Di malam pernikahan mantan pacar, aku hamil....
Langit seakan runtuh, bumi seakan berguncang karena getaran hebat yang terasa mengobrak-abrik hatiku.
Aku kalut, aku resah, aku benar-benar gundah. Ku genggam dengan erat tespek bergaris dua dengan warna merah di tanganku.
Rasa sesak begitu menyeruak di dalam dada, tubuhku seakan lemas tak bertulang. Jangankan untuk berjalan, untuk bangun dari lantai kamar mandi pun aku seakan tak sanggup.
Apa yang harus aku lakukan saat ini, Tuhan?
Hanya karena rayuan dari Arman kala itu, aku sampai lupa diri. Semuanya terjadi begitu cepat, Arman datang untuk apel di malam minggu.
Suasana rumah sedang sepi karena kedua orang tuaku sedang pergi menjenguk Bibi yang sedang sakit di luar kota.
Arman terus saja merayuku untuk melakukan hal yang tak selayaknya kami lakukan, awalnya tentu saja aku menolak. Karena rasanya, hal itu tak boleh kami lakukan.
Namun, karena dia terus saja merayuku dengan rayuan mautnya akhirnya aku pun luluh. Malam itu aku menyerahkan mahkotaku pada Arman, dia berjanji tak akan mengeluarkannya di dalam kala itu.
"Baiklah, aku mau. Semua ini aku lakukan karena aku mencintai kamu," ucapku kala itu.
Karena terlalu asik dengan kegiatan panas yang kami lakukan, Arman pun lupa membuang benihnya di luar.
Aku merasa takut kala itu namun Arman berusaha untuk menenangkan ku. Katanya kami melakukannya hanya satu kali, tak akan hamil, ucapnya kala itu.
"Tenanglah, Sayang. Jangan berpikiran yang macam-macam, lagi pula kalau kamu hamil aku pasti akan bertanggumg jawab." Arman memelukku dengan erat kalau itu.
Tentu saja aku percaya dengan ucapannya, karena dia terlihat tulus saat mengatakannya. Namun, setelah satu minggu kemudian, Arman membawa aku ke rumahnya.
Dia mengenalkanku kepada kedua orang tuanya, sayangnya kedua orang tua Arman tidak menyetujui hubungan kami.
Mereka beralasan jika kedudukan ayahku lebih rendah dari pada kedudukan kedua orang tua Arman, bahkan mereka pun menghina kedudukan ayahku.
"Pergilah dan jangan pernah menampakan dirimu di hadapan kami, karena kami tidak akan pernah menyetujui hubunganmu dengan anak kami! Kami sudah mempunyai calon untuk Arman," kata ibu Arman.
Setelah hari itu, aku tidak pernah bertemu dengan Arman lagi. Karena kedua orang tua Arman benar-benar tidak mengizinkan diriku untuk bertemu dengannya. aku menganggap jika sejak hari itu hubungan kami sudah Kandas
Tadi siang aku menyaksikan sendiri Arman menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik, tentu saja aku tahu jika perempuan itu adalah wanita pilihan dari orang tua Arman.
Aku merasa sakit hati, kecewa, benci dan marah bercampur aduk menjadi satu. Rasanya aku ingin menghancurkan pesta pernikahan mantan pacarku itu, namun aku masih waras.
Di sana begitu banyak orang, kalau aku nekat pastinya aku yang akan terluka. Aku yang akan malu, aku yang akan diseret paksa untuk keluar dari sana.
Awalnya aku ingin diam saja, namun setelah mengetahui jika aku hamil, aku pun tak bisa tinggal diam.
"Aku harus melakukan sesuatu, aku harus meminta pertanggungjawaban kepada Arman. Kala dia tak mau, jangan salahkan aku jika aku melakukan hal yang nekat." Itulah tekadku.
Dengan sekuat tenaga, aku pun berusaha untuk bangun dari kamar mandi. Aku menguatkan diriku agar bisa pergi untuk menemui Arman yang saat ini masih berada di hotel X.
Setelah aku merasa kuat, aku memberanikan diri untuk pergi ke hotel X. Tentu saja sebelum aku pergi aku pun membawa obat untuk Arman, obat yang akan aku berikan kepadanya kalau dia tidak mau bertanggung jawab terhadap janin yang ada didalam kandunganku.
Tiba di hotel tersebut, aku pun langsung menanyakan kepada resepsionis yang berada di sana tentang Arman.
Awalnya dia tidak memberitahukan kamar Arman di mana, namun setelah aku bilang aku adiknya yang ingin memberikan barang miliknya yang ketinggalan, akhirnya dia pun memberitahukan di mana letak kamar Arman.
Dengan langkah tergesa aku pun langsung melangkahkan kakiku menuju kamar tersebut, tiba di sana aku pun mengetuk pintu kamar itu beberapa kali.
Tak lama kemudian, nampaklah Arman keluar dari kamar pengantinnya. Saat melihat diriku yang sedang berdiri di depan pintu, dia terlihat kaget bukan main.
Lalu, beberapa detik kemudian dia terlihat menetralkan wajahnya dan mengajakku untuk berbicara di dekat lift.
Mungkin hal itu Arman lakukan agar istrinya tak mendengar percakapan kami, aku pun menurut.
"Ada apa?" tanya Arman lembut.
Tatapannya masih sama, penuh cinta. Namun dia seolah tak berdaya karena pengaruh dari kedua orang tuanya.
"Aku ke sini ingin memberitahukanmu tentang satu hal," kataku kepadanya.
Mendengar ucapanku, Arman nampak mengernyitkan dahinya.
"Apa?" tanyanya.
Aku menarik lembut tangan kanannya, lalu mengusapkannya ke perutku. Awalnya dia terlihat diam saja, namun tak lama kemudian matanya langsung membulat dengan sempurna.
"Kamu hamil?" tanyanya.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku, wajah Arman terlihat sendu. Antara sedih, senang, bahagia dan juga takut semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Tak lama dia pun memundurkan langkahnya sambil berkata.
"Maaf, aku tak bisa bertanggung jawab. Karena sekarang aku sudah mempunyai istri," ucap Arman.
Seketika aku langsung membeku, aku tidak menyangka dengan apa yang diucapkan oleh Arman.
"Baiklah, Mas. Jika kamu tidak ingin bertanggung jawab, jangan salahkan aku," ucapku dalam hati.
Tanpa pikir panjang aku pun langsung pergi dari sana, aku memesan dua makanan dan minuman di sebuah Resto yang ada di hotel tersebut.
Aku pun memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa membuat Arman memakan makanan dan minuman tersebut, setelah aku berpikir dengan keras, akhirnya aku pun meminta bantuan kepada seorang pelayan yang ada di sana.
Tentu saja pelayan tersebut mau mengantarkan makanan tersebut ke dalam kamar Arman, karena aku memberikan uang tips yang lumayan besar kepadanya.
"Nona, bagaimana jika tuan Arman bertanya tentang makanan ini?" tanya pelayan tersebut.
"Bilang saja jika itu adalah makanan dan minuman gratis dari pihak hotel," ucapku.
"Baiklah, Nona," ucap pelayan tersebut.
setelah berhasil meminta pelayan tersebut Untuk mengantarkan makanan pesananku ke kamar Arman, aku pun pergi dari hotel tersebut.
Keesokan harinya, aku mendengar berita di televisi jika di hotel X telah ditemukan sepasang suami istri yang meninggal di dalam kamar pengantin mereka.
Aku pun tersenyum getir, Arman tak ingin bertanggung jawab dengan janin yang ada di dalam rahimku.
Itu artinya, dia lebih memilih hal itu dari pada memilih untuk bertanggung jawab terhadap diriku dan janin yang aku kandung.
"Maafkan aku, Mas!" kuseka air mata yang tiba-tiba saja keluar dari pelupuknya.