang menempati posisinya masing-masing. Wartawan mulai mengajukan pertanyaan.
"Maaf Nona Neina, apa yang ingin anda sampaikan dalam buku ini untuk penggemar anda?"
"Sama seperti yang buku-buku sebelumnya. Nona Neina menuliskan tentang perjalanannya. Kalau biasanya dia menulis kisah perjalanan dunia kali ini dia menuliskan sebuah perjalanan spiritual."
Mince menepati janjinya. Neina hanya memandang lelaki itu selama dia menjawab.
"Mmm...siapa yang menjadi inspirasi dari cerita anda kali ini, apakah dari pengalaman pribadi anda, apakah anda pernah mengalami sebuah kematian. Karena kisah didalamnya begitu dalam dan begitu detail seperti pengalaman pribadi."
"Kami tidak bisa menjawab hal itu. Itu menjadi privasi penulis," jawab Mince tegas.
"Satu pertanyaan lagi..." teriak seorang pencari berita.
"Maaf waktu wawancara telah usai."
"Maaf tuan satu lagi...satu lagi," teriak wartawan yang sama.
Mince menghela napas, "baik satu pertanyaan saja."
"Mengapa Nona Neina tidak pernah menjawab sendiri tiap pertanyaan yang diajukan oleh wartawan?" teriak wartawan itu.
Mince menjawab singkat, "karena saya dibayar untuk itu."
"Terimakasih."
Kru yang dibawa Mince kembali bergerak. Para body guard melindungi Neina berjalan menuju meja tempat dia akan memberikan tanda tangannya. Sedangkan Mince sendiri berdiri tepat di belakang Neina sambil melayani semua keinginan penggemar. Tugas Neina hanya satu, menandatangani buku.
Melelahkan tapi menyenangkan. Setelah acara jumpa fans usai, Neina gagal menghapus senyum dari wajahnya.
"Nona bahagia?"
"Sangat."
Lalu dia memandang Mince lekat sekali lagi, "aku tidak tahu bagaimana hubungan kita selama ini. Tapi aku yakin kamu adalah yang terbaik. Dan yang menyimpan semua rahasia hidupku."
"Apakah aku perlu mengetahui sejarah hidupku?" tanya Neina memasang wajah serius, tidak ada nada bercanda sama sekali.
"Tidak perlu Nona."
Biarkan itu menjadi rahasia saya Nona. Anda tidak perlu mengingat bagaimana anda mengalami kecelakaan dan hidup kembali sebagai orang lain. Bagaimana Nona memulai segalanya dari awal dengan kerja keras penuh darah dan air mata. Saya akan selalu setia di sisi anda. Tanpa syarat.
"Aku ingin ke luar negeri," ucap Neina selanjutnya.
"Sebutkan saja Nona mau kemana. Akan saya siapkan segala sesuatunya."
"Dan saya harap Nona bersikap manis seperti ini setiap waktu."
Neina mendelik, "memang biasanya aku bersikap seperti apa hah?"
Sambil berbisik Mince menjawab, "seperti sekarang Nona. Berteriak dan bersikap semaunya."
Berbahagialah selalu Nona, nikmati hasil kerja kerasmu setelah sekian lama.
***