Sepi, sendiri yang kini aku rasakan. Sakit menjalaran ke seluruh tubuh dengan cepatnya dalam hitungan detik aku lemah tak berdaya, dalam kegelapan aku mencari secercah cahaya yang lambat laun mulai mengecil dan menghilang. Dalam kedinginan dan sepinya malam aku menangis perih, air mata tak bisa terbendung jutaan kata tak dapat terucap. Aku merintih, menjerit di gelapnya malam yang memilukan hati ini. Aku terlalu takut kehilanganmu, terlanjur mencintaimu, terlalu lemah akan tiadanya dirimu disisiku, hingga sakit menghujam dadaku. Lemah tak berdaya yang kini menghampiriku, kepergianmu membawa kesakitan yang tak terperikan.
Hentikan! Cukup! Aku tak sanggup lagi, jutaan memori yang tertutup kini terbuka lagi dan semakin menambah luka dihatiku. Keringat mengalir deras di sekujur tubuh, bak air hujan yang tak kan berhenti. Petir menggelegar saat ku dapatkan kabar itu, kabar yang membuatku kehilangan arah dan tujuan hidupku. Tolong! aku tak bida menerima semua keadaan ini yang terjadi begitu cepat. Lari! Kini aku ingin berlari dengan cepat, namun hanya langkah yang lunglai yang bisa ku lakukan.
Cinta! aku terlalu mencintaimu, yang membuat aku kehilangan akal sehat saat kau meninggalkanku. Fanatic! Iya, aku terlalu fanatic akan cintamu yang telah merasuki hati dan membakar jiwaku. Tegar?! Tidak! Aku tidak setegar batu karang yang kuat dihempas sang ombak, aku imi setipis air yang akan hancur jika tersentuh. Nafsu?! Tidak! Tidak sama sekali! Cintaku tak terbalut oleh nafsu belaka, cintaku tulus adanya. Mengapa! Mengapa cinta tulus ku direnggut oleh takdir! Takdir yang tidak ingin aku terima!
Lemah! Aku memang lemah, lemah akan semua ini yang terjadi kepadaku. Kuning, aku berdiri di depan rumah yang terdapat bendera kuning, rumah tempat orang yang cinta dan yang aku punya satu-satunya didunia ini. Aku masuk dengan keadaan basah kuyup, terus berjalan untuk melihatnya. Pucat. Wajahnya yang pucat dengan mata tertutup, dan tak kan terbuka lagi untuk selamanya. Kaku. Kini yang kulihat dia tak bergerak, terbujuk kaku. Putih. Seluruh tubuhnya terbalut kain putih, yang akan dipakai selama dia berada ditempat barunya. Air. Air kembali menetes dari bola mataku, semakin lama semakin deras. Kedua kaki ku tak dapat menahan berat badanku, lalu terjatuh tak sadarkan diri.
*************************
Aku membuka kedua mataku, cahaya mentari masuk melalui jendela kecil yang berada tepat dihadapanku. Hangat. Yah begitu hangat tidak seperti kemarin, dingin dan gelap. Rahmat!!! Aku bangun dan mencari keseluruh ruangan, kosong!!. Tante Dian, ibunda Rahmat yang melihatku duduk dilantai membawaku kembali ke kamar. Aku tahu! Tak perlu dijelaskan lagi, Rahmat sudah dikebumikan saat aku tak sadarkan diri. Tante Dian menutup jendela dan pergi keluar, yah aku butuh sendirian. Ku lihat dan ku ambil kotak berwarna putih diatas meja, cincin! Dua buah cincin yang harusnya melekat dijari kami hari ini, aku membuang kotak itu lalu menangis dan menjerit.
Marah! Iya aku marah pada diriku sendiri, yang tidak bksa menjaganya. Benci! Aku terlalu benci pada keadaan yang membuat aku seperti ini, jutaan pertanyaan terus membayangi dan menaungiku. Aku membuanh semua benda yang berada dihadapanku, luka ini menusuk begitu sakit. Aku terlalu banyak kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupku. Keluarga dan orang yang ku sayang. Adilkah dunia ini padaku? Tidak! Mengapa harus aku yang mengalami ini semua. Darah segar mengalir dari pergelangan tanganku, kurasakan hangatnya mengalir di pori-poriku. Sakit membakar ke sekujur tubuh, aku menahannya untuk sementara. Setelah rasa sakit ini menghilangan aku akan segera menemuimu, tunggu aku Rahmat aku akan datang. Ku lihat Tante Dian masuk dan menjerit histeris, aku tak sadarkan diri.
********************
Putih. Semuanya serba putih, mungkinkah sekarang aku bisa menemui Rahmat. Ku melihat Tante Dian diluar, sepertinya aku berada di rumah sakit. Aku masih HIDUP!, tapi tak bernyawa!. Seperti boneka, bergerak tapi tak memiliki jiwa.
"Sekarang kondisinya sudah stabil dan membaik, telat sedikit saja kita bisa kehilangannya"
Seorang dokter dan Tante Dian masuk lalu memelukku, ku lihat matanya sembab. Aku tahu perasaannya tak jauh berbeda dengan apa yang aku rasakan, tapi rasa cinta ini begitu kuat hingga membuat aku lupa segalanya. Lupa bahwa aku tidak sendiri yang merasakan kehilangan Rahmat, aku baru saja melakukan hal yang paling bodoh.
"Maaf tante, Fian..."
"Tante mengerti sayang, tetapi tidak seharusnya kamu melakukan itu. Bukan hanya kamu yang merasakan kehilangan, tante juga. Apa kamu tega meninggalkan tante sendirian?, sekarang hanya kamu yang tante punya. Bagaimana kalau kita pergi berlibur sementara waktu?"
Tangisku pecah tak tertahan, mungkin itu yang terbaik untuk saat ini. Mungkin aku kehilangan Rahmat tak bisa bersamanya, namun aku pernah memiliki cintanya. Cinta pertama dan cinta terakhirnya, yang tak akan pernah hilang dari hatiku.
"Iya tante, fian ikut." Aku menghapus air mata, setidaknya aku masih memiliki orang yang sayang dan cintanya sama seperti Rahmat. Aku memeluk erat Tante Dian, tak ingin aku kehilangannya.