17+
____
"Dari awal aku melihatnya, aku ingin memilikinya."
***
"Aku merasa sudah cantik, tapi mengapa dia tidak melirikku sama sekali?" monolog Ara seraya menatap diri sendiri di cermin.
Ara sudah menyukai seorang lelaki yang bernama Bagaskara sejak ia duduk di bangku SMA, hanya saja pria dingin itu tidak pernah meliriknya. Atau mungkin, Ara sendiri yang terlalu berharap
Lalu saat ini, Ara sudah menginjak perkuliahan. Ara sangat bahagia karena Bagas berkuliah di Universitas yang sama dengannya, banyak kesempatan untuk mendekati pria itu. Tetapi ... tetap saja, cintanya terlalu sepihak.
Ara menghela nafas gusar. Ia keluar dari toilet dengan ekspresi lesu.
Bug!
Saat Ara berada di luar toilet, ia menabrak sesuatu yang keras hingga ia terpental mundur. Sebelum jatuh, tangannya di tarik, seluruh tubuhnya ikut tertarik dan masuk ke dalam pelukan seseorang. Pinggangnya di lilit erat. Ara yang syok dan terkejut, tiba-tiba mencium aroma familier yang di sukainya. Jantung Ara berdegup kencang.
Saat mendongak, matanya bersitatap dengan seorang pria yang sangat ia sukai sejak lama. Mata Ara membulat hingga mulutnya ikut menganga. Tangannya yang bertumpu di dada lebar pria itu terkepal.
Setelah beberapa detik saling menatap, Ara langsung menjauh dengan wajah memerah. "Ah! Ma-maafkan aku!"
Bagas menatap Ara tanpa ekspresi apapun di wajahnya. Lalu, ia melenggang pergi begitu saja. Melihat punggungnya sudah menjauh, tubuh Ara luruh seketika. Ia bersandar mencoba menopang tubuhnya yang gemetar, detak jantungnya sangat kencang, wajah Ara masih memerah karena kegembiraan.
"Mimpi apa aku semalam?" Ara menggigit bibirnya menahan jeritan. Ara menangkup pipinya dengan senyum cerah. "Oh, Tuhan. Aku memeluknya! Aku di peluknya!!"
***
"Ara, aku ingin meminta bantuanmu."
Ara menoleh kepada wanita itu. "Apa itu?"
Dia menatap Ara dengan malu. "Maukah kamu membantuku mengantarkan surat ini kepada Allen?"
Ara menatap surat itu dan mengangguk. "Baiklah." Ara mengambil surat itu.
"Terima kasih."
"Oke."
Allen adalah teman sejurusan yang cukup dekat dengannya, jadi Ara tidak keberatan. Karena Allen tidak ada di kelas, Ara menyimpan surat itu di meja Allen.
"Itu surat cinta darimu?" tanya teman dekat Ara--Risa.
Ara memelototinya. "Tentu saja bukan."
"Oh, aku kira kamu sudah move on dari Bagas dan mulai mengincar Allen." Risa menggodanya.
Ara memukul pelan lengan Risa. Ia melirik ke belakang yang terdapat Bagas dan berbisik. "Aku masih menyukainya."
***
"Apakah kamu yang meletakkan surat itu di sini?"
Ara mendongak dan melihat Allen yang memegang surat tadi. Ia mengangguk.
"Ini surat darimu?"
Ara menggeleng. "Bukan. Tadi ada seseorang yang menitipkannya kepadaku."
Allen duduk di bangku kosong di depan Ara. Wajah tampannya di penuhi senyuman. "Benarkah?"
"Ya."
"Itu bukan alasanmu, kan?"
Ara menatapnya bingung. "Alasan apa?"
"Bilang saja surat ini darimu, dan kamu menggunakan alasan itu agar surat ini tersampaikan padaku," kata Allen dengan percaya diri.
Ana terkejut. "Tidak! Surat itu benar-benar dari orang lain!"
Allen terdiam. Semua orang di kelas sudah keluar, hanya ada tiga orang lagu. Yaitu Ara, Allen, dan ... Bagas di bangku paling belakang. Entah apa yang dia lakukan, pria itu menunduk diam.
"Aku pernah mendengar bahwa kamu menyukaiku, dan sekarang dengan jujur aku mengakuinya, bahwa aku menyukaimu juga. Maukah kamu menjadi pacarku?"
Mata Ara terbelalak. Orang yang di sukainya adalah Bagas, tetapi ia selalu menutupinya seolah orang yang di sukai ia adalah Allen. Dan gosip itu tidak asing lagi. Ara tidak pernah menduga Allen akan menganggap ini serius.
Tanpa memperdulikan fakta bahwa di ruangan itu masih ada seseorang yang lain, Allen langsung berdiri dan mendekati Ara saat melihatnya terdiam linglung. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Ara. "Kamu juga menyukaiku, kan?"
Ara tersentak dan baru menyadari Allen sangat dekat dengannya. Ia bisa melihat senyum nakal Allen yang tersemat di bibirnya. "Ara--"
Tiba-tiba merah baju Allen di tarik ke belakang hingga menjauh dari Ara.
"Jangan menghalangi jalanku." Suara dingin itu menyadarkan Ara yang tercengang. Ia menatap Bagas yang menatap Allen dingin, lalu pria itu keluar kelas dengan tas di bahunya.
Ara merapikan alat tulisnya dan memandang Allen yang menggertakkan gigi menatap kepergian Bagas dengan geram. "Allen, maafkan aku. Aku sama sekali tidak menyukaimu, dan aku tidak mau menjadi pacarmu karena aku mempunyai seseorang yang ku suka. Aku pulang dahulu, sampai jumpa."
***
Di malam hari, seperti biasa, Ara akan menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan Bagas di buku hariannya. Apalagi momen kecil yang membuat hatinya gembira.
Tadi siang, tindakan Bagas sangat berguna baginya karena menyelamatkannya dari desakan Allen. Ara menuliskan di buku seolah-olah Bagas cemburu karena ada pria lain yang menembaknya. Setelahnya, Ara tersenyum puas. Ia mengunci buku hariannya dan terbaring untuk tidur.
Saat nafas Ara berangsur-angsur tenang dan tertidur, jendela kamarnya tiba-tiba terbuka. Setelah beberapa saat, seseorang berhoodie hitam masuk. Langkah kakinya mendekati gadis yang terlelap di ranjang.
Tudung hoodie yang menutupi kepalanya di buka menampilkan seorang pria tampan tanpa ekspresi. Dia Bagas.
Bagas ikut membaringkan tubuhnya di samping Ara dan memeluk seluruh tubuh gadis itu ke dekapannya. Mencium aroma manis darinya, hati yang kacau berangsur-angsur tenang.
Ara miliknya. Tidak ada siapapun yang bisa merebut Ara darinya.
Kehidupan Bagas sangat monoton. Temperamennya yang acuh tak acuh di milikinya sejak kecil. Tidak ada kasih sayang keluarga yang ia rasakan. Pertemuannya dengan Ara membuat semangatnya bangkit. Sejak saat itu, ia harap Ara hanya miliknya, di peluk ke dalam pelukannya. Bagas selalu cemburu jika ada pria lain yang mendekatinya.
Setelah menyaksikan Allen menembak Ara di hadapannya, dada Bagas terbakar karena cemburu. Ia tidak tahu, apakah Ara menerimanya? Bagas tidak mau tahu jawaban itu. Jika ya, maka dia akan semakin gila.
Setelah memeluk gadis ini, Bagas berangsur-angsur tenang. Tidak apa-apa. Suatu saat, Ara pasti menjadi milik ia sepenuhnya.
Memikirkan itu, Bagas menunduk melihat wajah kecil Ara yang terkubur di dadanya. Ia merendahkan kepalanya dan mencium bibirnya yang lembut sampai puas.
Bagas mengendus rambutnya, lalu membenamkan wajahnya di leher Ara. Mulutnya terbuka dan menggigit leher putih gadis itu.
"Engh ...." Lenguhan lembut membuat Bagas melepaskan aksi nakalnya dan tersenyum.
"Maaf, Sayang." Bagas mencium keningnya dan ikut tertidur.
***
"Risa, aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi, apakah aku harus berinisiatif mengungkapkannya sekarang?"
"Itu terserah keyakinan hatimu. Kamu harus bersiap hati jika di tolak, tetapi akan menjadi baik jika Bagas menerimamu. Hanya saja ... jika aku melihat ekspresi dinginnya, aku merasa ragu."
"Ha ...." Ara menghela nafas untuk ke sekian kalinya.
"Ara ...," panggil Risa dengan wajah terkejut. Matanya tertuju pada leher Ara.
"... apa?" Ara langsung duduk tegak.
"Lehermu?"
"Ada apa dengan leherku?"
Risa menatap sahabatnya curiga. "Apakah kamu sudah mempunyai pacar?"
"Tidak! Apa hubungannya dengan leherku?"
"Itu adalah bekas seseorang."
"Hah? Mungkin leherku di gigit serangga. Aku tidak pernah dekat dengan siapapun, bagaimana mungkin ...." Wajah Ara memerah.
Risa mengangguk. "Ah, kamu benar. Lalu, bagaimana dengan rencanaku selanjutnya?"
Tepat pada suara Risa jatuh, Bagas masuk. Ara menatapnya sepanjang langkah pria itu dan bergumam. "Aku akan mencoba menyatakan perasaanku. Aku tidak peduli konsekuensinya."
***
"Bagas ...."
Suara lembut itu membuat ekspresi Bagas menegang. Ia menoleh melihat wajah gadis itu yang malu-malu. Bagas hanya berpura-pura acuh tak acuh.
"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, maukah kamu mendengarkannya?" ucap Ara hati-hati seraya melirik wajah dingin pria itu.
Hatinya menjadi tidak nyaman. Ia yakin bahwa dirinya akan di tolak, apalagi wajah dinginnya membuat Ara menyusut. Ara menyesal dengan keputusannya.
"Ada apa?"
Ara tersentak. Ini adalah pertama kalinya mendengar suara Bagas dengan jelas. Suaranya rendah dan magnetis. Ia tersipu. "A-aku ... tidak jadi!"
Ara langsung berlari pergi karena malu. Ia tidak sadar bahwa buku hariannya terjatuh karena terburu-buru. Bagas menatap punggung kecilnya dengan senyum geli. Lalu, tatapan jatuh pada buku harian yang terbuka.
Bagas mengambilnya. Ia duduk di sebuah kursi dan membacanya. Ekspresinya berangsur-angsur jelek. Matanya dingin dan muram. Isi buku harian Ara berisi tentang seseorang tanpa nama. Yang Ara tulis hanya dengan sebutan 'Dia'. Bagas sering mendengar bahwa orang yang Ara suka adalah Allen, apakah seseorang ini adalah Allen?
Bahkan di dalam buku, ada rencana untuk mendekatinya, dan beberapa trik agar menyukainya. Mata Bagas berkilat kesuraman. Ia mencengkeram buku itu erat.
"Tidak akan ku biarkan. Kamu harus tetap menjadi milikku, Ara. Apapun yang terjadi."
***
Saat ini, Ara tengah berada di sebuah restoran dengan Risa. Seperti biasa, keduanya selalu bermain atau berbelanja bersama.
"Ah, sepertinya aku akan pulang terlebih dahulu. Ibuku menyuruhku pulang lebih cepat," kata Risa tiba-tiba.
Ara mengangguk. "Baiklah. Aku juga akan pulang menaiki taksi."
Keduanya langsung berdiri dan bersiap pulang setelah membayar. Karena terburu-buru, Risa lebih dulu pergi. Sedangkan Ara menunggu taksi di tepi jalan. Langit sudah meredup, dan sebentar lagi hari akan berganti malam. Sepertinya Ara lupa waktu, ia hanya takut di marahi ibunya.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang membekap mulutnya dari belakang. Mata Ara melebar. Ia hanya merasa tubuhnya di peluk dan si masukan ke dalam mobil. Karena aroma yang ia cium dari sapu tangan si mulutnya, Ara berangsur-angsur tak sadarkan diri dan pingsan.
***
Ara bangun dengan tubuh terikat. Walaupun matanya terbuka, tetapi tertutup oleh sesuatu sehingga ia tidak bisa melihat apapun.
"Lepaskan aku!" teriak Ara. Air mata mengalir, ia menduga sesuatu bahwa dirinya di culik.
"Bangun?"
Mendengar suara bariton seorang pria, ia hanya merasa pernah mendengar suara ini. Tetapi karena situasi, hati Ara bergetar ketakutan. ia meraung. "Lepaskan aku! Tolong hiks ... lepaskan!"
Suara langkah kaki mendekat. Ara menyusut ketakutan. Lalu ia merasakan sebuah tangan mengusap pipinya. "Tenanglah, Sayang."
Ara menggeleng keras. "Tolong ... aku akan memberimu uang. Lepaskan aku ...."
Suara tawa terdengar. "Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin memilikimu."
"Tidak! Aku memiliki seseorang yang aku suka!" Ara bersikeras.
Senyum di wajah Bagas di gantikan dengan senyuman berbahaya yang muram. "Kamu adalah milikku sekarang. Jangan menolak."
Bagas memegang kepala Ara dan mencium bibirnya
"Hmmp!" Ara berontak dan menangis, tetapi bibirnya di bungkam. Ia merasa lebih baik mati dari pada di lecehkan seperti ini.
"Buka mulutmu, Sayang."
Ara terpaksa membuka mulutnya. Lidah panas dengan lancang masuk. Ciuman itu sangat agresif sehingga membuat Ara kewalahan. Setelah sekian lama sampai kehabisan nafas, akhirnya pria itu melepaskannya.
Ara segera menangis. "Tolong ... lepaskan aku ...."
Bagas menghapus air matanya dengan lembut. "Jangan menangis, Sayangku."
"Apakah kamu sangat menyukainya?" tanyanya lembut. Tetapi, kecemburuan yang gila membakar hati Bagas. "Kalau begitu katakan padanya bahwa kamu sudah menjadi milikku."
Ara hanya terisak sedih. Bagas mencium air matanya dan menelannya. "Kamu milikku, kamu milikku ...."
Ara mencoba setenang mungkin dan bertanya lirih. "Siapa kamu?"
Bagas meletakkan kepalanya di bahu Ara dan memeluknya posesif. "Kamu akan tahu nanti.
Bagas melepaskan ikatan tangannya. Ara menggunakan kesempatan itu untuk berontak, namun Bagas segera menekan tangannya di tempat tidur. "Jangan bergerak, Sayang. Apakah kamu ingin aku menidurimu?"
Ara segera diam ketakutan. Tubuhnya di tekan dan di peluk oleh orang itu. Ara hanya mencium aroma familier seseorang. Apakah itu ilusinya? Apakah ia berhalusinasi bahwa orang ini adalah Bagas? Mustahil.
Ara mengumpulkan keberaniannya. "A-ku merasa tidak nyaman. Maukah kamu melepaskan kain di mataku?"
"Apakah kamu tidak keberatan melihat wajah penculikmu?" tanya Bagas seraya terkekeh. Suaranya yang teredam karena ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ara.
Ara hanya berharap ini bukan ilusinya. Ia baru menyadari, suara orang ini benar-benar mirip ....
"Ya. Aku tidak keberatan."
Bagas bangun dan duduk. "Setelah ini, jangan membenciku, Ara."
Sudah Ara duga, orang ini mengenalinya. Hati Ara menjadi semakin kuat. Detik berikutnya, kain di matanya di buka. Cahaya redup masuk ke matanya. Saat melihat wajah di hadapannya, mata Ara langsung terbelalak. Ara berbisik. "... Bagas?"
Bagas tersenyum. Senyum itu penuh dengan kesedihan. "Ya. Aku sudah menduga kamu akan membenciku setelah ini. Maafkan aku, Ara. Aku sudah mencintaimu sejak lama. Aku tidak bisa menahan kecemburuanku sehingga aku menculikmu dan menjadikanmu hanya milikku."
Jantung Ara melonjak. Bagas ... dia sebenarnya mencintainya? Mata Ara berkaca-kaca.
Bagas menganggap Ara menangis karenanya. Ekspresinya langsung menegang. Bagas mengambil tangan Ara dan menciumnya. "Pukul aku, Ara. Lakukan sesukamu. Tetapi, jangan pernah membenciku ...."
Ara langsung melompat ke dalam pelukannya dan menangis terisak. Bagas sangat terkejut sehingga jantungnya seolah copot. Ia tidak percaya Ara memeluknya. Apa maksudnya ini?
Tetapi, dengan senang hati Bagas memeluknya dengan rakus. Sangat erat. "Ara?"
"Hiks ... kenapa kamu tidak bilang kepadamu sejak dulu?" Isakan Ara sangat menyedihkan.
Mata Baga melebar. "Apa maksudmu?"
Ara mendongak dengan wajah berlinang air mata. Itu adalah tangisan bahagia. "Aku juga sudah menyukaimu sejak lama, Bagas. Tahukah kamu? Kenapa kamu menculikku sekarang? Kenapa kamu tidak menculikku dari sebelumnya saja?"
Bagas tertegun. "Kamu menyukaiku?"
Ara mengangguk. "Hm. Aku mencintaimu sejak lama."
Mata Bagas langsung menyala kebahagiaan. Ia tidak pernah menduga ini. "Lalu buku harianmu?"
"Buku harianku? Apakah kamu merawatnya?"
"Ya."
"Semuanya adalah tentangmu." Ara tersenyum.
Senyum cerah langsung terpancar di bibir Bagas. Ia langsung memeluk Ara erat. "Kenapa kita harus saling memendam sejak lama?"
Ara mengangguk setuju. Hatinya di lumuri kebahagiaan yang manis. Hari ini benar-benar tak terduga. Ia kira hidupnya akan bertrauma karena pelecehan ini, tetapi ternyata orang yang ia sukai bertahun-tahun yang menjadi pelakunya.
Bagas langsung menekan Ara di tempat tidur dan menciumnya. Dengan senang hati Ara menerimanya dengan melingkarkan kedua tangan di leher pria itu. Ciuman lembut itu saling mengulurkan cinta yang terpendam dalam di hati keduanya. Semakin lama, ciuman semakin intens dan panas. Sebelum kehilangan kendali, Bagas melepaskannya dengan terengah-engah.
Melihat air matanya keluar dengan wajah memerah, bibirnya yang bengkak, malah membuat Bagas semakin kehilangan kendali.
"Sayangku Ara, aku mencintaimu," bisik serak Bagas dengan mata panas menatap Ara di bawahnya.
Ara yang menghirup udara dengan rakus, akhirnya menatap mata pria itu yang seperti binatang buas. Ara tersipu dan berbisik lembut. "Aku juga mencintaimu, Bagas."
Bagas mencium seluruh wajahnya dan memeluknya erat. "Akhirnya kamu menjadi milikku."
***
[END]
24 Maret 2022