"Aaaakh." teriak Dewa saat mendengar suara petir yang menggelar di dalam kamar.
Dengan tergesa-gesa Leni berlari menghampiri kamar untuk melihat keadaan suaminya Dewa.
Kreek ( Leni membuka pintu)
Jeger (Suara petir)
Dengan spontan, Dewa bersujud sambil menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.
"Sudah tidak apa-apa." ucap Leni sambil menyentuh bahu Dewa saat sudah berdiri di samping Dewa.
Dewa pun langsung memeluk erat tubuh Leni, berusaha menyembunyikan rasa takutnya akan petir.
"Tenang, sudah tidak apa-apa." ucap Leni dengan lembut sambil memberikan belaian di punggung Dewa, berusaha menyalurkan kekuatan untuk berani menghadapi kenyataan.
Dewa sangat takut akan petir, petir membuatnya kembali pada ingatan di mana orang tuanya tewas tersambar petir kala berada di tengah sawah.
Sedangkan Dewa kala itu sedang berada di gubuk bambu tanpa bisa berbuat apa-apa, Dewa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ayah dan ibunya tewas tersambar petir dengan luka bakar 100% padahal saat itu sedang tidak turun hujan.
Sejak saat itu pula Dewa menyalahkan dirinya sendiri atas tewasnya kedua orangtuanya dan rasa damai di hatinya berubah menjadi rasa penyesalan.
Bagaimana pun Dewa kehilangan dua sosok orang tua yang begitu mencintainya, yang selalu memberinya kedamaian dalam hidup.
Kini sosok itu di gantikan oleh Leni, yang sejak 1 bulan terakhir telah resmi menjadi teman hidupnya, teman yang akan menemaninya di kala suka dan duka.
"Sudah sayang, tidak apa-apa." ucap Leni lagi.
"Aku takut." seru Dewa, yang masih memeluk erat tubuh Leni.
"Berzikir lah jika kamu takut." ucap Leni yang masih memberikan belaian di punggung Dewa.
Dewa berusaha berzikir seperti apa yang di katakan oleh Leni meski posisinya tidak berubah sedikit pun tapi hati kecil Dewa tidak memungkiri kehadiran Leni membawanya pada cinta dan damai yang dulu sempat hilang dari hidupnya.