Kupejamkan mata menikmati alunan nada murottal yang dilantunkan seorang ustadz muda di pondok tempatku mengikuti sebuah kegiatan pesantren kilat. Walaupun hanya singkat, tapi banyak ilmu yang didapat.
Satu Minggu ke depan kami akan ditemani oleh seorang ustadz muda yang tampannya tak tertandingi. Firman namanya, asal Jakarta. Jebolan pondok pesantren ternama di kota Jawa Timur sana.
Setiap malam, kami selalu ditemani suaranya yang merdu lagi syahdu melantunkan ayat demi ayat dari kitab suci yang kami kaji setiap hari. Larut dalam buai hayalan, seandainya dia jodohku.
Ah ... ustadz Firman, kamu idola banget.
"Nur!" Laila datang mengagetkanku, aku mendelik saat melihatnya tersenyum menggoda.
"Hayo ngapain? Pasti lagi bayangin ustadz Firman, ya? Emang kamu doang yang ngehayal jadi bininya tu ustadz? Kita-kita juga kaleee," cibir Laila melirik genit pada Sari yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu pun sama mencibirkan bibir mendukung kalimat Laila yang menyinggung perasaanku. Aku berdecih, berusaha tak acuh, tapi mereka sahabatku.
"Iya, deh. Kalian juga boleh ngehayal jadi bininya. Cuma mimpi, 'kan? Nggak bikin aku rugi." Aku terkekeh melihat wajah masam mereka.
"Heh, mimpi aja terus! Emang kalian itu, sok kecantikan. Dasar genit, ustadz Firman itu calon suami aku. Nggak usah mimpi, deh, buat jadi istrinya. Iya nggak?" Nuri tiba-tiba datang bergabung dalam obrolan kami.
Dia gadis yang sedikit sombong, selalu mencari perhatian ustadz muda itu agar dilirik. Padahal, ustadz Firman sama sekali tak pernah mengindahkannya.
"Emang kamu sendiri udah yakin, ustadz Firman itu bakal mau jadi suami kamu? Dilirik aja nggak? Geer iya," cibirku tak tahan melihat wajah congkaknya yang selalu terpasang dan kerap merendahkan orang lain.
Nuri menggeram, kulirik kedua tangannya terkepal mungkin kesal denganku. Biar saja. Siapa suruh ngagul di depanku. Aku muak melihat tingkahnya yang selangit. Semua yang dia inginkan harus dia dapatkan, bagaimanapun caranya. Jika semua orang pasrah dan menurut saja padanya, maka aku tidak. No way! Tidak akan aku biarkan orang lain merendahkan aku apalagi menindas harga diriku.
"Kamu memang sombong, Nur. Selalu mencela apa yang aku dapatkan. Kamu sirik, 'kan, sama aku? Aku yang cantik dan disukai banyak orang, termasuk ustadz tampan itu. Hei, inget, ya. Sirik itu tanda tak mampu," ucap Nuri dengan lisannya yang tajam setajam silet seperti biasa.
"Oh, Nuri! Kamu mirip kak Rose, presenter silet. Mulutmu tajam setajam silet," ucapku disambut gelak tawa oleh Laila dan Sari.
Lihat! Wajah Nuri sudah merah padam. Aku yakin, emosi sudah berada di ubun-ubun kepalanya. Siapa peduli!
"Pergi, yuk! Gerah di sini!" ajakku yang diangguki Laila dan Sari, "by, Nuri! Selamat menikmati alam hayalmu!" Kulambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Dia mendengus.
Tawa terus berlanjut di bawah tatapan tajam mata gadis angkuh itu. Sekilas kulihat matanya berkilat penuh amarah. Langkah kami terus berlanjut semakin jauh dari aula tempatku menikmati suara merdu tadi. Tiba-tiba ....
Brugh!
"Argh!" Aku memekik tanpa sadar saat bokongku mendarat dengan keras di atas rumput. Oleh karena tidak memperhatikan jalan, aku tak sengaja menabrak seseorang. Oh, di mana Laila dan Sari? Kenapa mereka meninggalkan aku?
"Kamu tidak apa-apa?" tanya sebuah suara yang membuat darahku berdesir.
Suara itu, suara lembut yang mengalun mengetuk telingaku. Cepat-cepat aku mendongak hingga tanpa sadar mulutku terbuka lebar saat mendapati wajah teduh yang sedang menatapku.
Ia membungkuk, membuat jarak beberapa jengkal saja dengan wajahku. Tubuhnya harum kesturi, aku terbuai dan hanyut dalam pesona sang ustadz muda. Lidahku kelu, napasku tercekat di tenggorokan. Tak tahu harus apa? Ini terlalu dekat, rasa hangat menjalar di pipi hingga ke telinga. Ada apa denganku? Aku gugup.
"Nur! Kamu tidak apa-apa?" Sekali lagi suara itu mengalun mengoyak segala rasa dalam hatiku. Oh, apakah aku masih bisa bertemu dengannya setelah kegiatan ini selesai? Kuharap aku dan dia berjodoh hingga kami akan dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik.
"Nur! Kok, melamun? Ada yang sakit tidak?" Aku gelagapan saat mendengar suara itu untuk yang ketiga kalinya.
Dengan cepat kuputuskan pandangan, menghindari tatapan matanya yang menghanyutkan. Aku mabuk kepayang, Tuhan! Makhluk-Mu yang satu ini sangat sempurna nyaris tak memiliki cacat.
Wajah yang tegas, mata lebar nan menawan dibingkai alis lebat yang hitam. Hidung bangir mempesona, ditambah bibir seksi yang merah alami. Satu nilai plus untuknya, dia tidak merokok. Idola banget, sumpah!
"A-aku ... ng-nggak apa-apa, Ustadz." Aku memaksa lidah untuk berucap kata meski terbata karena terasa kelu. Kulirik ia tersenyum, manisnya mematikan. Jantungku ... tak dapat berkompromi. Dia berdebar, memukul-mukul rongga dada hendak keluar. Astaga! Mati aku!
"Syukurlah! Ayo, cepat bangun! Khawatir ada kotoran dan menempel di rukuh kamu," katanya lagi sambil menegakkan tubuh.
Ah, aku terperanjat. Gegas melihat sekitar, dan benar aku sedang menduduki rumput.
"Astaghfirullah!" pekikku tanpa sadar sambil berdiri cepat dan menepuk-nepuk bagian belakang.
"Sudah malam. Baiknya anak gadis jangan berada di luar nanti ada yang nyulik," katanya menggoda. Eh, dia bisa menggoda anak gadis orang.
Aku tersenyum lantas membalas gurauannya, "Tak apa diculik. Kalo yang nyulik Bang Ustadz ganteng." Aku terkekeh sambil membawa langkah meninggalkan ustadz Firman yang masih berdiri di sana.
Takut-takut kulirik, dan dia tersenyum sambil terus menatapku. Kubuang pandangan, ketahuan, deh. Debaran jantungku masih terasa kuat. Kutekan bagian itu agar tidak membuatku mati berdiri. Aku tidak mau mati muda, setidaknya biarkan aku menikah dengan ustadz Firman dulu! Ah, konyol!
"Dari mana? Lama banget!" tanya Laila dan Sari yang memicingkan mata curiga padaku. Aku mendengus, aku kesal pada mereka berdua yang meninggalkan aku sendiri tadi.
"Abis tabrakan," sahutku asal.
"Eh ... beneran? Kamu tabrakan ama siapa? Jangan-jangan ...."
Kedua mata mereka melirik perutku. Apa-apaan itu?
"Kenapa kalian melihat perutku?" Aku tak senang seraya menutupi bagian perut agar mereka tak lagi menatapnya.
Namun, secara tiba-tiba, mereka berdua mendekat. Menarikku ke dalam kamar mandi dan berbisik-bisik. Apaan, sih?
"Kamu nggak hamil, 'kan?"
"Hamil? Gila! Siapa yang hamilin aku?" pekikku tak senang saat Sari bertanya demikian.
"Kamu bilang tadi abis tabrakan ... bukannya itu artinya kamu sama laki-laki begini ...." Dia menautkan kedua jari telunjuknya membentuk simbol yang aku sendiri tidak faham.
"Jangan ngaco! Aku tabrakan sama ustadz Firman tadi-"
"Hah, ustadz Firman!"
"Aduh, gimana ini?"
"Gimana kalo kamu hamil, terus tu ustadz nggak mau tanggung jawab. Kita, 'kan, nggak tahu di mana rumahnya." Laila seketika panik. Apaan, sih, mereka ini?
"Apa-apaan, sih, kalian. Siapa juga yang hamil? Aku jatuh tadi tabrakan ama ustadz Firman. Kalian, sih, ninggalin aku." Kutinggalkan mereka berdua di kamar mandi dan membawa langkah ke asrama.
Rupanya, Sari dan Laila tak henti mencecar ku. Mereka menuntut aku bercerita tentang kejadian naas sekaligus menguntungkan untukku itu. Terpaksa kubagi kebahagiaan bersama mereka, sekaligus membuat keduanya ternganga cemburu. Biar saja.
Satu Minggu berlalu, kami pun harus berpisah. Berat rasanya, tapi itulah ketentuan. Di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Yang paling berat adalah berpisah dengan my lovely ustadz Firman. Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya di lain tempat.
"Nur!" Suara ustadz Firman memanggil. Aku yang sedang menunggu jemputan menoleh ke arahnya. Ia mengenakan kaos polos berwarna hitam, lengannya yang pendek mengekspos kulit putihnya yang bersinar. Ia juga tidak mengenakan sarung, entah kenapa? Ustadz Firman terlihat keren dengan balutan jeans yang memperlihatkan kaki panjangnya.
"Ustadz? Mau pulang juga?" tanyaku saat melihat ia menyimpan tas di atas bangku samping tempatku duduk.
"Iya, kebetulan orang tua saya menyusul. Jadi, sekalian saja pulang hari ini. Toh, sudah tidak ada yang dilakukan lagi di sini," katanya seraya duduk di samping tas yang ia letakkan.
"Ekhem! Ustadz ... ini buat ustadz sebagai kenang-kenangan. Terima, ya." Nuri datang tiba-tiba menyodorkan sebuah bingkisan yang dibungkus rapi dan diberi pita berwarna merah. Cari perhatian.
"Terima kasih." Singkat saja, ustadz Firman tersenyum dan tak lagi menganggapi usai menerima hadiah tersebut.
Kupalingkan wajah saat deru motor milik Bapak mengusik telinga.
"Ustadz. Saya duluan, jemputan sudah datang. Assalamualaikum!" pamitku padanya. Kulirik Nuri yang mencibirkan bibir. Ugh ... kesalnya! Untung puasa.
"Iya, hati-hati. Wa'alaikumussalaam!"
Kukayuh langkah menjauh dari bangku, meninggalkan sang idola yang membuatku tergila-gila selama kegiatan itu. Bapak sudah menunggu di motor. Tiba-tiba ....
"Nur!" Ustadz Firman memanggil, aku berbalik dan mendapatinya tersenyum manis, "semoga kita bertemu lagi," katanya penuh harap.
Kiterbitkan senyum, senang luar biasa. Ternyata, doanya dan doaku sama semoga kami dapat bertemu lagi.
Kuanggukkan kepala cepat dengan senyum tertahan di bibir. "Aamiin." Gegas aku berlari menghampiri Bapak yang sudah meracau memanggilku.
"Bapak!" Kulambaikan tangan padanya, gadis di samping ustadz Firman berwajah masam.
Tiga hari berlalu, kudengar rumah kosong di samping rumahku sudah terisi. Mereka pindahan dari Jakarta. Mengingat kota itu, aku teringat ustadz Firman saat kegiatan pesantren kilat beberapa hari yang lalu.
"Apa yang pindah di samping itu ustadz Firman, ya?" Aku terkekeh sendiri sambil berharap itu benar.
"Kenapa kamu ketawa-ketawa? Kaya kesetanan," tegur Bapak dengan raut wajah tak sedap dipandang.
Aku tersenyum lebar, mendekati Bapak dan merangkul tangannya.
"Pak, siapa yang pindah ke rumah samping? Udah lama?" tanyaku ingin tahu.
"Idih, ketinggalan berita. Mereka udah dua bulan yang lalu ngisi rumah itu, cuma jarang keluar," ucap Bapak sukses membuatku mengerutkan dahi.
"Dari Jakarta?"
"Hooh, Bapak denger dia ustadz. Masih muda, ngajinya pinter." Aku membeliak mendengar penuturan Bapak.
Gegas kuberlari keluar rumah. Entah kenapa firasatku mengatakan, tetangga itu adalah ustadz Firman. Tepat setelah aku keluar rumah, seorang pemuda keluar dari rumah tersebut. Aku menutup mulutku tak percaya, dia ustadz Firman!
"Ustadz!" pekikku tanpa sadar dengan suara melengking.
Ia menoleh dan mengernyit, detik kemudian tersenyum senang melihatku.
"Nur?"
"Ternyata kita tetanggaan!" pekik kami berdua seraya tertawa bersama.