Happy Reading...
Aku Arsheina Luth. Panggilanku Sheina, usiaku tujuh belas tahun. Aku, duduk di kelas akhir SMA. Beberapa bulan lagi, aku akan memasuki Universitas.
Selama bersekolah, Aku tidak pernah yang namanya pacaran. Jatuh cinta? pernah! hanya saja, aku tidak berani mengakuinya dan akhirnya aku melupakan rasa itu, hingga menguap terkikis waktu dan di telan masa lalu.
Namun, akhir-akhir ini aku dibuat penasaran dengan kertas origami berbentuk hati di bawah mejaku, kertas origami itu bertuliskan setengah hati untuk hari pertama, dan setengah hati untuk hari kedua. Lalu hari ke tiga, hati itu full, lengkap dengan tanda panah.
Hari keempat, anak panah dari hati tersebut menembak namaku. Akan tetapi tidak ada nama si penembak, karena hanya tertulis titik tiga. Sungguh aku amat penasaran, siapakah yang mengirimkannya?
Aku pikir, unik! aku tersenyum sendiri. Saat ini, aku duduk di pinggir lapangan menanti temanku, yang sedang mengantarkan buku ke ruangan Guru.
Jujur saja, aku begitu bahagia mendapatkan kertas hati itu. Lalu...apakah dalam satu minggu ini, aku sudah terbuai dengan si pengirim kertas hati tersebut? Oh tidak! bahkan pagi ini kertas hati itu disertai setangkai bunga mawar, ah romantisnya. Makin berbunga-bunga saja rasa hatiku.
"Hei minggir!"
Teriakan seseorang membawaku dari lamunan. 'Gerald Ammar' cowok paling rese di sekolah. Entah apa yang dia lakukan di seberang sana, Gerald sedang memainkan bola basket yang dilempar asal dan kini sepertinya ia mengincar ku, yang sedang asyik duduk di bangku kayu sisi lapangan sekolah.
"Awas, kalau kamu berani melempar bola basket itu, pada tubuh ku!" ancam ku, tak kalah sengit dengan teriakannya tadi.
"Hahahaha, Cemen! dasar jomblo." Ledek Gerald.
"Biarin jomblo. Daripada kamu, Playboy kelas kaleng. Kaleng rombeng!" ejek ku penuh penekanan di ujung kalimat. Karena yang aku tahu, pacarnya Gerald itu banyak. Jika tidak salah dengar, sudah mencapai sembilan puluh sembilan orang. Aku ingin tertawa, sebanyak itu? iyyuu...
Entahlah, banyak para siswi yang menyukainya, tepatnya tergila-gila pada Gerald. Namun, tidak denganku! dari sejak kelas satu, aku tidak suka dengan Gerald. Bukan dalam artian 'benci' aku hanya kurang suka dengan kelakuannya yang semena-mena, brutal, tidak menghargai orang lain. Bahkan para Guru sekalipun, tidak dihargainya.
Nampak di seberang sana, Gerald menunjukkan smirk liciknya, kemudian...
Bukh
Bola basket itu mendarat tepat di lengan kanan ku.
"Awsh!" ringisku saat rasa kebas dan ngilu menjalar di area lengan kanan.
"Dasar! ga berprikemanusiaan!" teriakku sambil meringis memegangi lengan yang terkena bola basket tadi.
Gerald tersenyum puas, setelahnya tanpa bicara dia berlalu dari sisi lapangan. Sepertinya menuju area belakang sekolah, di mana anak-anak yang sedikit nakal berkumpul di sana.
"Hei, Sorry ya. Gerald memang gitu kalau suka sama seseorang." sahabatnya Gerald yaitu Arbian, berlari menghampiriku.
Deg! jantungku berdegup kuat, mendengar ucapan Arbian. "Gerald suka padaku?" tanyaku, ingin lebih jelas.
"Eh, mmm... ayo aku bantu menuju ruang kesehatan."Arbian tidak menjawab pertanyaanku, ia malah terlihat gugup sembari membantuku berdiri.
Tanpa bertanya lagi, kami menuju ruang kesehatan. Saat aku diperiksa oleh dokter jaga, keadaan lenganku tidak serius. Hanya sedikit memar dan belum terlihat karena yang kurasakan saat ini masih rasa nyeri.
Setelah berterima kasih kepada Arbian, aku pun kembali ke kelas. Sahabat ku Kyara, sudah berada di kelas.
"Sheina, kamu ke mana saja sih? aku mencarimu," ujar Kyara.
"Maaf Ky, tadi aku ke ruangan kesehatan." Akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi di lapangan tadi.
Setelah melewati penatnya pelajaran hari ini. Akhirnya kami sampai pada waktunya pulang sekolah.
"Ky, maukah besok pagi, kamu menemani aku memata-matai orang yang menaruh bentuk hati dari kertas. Aku ingin tahu siapa pangirimnya."
Pintaku kepada Kyara dan iapun mengiyakan. Aku sungguh berterima kasih pada sahabat ku itu, ia selalu dapat diandalkan.
Keesokan pagi. Tentu saja, kami berangkat lebih awal dari biasanya. Namun, sayang. Setelah tiga puluh menit menunggu, tidak ada tanda-tanda seseorang menaruh bentuk hati dari kertas itu.
Hinggapun sampai pada pembelajaran dimulai, orang itu tidak muncul. Para siswa mendengarkan Guru menjabarkan materi. Akan tetapi, tidak dengan Gerald! tentunya ia baru saja masuk ke dalam kelas. Beruntung, sepertinya hari ini Guru fisika sedang berbaik hati, dengan tidak menghukumnya.
Keesokan harinya,
Lagi-lagi, aku gagal memergoki si pengirim hati dari kertas tersebut. Apesnya, Gerald mencipratiku dengan air es teh. Tiba-tiba saja, ia muncul entah dari arah mana.
"Gerald!" tegur ku
"Ups, Sorry... sengaja." ucapnya dengan smirk mengejek. Dengan kesal, terpaksa aku membersihkan rok di toilet sekolah.
Hari-hari berikutnya, Hati dari kertas itu tidak ada lagi. Aku dan Kyara sudah bosan menjadi mata-mata di kelas.
Ini hari ke lima, kertas itu tidak mampir di bawah mejaku dan di waktu yang sama, Gerald pun tidak masuk, katanya ia sakit. Namun, kemarin aku melihat Gerald sedang nongkrong dengan anak-anak berandalan di pinggir jalan dekat jembatan.
Aku mulai memikirkan perkataan Arbian tempo hari, mengenai Gerald yang katanya menyukaiku. Lalu...apakah ada hubungannya kertas berbentuk hati itu dengan Gerald? ah sudahlah! mungkin hanya kebetulan saja, pikirku.
Sore ini, Mama meminta tolong aku, agar mengantarkan pesanan kue ke blok D. Namun, ketika pulang aku dibuat terkejut, Gerald nampak lusuh sedang duduk di tepi jalan.
Tanpa pikir panjang. Rasa kemanusiaan ku tergerak, aku membawa Gerald pulang, walaupun dia menolak.
Ternyata...Gerald sudah tiga hari hidup tidak jelas di jalanan, katanya diusir oleh Papi tirinya. Gerald menceritakan penderitaan hidupnya, yang kerap kali di aniaya oleh sang Papi tiri, sedangkan Mommy Gerald, tidak dapat melawannya.
"Lalu...setelah ini, Nak Gerald hendak kemana?" tanya Papa.
"Aku ingin menyusul Dady ke Paris. Namun, aku tak memiliki cukup uang! tabungan ku diblokir oleh mereka." jawab Gerald.
"Baiklah, asal kamu pamit kepada Mommy-mu. Om akan memberikan uang, untuk membeli tiket ke Paris."
"Tidak perlu Om, terima kasih," tolak Gerald, sungkan.
"Anggap saja, kamu berhutang pada Om! kamu boleh mengembalikannya, saat kamu sudah memiliki pekerjaan. Atau mungkin... kamu bisa membayarnya dengan cinta, untuk Putri Om." kelakar Papa.
"Eh papa, apa sih? gak jelas!" protesku. Pada akhirnya kami tertawa. Ternyata dibalik tengil-nya Gerald, ia menyimpan luka yang dalam. Mungkin itulah cara Gerald mencari kesenangan untuk menghilangkan luka hatinya.
Tiga hari kemudian, Setelah Gerald pamit kepada Momy-nya, ia berangkat ke Paris. Aku ikut mengantarkan Gerald ke Bandara.
"Untuk mu!" Gerald menyodorkan sebuah kota kecil.
"Apa ini?" tanya ku.
"Bukalah!" pintanya.
Akupun membuka kotak kecil itu dengan perlahan dan hati-hati. "SEBUAH HATI DARI KERTAS?" tanya ku.
"Ia, anggaplah itu hatiku. Maafkan aku jika selama ini telah menyakiti mu!"
"Aku, sudah memaafkanmu." balasku.
"Aku yang selalu menaruh itu di bawah meja mu. Aku tahu, beberapa hari belakangan ini, kamu mencari tahu siapa pelakunya. Namun, Arbian telah memberitahukannya padaku, maka dari itu, aku berhenti menaruh kertas berbentuk hati itu di bawah meja mu." sambung Gerald.
"Jadi...?" tanyaku.
"Aku menyukaimu dari pertama kita bertemu, aku jatuh cinta padamu. Sejak Ospek di sekolah kita, akan tetapi keberanianku sirna, karena keadaan keluarga kami.
Aku diam, menerka kata-kata Gerald dengan mulut yang menganga. "Su-sungguh?" tanyaku dengan terbata.
"Sungguh! maukah, kau menikah denganku?" tanya Gerald dengan tatapan kesungguhan.
"So...aku perempuan yang ke-seratus?" tanyaku kembali.
"Ada-ada saja! satu pun aku tidak punya." jawab Gerald. "itu hanya karangan ku saja, agar mereka menganggap ku keren." lanjutnya dengan mengekeh.
"Kalau begitu, cepat kembali! bawa aku terbang menuju singgasana pernikahan." tantangku dengan tersenyum.
Gerald tersenyum. Lalu ia berbisik "Tunggu aku tujuh tahun lagi."
"Tentu!"
Setelah berpamitan dengan haru, akhirnya Gerald berangkat ke Paris. Selama tujuh tahun, kami hanya bertemu tiga kali, pada pertemuan ke tiga, aku mengungkapkan cinta padanya dan sisanya mengobrol di telepon.
Tujuh tahun kemudian, kami menikah setelah sebelumnya Gerald melamar ku, ketika ia telah mendapatkan gelar S2-nya dan sudah menjabat sebagai seorang direktur utama di salah satu perusahaan bonafit Singapura.
Jatuh Cinta tidak pernah mengenal siapa, kasta, waktu dan tempat.
_TAMAT_